Warta

PBNU Apreasiasi Umat Hindu di Bali atas Toleransinya

Jumat, 23 Maret 2012 | 13:00 WIB

Jakarta, NU Online - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada umat Hindu di Bali atas toleransi yang dijalankan saat perayaan Nyepi tahun Saka 1934, yang jatuh pada hari Jumat (23/3). Di saat bersamaan, umat Islam tetap mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah shalat Jumat.

"Saya secara pribadi dan atas nama PBNU menyampaikan terimakasih sebesar-besarnya. Kami sangat mengapresiasi. Ini contoh yang baik dalam kehidupan berbangsa dengan beragam agama dalam masyarakatnya," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di Jakarta. <>

Kiai Said berharap toleransi yang dijalankan umat Hindu di Bali bisa dicontoh daerah lain, yang mana golongan muslim menjadi minoritas. "Itu mengapa NU selalu menyuarakan pentingnya toleransi," sambungnya.

Informasi yang berhasil dihimpun menyebutkan, umat Islam di Bali pada saat perayaan Nyepi tetap mendapatkan kesempatan menjalankan ibadah shalat Jumat. Bahkan di beberapa lokasi pelaksanaan shalat Jumat mendapatkan pengamanan dari pecalang (petugas keamanan adat), yang juga melakukan pendataan nama-nama jamaah untuk mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

Pemberian kesempatan kepada umat Islam menjalankan ibadah shalat Jumat yang mana di saat bersamaan tengah berlangsung perayaan Nyepi, sesuai dengan seruan bersama Forum Lintas Agama di Bali. Seruan yang ditandatangani oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bali, Keuskupan Denpasar, Walubi Bali, Matakin Provinsi Bali dan beberapa organisasi keagamaan lainnya tersebut, di antaranya tetap memberikan kesempatan umat Islam menjalankan ibadah shalat Jumat tanpa menggunakan pengeras suara dan penggunaan kendaraan bermotor.

PBNU sendiri sebelumnya juga menyerukan kepada umat Islam di Bali agar dalam menjalankan ibadah shalat Jumat tetap menghormati umat Hindu yang tengah merayakan Nyepi. Pengeras suara disarankan hanya dipasang di dalam masjid, bahkan jika dianggap tidak mendesak penggunaannya lebih baik ditinadakan.
Penulis: Emha Nabil Haroen