Warta PELUNCURAN BUKU NU STUDIES

Sampai Kapan NU menjadi Suruhan

Selasa, 17 Oktober 2006 | 22:49 WIB

Jakarta, NU Online
Pilihan istilah “NU studies” dimaksudkan bahwa “NU” diposisikan sebagai fa’il (subyek) dan “studies” sebagai maf’ul (predikat). Masalahnya, jika diistilahkan dalam bahasa Indonesia menjadi “kajian NU” maka personifikasi NU sebagai subyek tidak jelas.

Demikian dikatakan Ahmad Baso, penulis buku “NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal” saat buku itu dilunculkan di gedung PBNU, Jl. Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (18/10). Sebagai pembahas Ketua Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Abdul Mun’im DZ dan Rais Syuriah PBNU KH. Ma’ruf Amin.

<>

“Istilah ini saya peroleh dari LTN-NU Mas Mun’im (Abdul Mun’im DZ: Red) seperti juga dulu istilah post-tradisonalisme,” kata Ahmad Baso saat memberi sambutan.

Hal-hal yang hendak digugat dalam buku itu, kata Baso, antara lain soal teori sosial yang menyatakan bahwa NU adalah gudang konservatisme. Problemnya, produk yang muncul dari NU kemudian tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan, kecuali telah keluar dari mainstream NU.

“Buku ini juga menggugat hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa 70 persen warga pesantren mendukung bom bali. Katanya penyebabnya adalah ajaran tentang jihad dalam kitab-kitab kuning. Anehnya, dikatakan 90 persen responden adalah lulusan pesantren. Ini yang mau digugat secara metodologis dalam buku saya,” kata anak muda NU itu.

Ketua LTN-NU Abdul Munim DZ mengatakan, ada yang salah dalam penelitian-penelitian sosial, tidak terkecuali yang dilakukan peneliti dari kalangan NU sendiri, yakni menjadikan ilmu-ilmu sosial sebagai postulat dan kebenaran yang pasti dan mutlak serta bisa dipakai begitu saja. Bahkan ketika meneliti keberagamaan warga NU, misalnya, maka ilmu-ilmu sosial menjadi agama itu sendiri.

“Ilmu-ilmu sosial yang dinggap paten itu misalnya teori tentang kepemimpinan yang administratif. Lihat dalam tulisan mereka tentang politik dalam tubuh NU; juga teori tentang masyarakat individual sebagai masyarakat yang berada dalam taraf tertinggi,” kata Mun’im.

Jika ilmu-ilmu sosial yang demikian dianggap postulat, lanjut Mun’im, maka NU akan selalu dipandang konservatif, tak ada kemajuan. Jika telah bisa maju maka berarti telah “selamat” dari NU. “Kalau Kiai Achmad Shiddiq menolak teori-teori itu karena imperialistik saja,” katanya.

Dikatakannya, hal penting yang menjadi biang kesalahfahaman tersebut adalah ketergantungan terhadap dana asing. Para pemikir sosial di Indonesia menjadi tidak kreatif. Semuanya satu komando satu barisan.

“Ketika dana dikucurkan untuk mengkaji dan meneliti nation state, semua ke situ. Lalu ada civil society, dan sekarang yang masih ramai tentang  terorisme dan Islam atau fundamentalisme. Nah teorinya sudah disipkan oleh para pemberi dana. Sampai kapan kita menjadi orang suruhan begini,” kata Mun’im.

Sementara itu Rais Syuriah PBNU KH. Ma’ruf Amin menegaskan, bahwa dalam memikul tanggung jawab keagamaan maupun kebangsaaan NU selalu berada di atas landasan fikrah nahdliyyah (kerangka berfikir NU) yang telah disepakati sejak lama. Kerangka berfikir itu, katanya, berasal dari kerangka berfikir kaum pesantren yang berasal dari dari kerangka berfikir Nabi dan para ulama atau disebut manhajul fiqr.

Kerangka berfikir Nabi Muhammad SAW telah diterjemahkan secara cerdas oleh para ulama empat madzab fikih, Hanafi, Maliki, syafi’i dan Hambali. Ada juga Al-Asy’ary dan al-Maturidi khusus dalam soal tauhid atau theologi. Dikatakan Kiai Ma’ruf, NU telah bersepakat mengambil manhajul fiqr dari para pewaris Nabi tersebut.

Menurutnya, pada awal 1990-an dalam tubuh NU pernah terjadi pergeseran yang mengarah pada konservatisme. Waktu itu NU terlalu kaku dalam merespon perkembangan situasi. Para kiai hanya berpatokan pada kitab-kitab yang ada di pesantren dan cenderung tidak berani bersikap ketika beberapa realitas tidak diekspos secara jelas dalam kitab-kitab itu.

“Tapi itu segera berakhir ketika pada Munas dan Konbes NU Tahun 1992 di Lampung para kiai menyepakati adanya pendekatan manhajiyyan (metodologis) dan tidak hanya qoulan (tekstual). Ada dinamisasi di sini. Upaya ini kita sebut sebagai tajdidu fikrah an-nahdliyyah (pembaharuan kerangka berfikir NU). Para Kiai telah merumuskann poin-poinnya waktu itu,” kata sesepuh NU yang pada Munas 1992 itu menjadi Katib Syuriah PBNU.

Ditambahkannya, saat ini malah terjadi pergeseran yang luar biasa tubuh NU terutama di kalangan mudanya ya