Warta

PBNU Ucapkan Bela Sungkawa atas Tragedi Jamarat

Jumat, 13 Januari 2006 | 14:45 WIB

Jakarta, NU Online
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengucapakan bela sungkawa  atas meninggalnya ratusan jamaah haji yang sedang melempar jumrah sebagai bagian dari rukun haji. Hal tersebut diungkapkan oleh Ketua PBNU Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA sebagai wujud keprihatinan atas peristiwa tersebut.

Dikatakannya bahwa tragedi ini bukanlah yang pertama karena dan hampir setiap tahun terjadi kecelakaan walaupun tingkat kematiannya berbeda. Sekarang ini termasuk besar karena dari infomasi terakhir, terdapat 362 orang meninggal dan diantaranya terdapat 2 orang dari Indonesia dengan nama Satimin dan Rosita.

<>

Agar masalah tersebut tak terulang kembali wakil rektor UIN Syarif Hidayutullah Jakarta tersebut mengusulkan sebaiknya perlu ada pembatasan yang lebih ketat terhadap jumlah jamaah haji. ”Tempat itu saya kira terlalu berat menampung jamaah sebanyak itu, makanya sebaiknya perlu ada pembatasan yang lebih ketat, dan kalau perlu kuotanya diturunkan. Karena sudah terlalu banyak,” tandasnya.

Idealnya kapasitas haji tersebut satu setengah juta orang. Empat tahun lalu ketika ia berhaji, jumlah jamaahnya sekitar dua juta, tetapi kemudian ada penambahan dan perluasan. ”Bahkan sekarang menjadi kontraversi apakah perluasan ini termasuk Mina atau tidak karena sudah dekat ke mudzalifah. Cukup satu setengah juta orang saja agar nyaman,” tuturnya.

Alumni Ponpes Tebuireng Jombang tersebut dapat menggambarkan betapa padatnya jamarat karena ia tinggal di gedung Rabithah Alam Islami saat berhaji sehingga tidak perlu berkemah dan sekaligus bisa memantau apa yang terjadi karena bisa melihat dari atas. Dan saat melihat jamaah berjubel untuk melempar jumrah, bisa menundanya.
 
Selain itu untuk perbaikan, secara teknis pemerintah Saudi mungkin dapat membuat eskalator yang berputar dan orangnya diam saja sambil melembar. Ini dinilainya akan lebih enak karena orangnya tidak bergerak. Penggunaan eskalator tersebut juga memungkinkan penambahan tempat menjadi tiga tingkat dari dua tingkat yang tentu saja menambah kapasitas jamaah.
 
Masalah bencana tersebut juga disebabkan mentalitas orang Islam yang belum memiliki budaya antri yang baik. ”Budaya antri dalam dunia muslim belum ada dan maunya cepat-cepatan. Ini adalah tugas para dai, para pendidik. Bukan hanya dalam kehaidupan sehari-hari, tetapi juga dalam menjalankan ibadah,” tuturnya.

Dalam hal ini orang Indonesia sebenarnya cenderung lebih tertib daripada yang lainnya. ”Haji yang menyakiti orang lain kan malah membawa mudharat dan membawa kedosaan. ”Lebih baik sedikit terlambat daripada merugikan orang lain,” katanya

Pemerintah Indonesia dalam hal ini diharapkan juga mengusulkan kepada pemerintah Saudi beberapa perbaikan seperti pengetatan bagi mereka yang mau berhaji. Misalnya di Indonesia saat ini ada aturan baru boleh haji lagi setelah tiga tahun. Aturan ini baiknya ditingkatkan menjadi lima tahun. ”Dengan mengurangi kuota masing-masing negara kan hajinya akan lebih hikmah, bukan sebaliknya menuntut tambahan kuota terus yang malah bisa menimbulkan malapetaka,” paparnya.

Setelah terjadinya tragedi Mina yang menewaskan ratusan jamaah haji Indonesia beberapa tahun yang lalu, pemerintah Indonesia mengusulkan pembuatan terowongan lagi yang memisahkan antara jalan pergi dan pulang. ”Dalam kaitan dengan jamarat, pemerintah bisa mengusulkan perbaikan pelayanan misalnya dengan tangga berjalan. Tentu saja ini harus dikaji betul agar semakin nyaman dan menghilangkan kemalapetakaan yang bisa muncul di Jamarat,” tandasnya.(mkf)