Warta

Gus Dur; Dakwah dengan Kekerasan Merupakan Sikap Keputusasaan

Rabu, 21 Desember 2005 | 10:02 WIB

Jakarta, NU Online
Strategi dakwah dengan menggunakan kekerasan tidaklah sejalan dengan ajaran Islam. Begitu juga dengan serangkain aksi terorisme di Indonesia yang mengatasnamakan dakwah Islam lebih merupakan sikap keputusasaan dalam menyikapi persoalan sosial. 

“Dakwah dengan kekerasan itu merupakan sikap keputusasaan aja. Hal itu karena tidak mampu menghadapi keadaan.” Demikian disampaikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat hadir sebagai pembicara pada Halaqoh Dakwah di gedung PBNU, Jl Kramat Raya Jakarta, Rabu (21/12)

<>

Para teroris itu, kata Gus Dur merasa sudah tidak ada jalan lagi untuk menyelesaikan persoalan. Maka kemudian yang dilakukan adalah menciptakan suasana tidak aman bagi masyarakat melalui tindakan teror. Padahal setelah melakukan terror persoalannya juga tidak selesai. Yang terjadi malah menambah masalah.

Pada acara bertajuk Meneguhkan Dakwah yang Humanis dan Anti Teroris itu, Gus Dur juga mengatakan bahwa aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam tidak berdasarkan pemahaman yang benar. Dalam Islam memang ada ajaran tentang jihad, tapi jihad yang dimaksud bukan dengan kekerasan. “Mereka keliru memahami Islam,” tegasnya.

Demikian juga konsep kafir, Gus Dur mengatakan harus ada pelurusan. Bahwa orang di luar Islam adalah kafir dan halal untuk dibunuh merupakan pemahaman yang salah. Istilah kafir, kata Gus Dur adalah orang di luar ahlul kitab. Tapi yang masuk dalam ahlul kitab tidaklah eksklusif untuk Islam saja. Kafir dalam pemahaman Gus Dur adalah politeis atau mengakui lebih dari satu tuhan. “Kaum Yahudi dan Nasrani juga ahlul kitab. ” terangnya.

Fenomena seperti itu, imbuh mantan presiden RI ke-4 ini menyimpulkan bahwa umat Islam saat ini sudah kehilangan spirit beragama. Kondisi semacam itu mengakibatkan munculnya banyak pemikiran tentang ajaran Islam yang salah, di antaranya para teroris itu.

Sementara itu, hadir juga sebagai pembicara pada acara yang digelar Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) itu, Kepala Satgas Anti Teror Detasemen 88 Mabes Polri, Brigjen. Pol. Dr. Untung S. Rajab. Ia mengatakan bahwa selain disebabkan pemahaman yang keliru, terorisme muncul dikarenakan persoalan ekonomi.

Umumnya para teroris itu, jelas Untung latar belakang ekonominya kurang mampu. Orang semacam itu sangat mudah dipengaruhi. “Bayangkan saja, keluarga dari salah satu teroris yang tewas dalam bom Bali dua itu tidak punya biaya untuk membawa jenasahnya pulang,” ujarnya.

Hal itu, imbuh Untung menunjukkan bahwa orang yang direkrut menjadi teroris itu adalah orang yang tidak mampu secara ekonomi. Kemudian ditambah dengan pemahaman tentang Islam yang dangkal. (rif)