Warta RAPAT PLENO PBNU

Pertanian, Prioritas Khittah Ekonomi NU

Kamis, 24 Maret 2011 | 09:03 WIB

Jakarta, NU Online
Teramat gamblang bahwa khiththah ekonomi NU adalah ekonomi kerakyatan dalam trilogi: growth-equity-sustainability. Kontekstualisasi Kebangsaan Aswaja (KKA) perekonomian ini terjabarkan dengan jelas melalui seluruh pilar penyangga NU: (i) Aswaja, (ii) Fikrah Nahdliyyah, (iii) Al-Kulliyaat al-Khams, (iv) Mabadi’ ‘Khaira Ummah, dan (v) Khiththah Nahdliyyah, yang kesemuanya memandatkan etos sosial ekonomi dengan karakter keadilan, kebersamaan, kesetimbangan, kejujuran dan bahu-membahu.

Berdasarkan lima pilar NU tersebut, KKA menempatkan pertanian dan usaha tani sebagai prioritas khiththah ekonomi kerakyatan NU. Demikian antara lain masalah perekonomian, kesejahteraan petani yang akan dibahas dalam Rapat Pelno PBNU yang akan digelar di Pesantren Krapyak, Yogyakarta, pada 27-28 Maret mendatang.<<>;br />
Oleh sebab itu Konsekuensinya, PBNU secara substantif senantiasa dituntut hadir advokatif  pada tingkat makro ketika dewasa ini perekonomian dan kehidupan rakyat tani, jutaan investor gurem yang perekonomiannya berbasis sumberdaya domestik dan mayoritasnya adalah Nahdliyin, tidak memperoleh prioritas pembangunan secara memadai dibandingkan dengan pemanjaan berlebihan perekonomian berbasis import (import-based industry) milik segelintir saja kapitalis.

Ketika kebijakan perekonomian nasional ditarik ke sektor pangan, kekhusukan spiritualitas keberagamaan Nahdliyin sangat terganggu karena kebijakan pangan Pemerintah (KKP) yang menggelontor pasar pangan domestik dengan barang import. Import-eksport memang kegiatan perniagaan biasa yang menguntungkan.

Meski demikian, ketika komoditas terkaitnya adalah pangan strategis, seperti beras-gula-garam-susu dan sejenisnya, maka persoalan import tersebut erat sekali kaitannya dengan urusan politik, sosial, ekonomi, dan keadilan bagi petani Nahdliyin. Inilah ruang khidmad KKA.

Berkaitan dengan keadilan pangan, Rasulullah menegaskan dengan menyebut muhtakir sebagai dosa besar dan la’anahum Allah (I’anat ath-Tholibin). Berdasarkan petunjuk seperti ini bagaimana KKA menilai tata tas’ir pangan yang memaksa produsen pangan yang fakir-miskin tetapi harus memperpanjang kemiskinannya dengan menjual murah karena banjir barang import, agar supaya fakir-miskin dan segenap aghniya’ bisa membeli beras dengan harga murah?

Tas’ir beras misalnya, jelas telah merusak kualitas ittifaq dalam al-buyu’. Bagaimana pula kalau sistem tas’ir itu justru dilakukan oleh Kabinet yang intisasri tugasnya seharusnya melindungi segenap rakyat yang terdlalimi, kullu madllum?

Road map pertanian dan dinamika pangan itulah yang menegaskan bahwa gerak advokatif PBNU pada tingkat makro dan nasional dalam hal ini merupakan suatu keharusan. Sementara itu gerakan sistemik penguatan rakyat tani dan pengusaha kecil nahdliyin pada tingkat mikro dan meso merupakan prioritas sentral gerakan pemberdayaan jama’ah NU tiada henti yang harus senantiasa dikawal LPPNU dan LPNU dengan dukungan segenap lembaga dan lajnah yang terkait, seperti LAZIZNU, LTMI, RMI, Lakpesdam, dan semuanya.

Untuk itu langkah teknis pemberdayaan dan pendampingan yang multi-dimensional perlu dibangun bersama secara sistemik sebagai bagian terdepan dari upaya penguatan konsolidasi, kaderisasi dan proteksi keummatan Nahdliyin menghadapi dua kolonialisasi besar yang telah disampaikan sebelumnya. Itulah prioritasi utama hakikat Khiththah Ekonomi Kerakyatan NU sebagai bagian dari KKA, InsyaAllah...! (amf)