Warta

Pesan Toleransi Islam dalam Film Ayat-Ayat Cinta

Senin, 3 Maret 2008 | 12:17 WIB

Jakarta, NU Online
Film drama relegius tentang percintaan "Ayat-ayat Cinta" (AAC) yang diangkat dari novel berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy akhirnya dirilis 28 Februari. Pesan Islam sebagai agama damai dan toleran juga diselipkan.

Dalam satu adegan yang terjadi di kereta api, terjadi dialog yang cukup keras antara Fahri, tokoh utama dalam film tersebut bersama dengan Aisha, peranakan Jerman dan Turki yang ingin memberikan tempat duduk kepada Alicia, wartawati asal Amerika Serikat bersama ibunya yang dianggap kafir oleh salah seorang penumpang Arab sehingga ketika Aisha memberikan tempat duduk kepada ibu tersebut Si Arab marah.

<>

Aisha “Islam mengajarkan kita untuk berbuat baik kepada siapapun”
Orang Arab “Tapi tidak untuk mereka. Kamu tahu apa yang dilakukan Amerika di Arganistan, Palestina, Irak, Mereka menuduh Islam itu teroris, padahal mereka itu yang teroris,”

Ditengah-tengah pertengkaran tersebut Fachri menimpali, “Saya orang Indonesia dan kau telah menentang rasulullah.”

Orang Arab “Kamu tahu apa tentang penderitaan bangsa Arab”

Fachri “Orang asing yang masuk negara dengan sah, berarti Mereka adalah kafir dzimmi yang dilindungi hak dan kehormatannya.”

Orang Arab “Mereka bukan orang asing, mereka itu teroris, kafir”

Fahri menambahkan “Rasul berkata” Barang siapa yang menyakiti orang asing, berarti menyakiti diriku, dan barang siapa menyakiti diriku, berarti menyakiti Allah,”

Sampai akhirnya orang Arab berbaju gamis dengan kopiah putih dan berjenggot yang selalu berbicara dengan nada keras dan tangan bergerak-gerak tersebut pergi dengan meneriakkan Allahu Akbar.

Dialog ini benar-benar tampaknya gambaran dari realitas kehidupan nyata atas sekelompok kecil muslim yang kurang memiliki toleransi dan memandang hidup sebagai hitam dan putih, Islam dan kafir dan tidak melihatnya dalam sisi Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Pesan moderatisme Islam dan penghargaan terhadap perempuan juga digambarkan dalam dialog lainnya antara Fahri dan Alicia yang sedang mengadakan riset tentang Islam.
 
Sikap dan pemaknaan Islam Fahri yang digambarkan dalam dialog di kereta ini yang membuat Aisha tertarik kepadanya yang akhirnya menjadi suaminya.

Sayangnya, lokasi syuting yang seharusnya dilangsungkan di Mesir dengan bangunan-bangunan  bersejarah, menara-menara masjid Azhar yang tinggi menjulang, kios-kios berjajar, pasar-pasar tradisional, pyramid, gurun sahara, pantai Alexandria yang indah seperti yang digambarkan secara detil dalam novel harus kandas karena pemerintah Mesir tidak mengizinkan.

Akhirnya lokasi shooting berlangsung di Jakarta dan Semarang. Metro yang dibangun bangsa Prancis dipindah ke stasiun Manggarai. Perpustakaan Al Azhar dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota.

Sementara itu flat Fahri, flat Maria dan Pasar El Khalili di bangun setnya di Kota Lama dan Gedung Lawang Sewu, Semarang. Sedangkan adegan Fahri diadili di ruang sidang pengadilan dipindahkan di Gereja Imanuel Jakarta.

Hanung, Sang sutradara mengungkapkan tidak mudah untuk menghadirkan Mesir dengan lokasi di Jakarta dan Semarang. Ia harus teliti pada detil properti dan lokasi agar bisa semirip mungkin.

"Bayangkan, untuk menghadirkan kesan ada di Kairo, kami mendatangkan sekitar 300 orang Arab, mendatangkan unta dari kebun binatang, dan pelat mobil yang harus diganti seperti yang ada di Mesir," ujar sutradara film "Catatan Akhir Sekolah" dan "Brownies" ini. (mkf)