Fatayat NU: Khitan Perempuan itu Tradisi, Bukan Perintah Agama
Jumat, 5 Februari 2010 | 09:05 WIB
Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama mengirimkan delegasi khusus dalam bahtsul masail Pra-Muktamar NU di Cirebon, 29-31 Januari lalu, untuk menyampaikan usulan dalam pembahasan komisi diniyah waqiiyah, terutama menyangkut pembahasan soal khitan perempuan. Ketua Umum PP Fatayat NU Maria Ulfa Ansor ikut dalam delegasai ini.
Selain mengirimkan delegasi, PP Fatayat NU juga menyampaikan rumusan draf materi masail diniyah waqi’iyyah khusus tentang khitan perempuan ini. Salah satu kesimpulan yang diajukan dalam makalah setebal 15 halaman menyatakan bahwa khitan bagi perempuan hanyalah tradisi, bukan perintah agama.<>
Dinyatakan, jika khitan mempunyai manfaat maka tradisi ini dapat dilanjutkan apabila tidak ada manfaatnya dapat dihentikan tanpa adanya ancaman syar’i bagi yang meninggalkannya ataupun pujian syar’i bagi yang melakukannya.
Khitan untuk laki-laki diwajibkan karena menyebabkan tidak sah shalatnya dikarenakan ada indikasi tersimpannya najis yang berada di kemaluannya yang belum dipotong.
“Walaupun najis yang berada di kemaluan laki-laki masih diperdebatkan, apakah termasuk bagian dalam, seperti kotoran yang masih berada di dalam perut atau bagian luar,” demikian dalam draf yang diajukan Fatayat.
Sedangkan bagi perempuan khitan tidak ada pengaruh apapun. Bahkan disebutkan, Rasulullah SAW sangat mengkhawatirkan rusaknya organ kemaluan perempuan apabila khitan dilakukan tidak hati-hati.
“Maka beliau menasehati Umm ‘Atiyyah untuk tidak ceroboh dalam mengkhitan perempuan. Atau mungkin saja Rasulullah lebih menghendaki tidak dikhitan untuk perempuan, karena akan lebih aman dari kerusakan yang dikhawatirkan, tapi Rasulullah menasehati Umm ‘Atiyyah untuk hati-hati dalam mengkhitan perempuan, karena khitan perempuan merupakan tradisi yang sudah membudaya dan sulit untuk dihilangkan, bukan perintah agama,” demikian dalam draf Fatayat.
Pemaparan ini juga disertai dengan dengan dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits, serta penelitian lebih mendalam tentang derajat kesahihan hadits-hadits tersebut.
Jawaban dari pertanyaan “Apa hukum khitan perempuan?” ditafsil atau dirinci sebagai berikut; Apabila dilakukan dengan cara yang aman hukumnya mubah. Namun apabila dilakukan dengan cara yang tidak aman dan membahayakan maka hukumnya haram.
Dalam draf PP Fatayat itu juga dilengkapi dengan penjelasan seputar khitan perempuan baik secara medis maupun teknis pelaksanaannya.
Sementara itu bahtsul masail pada komisi diniyah waqiiyah menyepakati, ada dua hukum khitan bagi perempuan yakni wajib dan sunah. Khitan untuk perempuan dilakukan dengan memotong sebagian kecil dari klentit (clitoris) dan tidak terlalu banyak karena akan membahayakan.
Hasil bahtsul masail ini akan dibahas lagi dan diputuskan dalam Muktamar ke-32 NU di Makassar, Maret mendatang. Selain persoalan khitan perempuan, ada 10 lagi masail atau persoalan yang akan dibahas dalam bahtsul masail komisi diniyah waqiiyah ini. (nam)
Terpopuler
1
Nabi Musa Menangis saat Tahu Umat Rasulullah Lebih Mulia Ketimbang Umatnya
2
Keutamaan Puasa Syaban Menurut Syekh Nawawi al-Bantani
3
Khutbah Jumat: Menumbuhkan Keikhlasan dalam Beramal dan Beribadah
4
Khutbah Jumat: Jagalah Lisan supaya Tidak Menyakiti Orang Lain
5
Khutbah Jumat: Jangan Salah Pilih Teman
6
Khutbah Jumat: Manusia sebagai Makhluk Sosial, dan Perintah untuk Saling Mengenal
Terkini
Lihat Semua