Warta Musabaqah Qira’atil Kutub II

Jangan Puas Sekedar Baca

Jumat, 16 Juni 2006 | 10:46 WIB

Jakarta, NU Online
Acara Lomba Baca Kitab Kuning atau Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) Nasional II di Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, hari ini, Jum’at (16/6) memasuki tahap akhir. Para juara akan diumumkan pada acara penutupan MQK malam nanti oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Departemen Agama RI.

“Acara ini baik sekali dimana kelebihan atau tipologi pesantren adalah mendidik santri-santri yang mahir membaca kitab-kitab kuning, kutubut turats, yaitu kitab-kitab primer yang ditulis oleh para ulama ratusan tahun yang lalu. Ini sangat baik dalam rangka memahami literatur itu,” kata Ketua PBNU KH. Said Aqil Siradj di Jakarta, Jum’at (16/6).

<>

Namun demikian, Said Aqil melanjutkan, musabaqah akan lebih berarti jika ditingkatkan menjadi musabaqah ta’lif atau lomba menulis. “Sehingga santri bukan hanya qariut tafsir tapi juga mufassir, bukan hanya qa’riul hadits tapi menjadi muhaddits. Ya, itu memang berproses, belajar dari qariut tafsir kemudian berlajar menjadi mufassir, belajar dari qari kutub fikih menjadi fuqoha’,” kata Said Aqil.

Dirinya meminta para santri pesantren agar tidak hanya berkonsentrasi kepada bagaimana membaca kitab kuning. Menurutnya, yang terpenting adalah memahami dan menyimpulkan kitab itu kemudian mengaktualisasikan dan mengontekkan dengan situasi dan tutuntutan zaman.

MQK II meliputi dua tingkatan, wustho (menengah) dan ulya (tinggi) dengan empat bahasan yakni tafsir, hadits, fikih dan lughoh. Tingkat wustho dan ulya berturut-turut memakai standar kitab Tafsir Jalalain dan Al-Maraghi untuk bahasan tafsir, Bulughul Maram dan Fathul Bari untuk bahasan Hadits, Fathul Qarib dan Fathul Mu'in untuk bahasan fikih, dan Imrithi dan Alfiyah untuk lughoh (kebahasaan).

“Ya itu kan kitab standar. Artinya, barangsiapa yang sudah mampu membaca itu sudah kiita anggap mumpuni untuk atau dianggap dia memahami ilmu keislaman dengan lumayan. Tak perlu terburu-buru beralih ke kitab yang lain,” kata Said Aqil.

Kang Said, panggilan akrab KH. Said Aqil Siradj, mengusulkan beberapa bahasan penting lain seperti sejarah, peradaban, syi’ir dan novel untuk musabaqah selanjutnya. “Ya, misalnya untuk sejarahnya kita ambil Sirah Ibnu Hisyam. Syi’irnya memakai Mua’allaqah Sab’ah (syair-syair zaman jahiliyah) dan Alfu Lailah wa Lailah (seribu satu malam),” kata Kang Said. (nam)