Warta

Wapres Imbau Fatwa MUI Pertimbangkan Nilai Ekonomi

Sabtu, 24 Januari 2009 | 12:26 WIB

Padang Panjang, NU Online
Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang mempertimbangkan nilai tambah ekonomi, bukan sekedar memberi solusi.

"Dalam Ijtima` berilah hal-hal positif, bukan hanya solusi dan perlu melihat nilai tambah ekonomi," katanya pada pembukaan Ijtima` Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia III di Padang Panjang, Sumbar, Sabtu (24/1).<>

Umat Islam Indonesia, ujarnya, selalu bangga dengan menjadi muslim yang moderat, yang berarti selalu mengambil jalan tengah dan mengutamakan kesamaan daripada perbedaan.

Ia mengatakan, umat Islam Asia Tenggara dibawa oleh pedagang (pengusaha) sehingga selalu moderat dan mengembangkan kemandirian.

Pengusaha tersebut, lanjut dia, kemudian membayar zakat yang sangat bermanfaat bagi umat, sehingga perlu ada dorongan kepada pengusaha. "Pengusaha nonmuslim bayar pajak tetapi tidak berzakat," tambahnya.

Wapres juga menyatakan yakin, pertemuan ulama berbeda dengan pertemuan ahli hukum yang pandangannya selalu berbeda, karena jika ada 800 ulama hanya punya satu pandangan.

"Hari ini ulama akan memberi petunjuknya. Kalau halal-haram sudah jelas di Quran. Tapi teknologi berkembang, haji sekarang dengan pesawat. Dulu di Saudi foto haram sekarang tidak lagi. TV haram, sekarang ceramah bagaimana kalau tak ada TV," katanya.

Ia juga berharap MUI konsisten dengan fatwanya, misalnya, jika bunga haram maka gunakanlah bank syariah untuk setiap kegiatan ekonomi.

Ijtima` Ulama Komisi Fatwa yang diselenggarakan pada 24-26 Januari dan dihadiri oleh Menag Maftuh Basyuni itu akan membahas dan mengeluarkan fatwa tentang rokok, pernikahan dini hingga golput dalam Pemilu.

Wapres dalam kesempatan itu juga menyebutkan perbedaan antara bangsa Arab dan Indonesia adalah bangsa Arab hampir semua agamanya sama, budaya sama, warna kulit sama dan bahasa sama tetapi terdiri dari 16 negara.

"Sedangkan bangsa Indonesia terdiri dari beragam budaya, 300 bahasa, bermacam-macam warna kulit, namun satu bangsa. Ini berarti kita diberi kenikmatan," katanya. (ant)