Warta

PBNU Minta Eksekusi Fabianus Tibo Cs Ditunda

Rabu, 28 Desember 2005 | 11:37 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta eksekusi Fabianus Tibo Cs ditunda demi mengungkap nama lain yang berada di belakangnya. Bagi PBNU, eksekusi mati Fabianus Tibo Cs yang akan dilaksanakan setelah pergantian tahun itu sangat diskriminatif, karena peluang untuk menjerat secara hukum para pelaku yang lain akan hilang. Demikian disampaikan Wakil Sekjen PBNU, Anas Thahir ketika ditemui NU Online di kantor PBNU, Jl. Kramat Raya Jakarta Pusat, Rabu (28/12).

Rencananya, eksekusi tiga terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, Sulawesi Tengah, yaitu Fabianus Tibo (60), Marinus Riwu (48), dan Dominggus da Silva (42) akan dilaksanakan setelah pergantian tahun. Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah telah berkoordinasi dengan Polda setempat mengenai rencana eksekusi tiga terpidana mati itu.

<>

PBNU, kata Anas, sapaan akrab Anas Thahir, meminta agar eksekusi Fabianus Tibo Cs ditunda, karena ada indikasi kuat mereka bukan aktor utama dalam kerusuhan di Poso. ”Tokoh agama Poso beberapa waktu datang ke PBNU untuk meminta bantuan agar dalang kerusuhan Poso segera diungkap. Nah, kalau Tibo Dieksekusi, nama-nama lain yang terlibat akan sulit diungkap,” ungkap Anas.

Pernyataan Anas ini merujuk pada laporan para tokoh agama yang beberapa waktu lalu datang ke PBNU untuk meminta bantuan agar dalang kerusuhan Poso dapat segera diungkap. Hal itu juga diperkuat dengan pernyataan Tibo, sapaan akrab Fabianus Tibo, yang menyebutkan 16 nama yang ada juga terlibat. “Jika Tibo dieksekusi, 16 nama yang pernah disebutkan Tibo tidak akan terungkap. Jadi eksekusi Tibo harus ditunda. Kalau eksekusi dilanjutkan itu sangat diskriminatif,” kata tokoh agama Kristen, Pendeta Rinaldy Damanik ketika berkunjung ke PBNU beberapa waktu lalu.

Senada dengan Anas, Taufik Abdullah yang juga Wakil Sekjen PBNU mengatakan, terkait dengan kasus kerusuhan Poso, aparat penegak hukum harus mampu menangkap dalang kerusuhan di balik  Fabianus Tibo. Dikatakan Taufik, sapaan akrab Taufik Abdullah, pengungkapan kasus berbau politik yang selama ini gagal, jangan sampai terulang lagi,. Sebab, hal itu akan membuat citra aparat penegak hukum semakin buruk. Misalnya, kasus dukun santet di Banyuwangi, kasus Situbondo dan kasus-kasus lainya yang hingga kini belum jelas dalangnya.

“Bagi saya, dalang utamanya harus ditangkap. Jadi siapa saja yang berada berada di belakang Tibo harus diungkap dulu. Nah, Tibo itu bisa menjadi sumber Informasi. Kalau dia segera dieksekusi, yang lainya akan hilang,” kata Taufik kepada NU Online.

Sementara itu, KH. Adnan Arsal, salah satu tokoh Islam Poso pernah mengatakan, pemerintah seolah membiarkan konflik itu terus terjadi. Banyak aparat, baik TNI maupun Polisi di sana, tapi kekerasan dan kekacauan terus terjadi. Ia mencontohkan kasus peledakan bom dan penembakan beberapa masyarakat sipil. Padahal menurutnya, kejadian itu tidak jauh dari markas polisi sektor (Mapolsek).

“Peledakan bom di Tentena (57 kilometer dari Poso, Red) itu hanya berjarak 20 meter dari Polsek. Dari sini kesimpulannya jelas sekali bahwa ada pembiaran dari aparat,” terangnya saat bertemu dengan KH. Hasyim Muzadi di PBNU beberapa waktu lalu.

Kiai Adnan, pada saat itu juga mengatakan, bahwa konflik yang terjadi selama ini hakikatnya bukanlah persoalan agama. Tapi yang digunakan sebagai pemicu konflik adalah agama. Dikatakannya, saat ini umat Islam Poso seperti dipermainkan. Akibatnya nama baik Islam menjadi tercoreng. Yang dialami umat Islam saat ini ibarat politik belah bambu. “Jadi yang satu diangkat, sedangkan yang lain diinjak. Nah, yang diinjak itu adalah Islam,” ujar pengasuh pondok pesantren Amanah, Poso ini kepada NU Online.

Selain bertemu dengan Ketua Umum PBNU, para tokoh agama Poso juga bertemu dengan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Kepada kedua tokoh NU itu, para tokoh agama itu berharap agar segera dibentuk tim pencari fakta independen guna mengungkap sumber persoalan sebenarnya. Masyarakat saat ini, ungkap Damanik sudah lelah dan ingin segera keluar dari konflik yang berkepanjangan itu. Jika tidak segera diselesaikan, maka masyarakat akan terus hidup dalam ketakutan dan kekhawatiran.

Kerusuhan Poso terjadi pada pertengahan tahun 2000 hingga awal tahun 2001 dan telah mengakibatkan lebih 1.000 orang terbunuh dan hilang. Tibo, Riwu, dan da Silva disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan dan dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Poso pada 5 April 2001 dan putusan itu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah pada 17 Mei 2001. Kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung (MA) ditolak pada 11 Oktober 2001.

Demikian  pula dengan upaya Peninjauan Kembali (PK) yang juga ditolak pada 31 Maret 2004. Grasi atau permintaan pengampunan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diajukan pada Mei 2005 dan pada 10 November lalu dinyatakan ditolak oleh Presiden. Prosedur