Warta

Masdar: Umat Islam Tak Perlu Tanggapi Emosional Penghinaan Islam di Belanda

Jumat, 19 November 2004 | 03:35 WIB

Jakarta, NU Online
Ekploitasi minoritas Islam oleh mayoritas di Belanda menunjukkan bahwa bangsa Belanda kurang percaya diri. Merasa dirinya lebih unggul tetapi disisi lain takut terhadap kelompok lain yang dianggap lebih rendah.

“Ini menunjukkan ketakutan warga Belanda sendiri, semakin tidak percaya diri. Memang di beberapa negara Eropa lain ada rasisme yang sedang bangkit. Dan ini saya pikir merupakan penyakit peradaban,” ungkap Wakil Katib PBNU Masdar F. Mas’udi.

<>

Modernisme dengan satu keunggulan yang dimiliki bisa menumbuhkan perasaan superior atas bangsa lainnya yang menyebabkan timbulnya rasisme. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Eropa yang mereka teriakkan seperti persamaan, kesetaraan, universalitas hak asasi manusia, dan sebagainya.

Isu-isu keunggulan ras ini terus dikembangkan oleh beberapa politisi di Belanda yang berhasil menaikkan popularitasnya. Model politik Belanda yang dulu santun berubah menjad kasar. Hal ini pertama kali dikembangkan oleh Pim Fortuyn yang sukses mengesploitasi masalah ini, namun akhirnya meninggal dibunuh oleh seorang aktivis lingkungan hidup yang sudah tak tahan melihat tingkahnya.

Beberapa politisi muda seperti Geer Wilder dan Ayaan Hirsi Ali menggunakan strategi  yang sama untuk kesuksesan politik mereka. “Kalau terus berkembang, konsep-konsep universal, hak asasi manusia yang selama ini diusung oleh Eropa akan dihancurkan oleh orang Eropa sendiri,” tambahnya.

Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren (P3M) ini meminta agar umat Islam yang menjadi sasaran kampenye rasis mensikapi dengan wajar saja dan tidak terprovokasi untuk membalasanya secara emosional sehingga malah memperkeruh suasana.

“Kita tidak perlu emosi dan membalas dengan rasisme yang sama. Kita harus menunjukkan bahwa Islam memang bukan hanya soal bicara tentang persamaan ras. Didalam al Qur’an sudah jelas bahwa tidak ada keunggulan satu bangsa terhadap bangsa lain berdasarkan ras, tradisi dan lainnya tetapi atas dasar ketaqwaannya. Yaa kita konsisten saja dengan prinsip seperti itu, jangan termakan pada gelombang rasisme yang mereka teriakkan,” tandasnya.

Masdar menilai bahwa jika satu pihak menghina agama Islam, sebenarnya mereka menghina dirinya sendiri dan dari situ sesungguhnya akan ketahuan siapa sebenarnya yang pantas dimuliakan.

“Yang paling efektif untuk merespon sikap-sikap yang tidak dewasa adalah kedewasaan kita sendiri. Kita harus berjuang keras memperbaiki diri bahwa Islam yang kita yakini memang benar. Dan bahwa Islam yang kita anut adalah unggul. Pembelaan secara verbal saya kira tidak banyak gunanya.Pembunuhan saya kira kontraproduktif dan emosional,” imbuhnya.

Indonesia merupakan negara yang plural dengan berbagai macam suku, ras, agama dan golongan. Penggunaan isu-isu agama atau mengatasnamakan putra daerah juga bisa dikembangkan oleh para politisi guna meraih popularitasnya.

Masdar menilai bahwa di Indonesia hal ini tidak terlalu menjadi masalah, tetapi memang potensi itu ada di hampir semua komunitas etnis. “Itulah sebabnya Qur’an mengatakan inna kholaknakum min dhakarin wa unsa wajaalnaakum syu uuba. Jadi memang akan muncul sentimen gender, ras, kesukuan, dan lainnya,” tandasnya.

Dalam hal ini pemerintah harus memperlakukan semuanya secara adil sehingga semua mendapat perhatian yang sama yang pada akhirnya potensi-potensi merusak seperti itu akan melemah.

“Dalam hal ini nilai-nilai NU seperti pluralisme dan solidaritas sosial yang dipegang kalangan nahdliyyin sangat baik dan dapat digunakan sebagai modal untuk mempertahankan bangsa ini,” imbuhnya.(mkf)