Warta

Lawan Kekerasan dengan Runtuhkan Cara Berpikirnya

Kamis, 1 Juni 2006 | 08:58 WIB

Jakarta, NU Online
Lembaga pendidikan pondok pesantren (ponpes) pada dasarnya memiliki peran yang cukup penting dalam upaya memberantas aksi kekerasan dan terorisme atas nama agama. Namun, bukan dengan cara-cara yang bersifat fisik, melainkan dengan melawan pemikirannya.

“Percuma menangkap Abu Bakar Baasyir dan lain-lain, ditangkap satu, tumbuh 10 ribu. Kita runtuhkan cara berpikir mereka (para teroris) melalui pesantren,“ demikian disampaikan penulis buku Negara Tuhan; The Thematic Encyclopedia, Agus Maftuh Abegibriel pada Dialog Publik yang digelar oleh Lembaga Kemaslahatan dan Keluarga Nahdlatul Ulama (PP LKKNU), di Hotel Mega, Jakarta, Kamis (1/6).

<>

Hadir juga sebagai narasumber pada acara bertajuk “Pendidikan Anti-Terorisme di Lingkungan Keluarga dan Pesantren“ itu, Katib ’Aam Syuriah PBNU Nazaruddin Umar, dan Ketua PBNU Masdar Farid Mas’udi.

Tindakan kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan agama, kata Agus, tidak lebih dari upaya politisasi terhadap teks-teks keagamaan. Teks agama ditafsirkan secara serampangan untuk memberikan legitimasi atas tindakan kekerasan yang dilakukan.

“Yang terjadi adalah ’pemerkosaan’ teks agama untuk jadi pembenar atas kekerasan yang dilakukan,” terang Agus.

Oleh karena itulah, jelas Agus, peran pesantren berikut ulamanya, begitu penting dalam hal ini. Menurutnya, lembaga pendidikan pesantren yang memiliki tradisi bisa menghargai perbedaan pandangan, harus memiliki tafsir atas teks agama yang tidak mengarahkan pada tindakan kekerasan.

Senada dengan Agus, Masdar Farid Mas’udi mengatakan bahwa terorisme muncul karena keyakinan ideologis. Ia menggambarkan kekerasan dan terorisme ibarat sebuah pohon. “Saya ibaratkan kekerasan dan terorisme itu seperti pohon,“ ujarnya.

Hal pertama yang harus dipenuhi tumbuhnya ’pohon’ terorisme, kata Masdar, adalah benih. “Pohon tidak akan tumbuh kalau tidak ada benihnya. Terorisme juga begitu. Benihnya adalah tafsir atas teks agama yang sempit,“ katanya.

Namun, benih juga tidak akan tumbuh jika tidak ada medianya, yakni tanah. Dalam hal terorisme, media yang dimaksud adalah terciptanya kondisi keterbelakangan, kemiskinan, ketertinggalan, dan lain-lain dalam sebuah masyarakat.

“Orang yang miskin, terbelakang, terpinggirkan, mudah sekali tersulut emosinya. Nah, ini yang dimanfaatkan oleh para teroris itu,“ jelas Masdar.

Sementara, lanjut Masdar, jika dua unsur tersebut sudah terpenuhi, maka ‘pohon’ terorisme itu akan bisa tumbuh menjadi besar pasti membutuhkan air dan pupuk. “Air dan pupuknya itu adalah ketidakadilan global yang diciptakan oleh negara-negara besar terhadap negara berkembang, terutama negara-negara muslim,“ terangnya.

Sementara itu, Nazarudin Umar mengatakan, tindakan kekerasan atas nama Islam telah merugikan umat Islam sendiri. “Terorisme itu benar-benar merugikan Islam sendiri. Kita (umat Islam) butuh waktu lagi untuk mengembalikan citra Islam yang baik agar bisa diterima oleh semua kalangan,“ jelasnya. (rif)