Warta

PBNU Desak Tuntaskan Kasus Silet Merapi

Ahad, 20 Februari 2011 | 11:30 WIB

JAKARTA,NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mendesak keseriusan Polri memproses hukum penanggung jawab program “silet” terkait  Gunung Merapi Yogyakarta. Apalagi tayangan “silet” itu menyebut Raden Patah sebagai Raja Demak, yang mampu mengislamkan Prabu Brawijaya V itu sebagai pendosa, pendurhaka dan pembawa bencana.

“Itu jelas penghinaan. Karena itu harus dituntaskan masalahnya. Sebab, kalau dibiarkan dan dihentikan penyidikannya, akan menimbulkan kredibilitas buruk bagi citra kepolisian yang terkesan diskriminatif menangani suatu perkara yang menyangkut kepentingan masyarakat beragama secara luas,” ujar Slamet Effendy Yusuf di Jakart<>a, Ahad (20/2).

Pernyataan ini disampaikan Slamet Effendy Yusuf berkaitan dengan laporan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terhadap penanggungjawab tayangan “silet” RCTI. KPI menilai program yang ditayangkan stasiun RCTI pada 7 Nopember 2010 tersebut menyesatkan dan mengandung unsur berita bohong hingga menyebabkan keresahan masyarakat korban bencana Gunung Merapi.

Padahal menurut Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, Raden Patah adalah sebagai salah satu ulama besar yang mampu meng- Islamkan masyarakat Cirebon Jawa Barat bersama Sunun Gunung Djati atau Syarif Hidayatullah. “Dari Cirebon kemudian menyebarkan Islam ke Banten dan Jayakarta (Jakarta). Jadi, Jakarta ini mewarisi perjuangan keislaman besar dari Sunan Gunung Djati. Inilah yang harus diteruskan perjuangannya sampai sekarang,” tutur Said Aqil.

Dalam tayangan Silet episode 7 November 2010, Permadi menyebut letusan gunung Merapi merupakan akibat dari dosa besar Raja Demak, yaitu Raden Patah. Diantara dosa besar itu adalah kedurhakaan Raden Patah akibat memaksa ayahnya yang bernama Brawijaya V untuk pindah agama, juga kedurhakaan kepada negara dan kedurhakaan kepada agama.

“Saya kira kalau KPI (Komisi Penyiaran Indonesia,red) sudah melaporkan kasus ini ke polisi dan memiliki bukti-bukti yang cukup, ya seharusnya dituntaskan, agar televisi maupun yang terkait dengan penyiaran, lebih berhati-hati dalam memberitakan suatu peristiwa yang sensitif khususnya terkait dengan agama,” ujar Slamet lagi.

Meski sudah melakukan gelar perkara dan memeriksa 2 saksi korban, penyidik Bareskrim Mabes Polri terkesan lamban dalam menangani kasus ini. Bahkan tersiar kabar jika kasus ini akan dihentikan.

Karena itu Slamet mendukung langkah KPI menuntaskan kasus ini. Lantaran tayangan program Silet soal Gunung Merapi juga mengandung unsur penghinaan dan penistaan terhadap keyakinan beragama. "Apalagi bukti-bukti sudah ada, maka aparat kepolisian harus bertindak tegas, jika tidak kasus semacam ini akan terus terulang," papar salah satu Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini.

Yang jelas statemen paranormal itu mengandung unsur sentimen Sara. Sebab Raden Patah beragama Islam, sementara Prabu Brawijaya V beragama Hindu. Disini Raden Patah sebagai simbol kerajaan Islam seolah diposisikan sebagai pihak yang merusak, membawa bencana. “Ini jelas menyesatkan,” tegas Slamet.

Untuk itu dia meminta semua pihak berhati-hati melontarkan pernyataan khususnya menyangkut hal-hal sensitif seperti agama. Ia berharap Polri menyidik perkara ini secara tuntas dan transparan agar yang bersangkutan mendapatkan pelajaran berharga. Sebab, pemberitaan yang tidak bertanggungjawab akan meresahkan masyarakat.

“Jika dibiarkan, maka pihaknya khawatir media informasi semakin jauh dari fungsinya sebagai sarana informasi dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Ketua MUI ini mengingatkan.(amf)