Warta HARLAH NU KE-85

NU di Mata Warjo

Rabu, 20 Juli 2011 | 03:30 WIB

Jakarta, NU Online
“Bapak tahu, besok harlah NU yang ke-85 ?”

Mendengar pertanyaan itu, lelaki tua termenung di hadapan gerobaknya. Tangannya yang sedang mengelap piring terhenti, seolah ada kekuatan rahasia yang menolaknya. Dia terdiam.

<>Lelaki tua itu penjual ketoprak di samping gedung PBNU, jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Dia ke Jakarta tahun 1960. Berjualan ketoprak di samping Sarinah, jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat. Lalu pindah di samping gedung Bulog, jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Dia hijrah dari satu tempat ke tempat lain untuk memperbaiki pendapatan. 

Dia mangkal di sisi kiri kantor PBNU sejak tahun 80-an, saat almarhum KH Idham Chalid menjadi ketu umum PBNU, hingga kini. Artinya, dia mengalami kepemimpinan Idham Chalid, Gus Dur, Hasyim Muzadi, dan sekarang Said Aqiel.

Dia masih termenung. Padahal beberapa hari terakhir, tampak kesibukan luar biasa di gedung PBNU. Di hadapan gerobaknya, berjajar baliho dan spanduk, menghias jalanan menceritakan bahwa NU, 85 tahun berdiri dan mengabdi. Tapi itu tak menyedot perhatiannya.

Sejurus kemudian, dia menjawab juga. Tapi dengan cerita yang menjauh dari pertanyaan itu. Karena mungkin, baginya, tidak terlalu penting sudah berapa tahun NU berdiri.

“Di kampung saya, di Tegal, penduduknya NU semua,” jawab Warjo, demikian lelaki itu punya nama.

“Tapi saya tidak ikut-ikutan karena harus mencari uang. Makanya sejak tahun 60, saya pergi ke Jakarta. Saya jualan ketoprak. Sepiring 15 rupiah harganya,” lanjut kakek kelahiran 1935 ini.

Tiap lebaran dia pulang, kemudian ke jakarta lagi. Begitu dan begitu, ritme hidupnya. Pada tahun 65 dia sempat pulang, tapi bukan saat lebaran, melainkan diinterogasi pandu Anshor.

“Saya ditanya Pandu Ansor. Kamu Pemuda Rakyat atau bukan?”

“Saya warga NU.” Dengan jawaban seperti itu, dia selamat dari swiping mereka. Kemudian dia ketoprak lagi.

Saat itulah dia mengenal pria berkaca mata tebal, bertubuh pendek dan gemuk. Pria itu sering makan di gerobaknya. Kadang minta diantar ke ruangannya. Belakangan, dia kenal orang yang sering nongkrong itu ternyata ketua PBNU, KH Abdurahman Wahid, alias Gus Dur.

Menurut pengamatannya, kemeriahan gedung yang berlantai dua itu berubah dari sebelumnya. Halaman tak pernah sepi. Dari pakaiannya, mereka berasal dari berbagai kalangan. Anak muda, perempuan dan orang tua. Kehadiran mereka membawa berkah. Isi kantongnya bertambah. 

“Lama kelamaan, saya juga kenal dengan ibu Nuriyah dan anak-anaknya. Saya  kenal Yenny. Kalau Yenny ke sini, biasnya dia ngasih uang.”

“Kalau habis pulang, dan uang saya habis di kampung. Saya minta modal sama ibu Nuriyah,” kenangnya.

“Butuh berapa Sampean, Pak?”

“Dua ratus ribu.”

“Oh iya. Ini.”

Suatu ketika, gerobak ketoprak hendak digaruk Satpol PP. Dia hanya bisa pasrah ketika gerobaknya digotong orang-orang berseragam itu. Tanpa diduga, dari belakang terdengar suara marah-marah menghardik mereka.

“Jalanan ini memang milik DKI, tapi ini halaman kami. Pedagang di sini, adalah urusan rumah tangga kami. Dia yang ngasih makan kami,”

Ternyata suara itu keluar dari mulut Gus Dur. Dia ngotot mempertahankan gerobak itu dan memarahi mereka.

“Bilang sama atasan kamu! Jangan sekali-kali lagi ke sini,”

Dan gerobak Warjo selamat. Hingga sekarang.

Redaktur: Hamzah Sahal

Penulis: Abdullah Alawi