Wawancara

Dekan Fakultas Budaya dan Media ISBI: Seni untuk Tangkal Radikalisme

Senin, 21 Mei 2018 | 13:30 WIB

Dekan Fakultas Budaya dan Media ISBI: Seni untuk Tangkal Radikalisme

Dr. Deni Hermawan, MA., Dekan Fakultas Budaya dan Media Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung

Menangkal radikalisme melalui kampus menjadi kerja besar Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti). Sejumlah riset mutakhir membuktikan bahwa mahasiswa yang terpapar oleh pemahaman radikal semakin meningkat jumlahnya. Upaya deradikalisasi itu tampaknya masih berfokus pada persoalan pendidikan agama, baik yang formal dalam mata kuliah Pendidikan Agama Islam (PAI) maupun yang non-formal yang berafiliasi pada Ormas atau partai Islam.  

Salah satu aspek yang belum banyak disinggung dalam upaya deradikalisai di kampus adalah medium kesenian. Kelompok radikal secara umum tidak menyukai kesenian, apalagi yang bersifat lokal. Oleh karena itu tidak mengherankan jika kampus-kampus seni di Indonesia paling minimal terpapar paham radikal. Bagaimana sesungguhnya peluang kesenian dalam menangkal faham radikal?  

Berikut petikan wawancara dengan Dr. Deni Hermawan, MA., Dekan Fakultas Budaya dan Media Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Bandung dengan Iip D. Yahya dari NU Online.

Mengapa seni punya konotasi halus dan mendalam berlawanan dengan kasar dan serampangan?

Seni merupakan ungkapan perasaan manusia yang memiliki nilai keindahan. Keindahan di sini sangalah relatif, dan sekaligus subjektif, bergantung pada “siapa” yang menilainya. Dalam menilai suatu karya seni, latar belakang keilmuan dan kualitas pemahaman terhadap estetika (nilai-nilai keindahan) sangat memengaruhi cara penilaian seseorang terhadap karya seni tersebut.  Ada satu karya seni yang dipandang indah karena memang secara visual terlihat indah, tetapi ada juga satu karya seni yang dipandang indah walaupun secara visual tidak terlihat indah, bahkan mungkin menjijikan atau mengerikan. Dengan demikian, kata indah memiliki pengertian yang lebih luas, tidak sekadar indah dalam pengertian cantik atau elok  secara visual, tetapi juga indah dalam arti menyenangkan, memuaskan, mengagumkan, dan menakjubkan.

Sebagai ungkapan perasaan, seni memiliki kaitan yang sangat erat dengan perasaan, bahkan merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Seni merupakan wujud simbolik dari perasaan. Sementara itu, perasaan memiliki berbagai sifat dikotomis, seperti halus-kasar, suka-duka, gembira-sedih, bahagia-menderita.  

Kata ‘indah’ yang melekat pada seni inilah yang membuat kecenderungan seni memiliki konotasi halus, tidak kasar, dan mendalam, tidak serampangan. Dikatakan mendalam karena suatu karya seni yang memiliki nilai keindahan, misalnya, merupakan hasil renungan dan curahan perasaan yang mendalam, yang bersumber dari lubuk hati, dari perasaan yang paling dalam, bukan perasaan yang biasa-biasa saja atau perasaan “serampangan”. Oleh karena itu, wajarlah apabila seni yang identik dengan hati, perasaan, dan keindahan dianggap memiliki konotasi halus dan mendalam, tidak kasar dan serampangan.              

Mengapa seni bisa memperhalus yang kasar dan mendalamkan yang serampangan itu?

Seni memiliki kemampuan untuk memperhalus yang kasar dan mendalamkan yang serampangan karena seni memiliki nilai keindahan. Kata ‘indah’ memiliki dua pengertian, yaitu pengertian sempit dan pengertian luas. Secara sempit, dalam arti estetis, indah diartikan sebagai cantik atau elok secara visual (bedasarkan pandangan) dan enak secara auditif (berdasarkan pendengaran). Secara luas, indah diartikan sebagai perasaan lebih mendalam yang berhubungan dengan nilai-nilai spiritual, moral, dan agama. Indah dapat diartikan sebagai kebaikan.

Nilai-nilai spiritual, moral, agama, dan kebaikan yang terkandung dalam seni itu sangat dekat atau bahkan identik dengan sifat halus (tidak kasar) dan mendalam (tidak dangkal). Jadi, nilai-nilai inilah yang menjadi kekuatan seni untuk mampu memperhalus yang kasar dan mendalamkan yang serampangan. Sikap dan perilaku yang kasar akan menjadi halus ketika bersentuhan dengan seni karena seni mengandung nilai keindahan sebagai ekspresi dari perasaan yang halus; pemikiran, sikap, dan perilaku yang serampangan akan menjadi mendalam ketika bersentuhan dengan seni karena seni mengandung nilai-nilai spiritual, moral, agama, dan kebaikan yang merupakan ekspresi dari perenungan mendalam.  

Radikalisme identik dengan kekerasan, apakah seni bisa juga memperhalusnya sehingga setidaknya dapat mengurangi radikalisme?

Seni mengandung nilai-nilai spiritual, moral, agama, dan kebaikan. Nilai-nilai spiritual dan agama dalam seni dapat dilihat dari fungsi seni itu sendiri. Dulu, pada awal-awal kemunculannya, bentuk-bentuk seni pada umumnya, khususnya seni musik dan seni tari, difungsikan sebagai media penghubung antara manusia dan Yang Mahakuasa yang dianggap sebagai Tuhan yang memelihara kehidupan manusia. Di kalangan bangsa Yunani, pada 1100 SM, bangsa Yunani menganggap seni berasal dari dewa-dewa. Dewa dan pelindung kesenian adalah Apollo dengan 9 dewi kesenian, antara lain Terpsichore sebagai dewi seni tari dan  Polyhimnia sebagai dewi seni musik. Seni (seni musik) difungsikan sebagai sarana pemujaan terhadap dewa-dewa mereka. 

Di kalangan bangsa India yang beragama Hindu, musik digambarkan sebagai salah satu jalan tercepat menuju persembahan (keimanan) kepada Tuhan.  Mereka beranggapan bahwa memuja nada (musik) identik dengan memuja Dewa Brahma (Pencipta alam semesta), Dewa Wisnu (Pemelihara alam semesta), dan Dewa Siwa (Perusak alam semesta). Orang India tahan berjam-jam lamanya memainkan alat musik karena dalam konsep mereka memainkan alat musik identik dengan beribadat (melakukan persembahan) kepada Tuhan mereka.   Kenyataan seperti ini masih tetap berlaku hingga saat ini, termasuk juga di kalangan bangsa lain. 

Di kalangan kaum Sufi yang beragama Islam, tarian berputar dijadikan media penghubung untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Di kalangan masyarakat Sunda sendiri yang beragama Islam dengan sisa-sisa kepercayaan lamanya—Animisme, Dinamisme, dan Hindu, bentuk-bentuk kesenian tertentu seperti dogdog lojor di kalangan masyarakat Baduy Luar di Banten Kidul, tarawangsa di kalangan masyarakat Rancakalong Sumedang, dan kuda renggong di kalangan masyarakat Buahdua dan sekitarnya di Sumedang yang lekat dengan pembakaran kemenyan dan sesajen difungsikan selain sebagai media untuk hiburan, juga sebagai media untuk menyampaikan rasa syukur dan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan juga persembahan kepada leluhur atau para karuhun. Agama yang sarat dengan nilai-nilai spiritual ini tentu saja tidak terlepas dari moral dan kebaikan yang terkandung di dalamnya.

Seni, dengan nilai-nilai spiritul, agama, moral, dan kebaikan yang terkandung di dalamnya, yang identik dengan kehalusan, dapat menjadi sumber kekuatan untuk menangkal radikalisme atau kekerasan. Ketika seseorang bersentuhan dengan seni (memainkan alat musik, menyanyi, atau menari), selama proses memainkan alat musik, menyanyi, atau menari tersebut, hanya perasaan halus itulah yang senantiasa melekat menyertainya. Dengan karakter kehalusannyai ini seni akan mampu menangkal, setidaknya, memperhaus atau mengurangi radikalisme.          
               
Kira-kira apa output dari keinginan menolak radikalisme melalui seni?

Output dari keinginan menolak radikalisme melalui seni pada dasarnya sama dengan maksud keinginan menolak radikalisme melalui media lainnya, yaitu terciptanya kehidupan masyarakat yang aman, tentram, dan damai. Akan tetapi sedikit ada plusnya. Plusnya dari output menolak radikalisme melalui seni adalah bahwa di samping kehidupan masyarkart yang aman, tentram, dan damai, juga terciptanya masyarakat yang islami dan juga mengetahui dan mengharagai hakikat seni yang sarat dengan nilai-nilai positif tadi. Tak dipungkiri bahwa ada juga seni yang dalam penampilannya cenderung menyimpang dari norma masyarakat dan agama (Islam). Oleh karena itulah, seni perlu berdmpingan dengan agama sehingga produk seni yang dihasilkan para seniman tidak menyimpang dari nilai-nilai keislaman, bahkan lekat dengan nilai-nilai keislaman sehingga dapat dijadikan media pembelajaran bagi masyarakat untuk hidup dalam lingkup suasana harmonisasi antara seni dan agama.                

Apakah yang dimaksud dengan totalitas dalam berkesenian?

Secara harfiah, totalitas dapat diartikan sebagai keutuhan atau keseluruhan. Totalitas dalam berkesenian dapat diartikan sebagai sikap dan pemikiran tentang cara hidup dan berjuang melalui seni. Setiap manusia memiliki bakat dan talenta yang berbeda-beda sebagai anugrah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Bakat dan talenta tersebut berkembang sesuai dengan lingkungan tempat ia tinggal dan dibesarkan. 

Saya misalnya, dibesarkan di lingkungan keluarga seniman tradisi. Ayah saya adalah seorang seniman yang mahir memainkan alat-alat musik tradisional seperti gamelan degung, kacapi, suling, dan rebab. Berkat bimbingan dari ayah saya, menginjak usia 10 tahun saya sudah bisa memainkan suling. Menginjak usia 14 tahun, kelas I SMP, saya sudah melatih gamelan degung siswa SD dengan imbalan sekadarnya. Dengan latar belakang seperti itu serta bakat dan talenta yang saya miliki, saya kuliah di beberapa perguruan tinggi seni mempelajari musik tradisional, dan seusai kuliah, selanjutnya diangkat sebagai PNS dosen seni musik (karawitan). Sejak itulah saya berkecimpung di dunia seni dan pendidikan seni. Kesenian menjadi lahan profesi, sumber penghidupan, dan sekaligus sebagai wahana dalam rangka ikut serta membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Itulah arti totalitas dalam berkesenian menurut pandangan saya.                         

Apakah toalitas itu sepadan dengan “keimanan”?

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa totalitas itu adalah keutuhan atau keseluruhan. Artinya tanpa ada yang tertinggal atau tersisa, sepenuh hati. Sementara itu, keimanan adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati dalam hal meyakini dan mempercayai akan adanya Allah s.w.t., malaikat,  rasul dan kitab-kitabnya, hari akhir, dsb. (rukun iman). Dalam hal mengimani rukun iman, hendaknya disikapi dan dilakukan dengan sepenuh hati, tanpa keraguan sedikit pun. Itulah totalitas. Dengan demikian, totalitas itu sepadan dengan keimanan.     

Bagaimana kedalaman seni itu dapat bersinergi dengan kedalaman keimanan?

Perasaan seni dan keimanan sama-sama merupkan anugrah dari Allah SWT.  Seni merupakan ekspresi dari kedalaman jiwa, bersentuhan dengan perasaan yang paling dalam. Demikian pula halnya dengan keimanan. Seni dan keimanan berada dalam dalam ranah yang sama, yaitu ranah afektif, perasaan. Keindahan wujud seni sebagai hasil karya manusia sangatlah relatif dan juga subjektif, tidak dapat diukur dengan logika. Suatu karya seni yang dianggap indah oleh seseorang belum tentu dianggap indah oleh orang lain. Suatu karya seni yang secara visual jekek, bisa saja dianggap indah. Demikian pula halnya dengan keimanan. Keimanan adalah urusan jiwa dan perasaan. Keimanan seseorang terhadap adanya surga dan neraka tidak bisa dibuktikan pakai logika. Oleh karena seni dan keimanan berada dalam ranah yang sama, yaitu ranah afektif, kedalaman seni dan kedalaman iman dapat bersinergi.    

Apakah jalan seni yang ditempuh para seniman itu juga merupakan jalan ibadah menuju Tuhan Yang Mahaindah?

Secara khusus, ibadah adalah perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah yang didasari oleh ketaatan untuk mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Secara umum, ibadah adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridoi Allah, baik berupa perkataan maupun berupa perbuatan, yang tersembunyi (batiniah) dan yang tampak (lahiriah). Artinya, ibadah meliputi berbagai hal yang baik yang dicintai dan diridoi Allah s.w.t. Mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dalah salah satu bentuk ibadah yang wajib dilaksanakan. Ada berbagai macam cara mencari nafkah, termasuk salah satunya yaitu memanfaatkan seni sebagai sumber penghidupan. Dalam hal berkecimpung di dunia seni, para seniman bukan sekadar memanfaatkan seni sebagai media hiburan, melainkan juga sebagai media pendidikan, pembelajaran, ibadah, termasuk juga dakwah. Pamanfaatan seni sebagai media dakwah dalam rangka menyebarkan agama Islam sudah dilakukan sejak dulu oleh para wali. Seni, yang merupakan anugrah dari Allah SWT, selain dapat menjadi jalan ibadah, juga identik dengan keindahan. Sementara itu, Allah juga mencintai yang indah-indah. Salah satu hadis meriwayatkan bahwa “Allah itu indah, dan mencintai keindahan” (H.R. Muslim). Dengan demikian, dapatlah dipahami kalau jalan seni yang ditempuh para seniman itu juga merupakan jalan ibadah menuju Tuhan Yang Mahaindah. 
 
Dari pengalaman Anda, kapan kreativitas itu muncul dan kapan mandek bahkan jumud?

Kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mencipta atau sebagai perilaku kreatif. Hasil dari kreativitas adalah karya kreatif yang inovatif (baru). Hal baru (unsur kebaruan) inilah yang kemudian menjadi salah satu ciri dari hasil kreativitas. Oleh karena kreativitas seyogianya senantiasa menghasilkan sesuatu yang baru, kreativitas menjadi kunci pembaharuan. Tidak ada hal baru yang akan dihasilkan tanpa adanya tindakan kreatif atau kreativitas. Dengan demikian, kreativitas akan selalu muncul ketika seseorang berpikir tentang sesuatu yang baru, perkembangan, perubahan, yang identik dengan kemajuan. Sebaliknya, kreativitas akan mandek ketika seseorang tidak berpikir tentang sesuatu yang baru, perkembangan, perubahan yang identik dengan kemajuan, tetapi pasrah pada situasi dan kondisi apa adanya yang dianggapnya sebagai takdir Tuhan Yang Mahakuasa, yang dikenal sebagai jumud. 

Apakah Anda sepakat bahwa para seniman menjaga keutuhan NKRI dengan totalitas mereka berkesenian?

Keutuhan NKRI merupkan hal yang tidak dapat ditawar-tawar. Semua warga negara Indonesia berkewajiban untuk menjaga keutuhan NKRI. Setiap orang berjuang untuk menjaga keutuhan NKRI dengan caranya masing-masing sesuai dengan profesi di bidangnya masing-masing. Para seniman ikut membangun bangsa dan negara yang sekaligus juga menjaga keutuhan NKRI denga cara mareka sendiri, yakni dengan memfungsikan seni sebagai wahananya. Seni merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Di dalam seni (tradisional) terkandung berbagai nilai, seperti nilai-nilai sosial, kultural, religius, pendidikan, ekonomi, dsb. Totalitas para seniman dalam berkesenian dapat diartikan sebagai tindakan memelihara, mengembangkan, dan memanfaatkan daya hidup dan daya guna seni. Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang berbeda bahasa dan budayanya, termasuk keseniannya. Seni merupakan fenomena yang universal, terdapat di mana-mana, tetapi bukan merupakan bahasa yang universal. Setiap kesenian (misalnya seni musik) memiliki bentuk, fungsi, dan makna yang berbeda bagi setiap suku bangsa. Setiap bentuk kesenian hanya dapat dipahami oleh masyarakat pemiliknya. Etnomusikologi, disiplin ilmu musik bangsa-bangsa, yang mempelajari musik bangsa-bangsa secara kontekstual (ditinjau dari konteks kebudayaannya), mewajibkan setiap suku bangsa untuk mempelajari musik dari bangsa-bangsa lainnya. Dari proses saling mempelajari ini, setiap suku bangsa akan memiliki pemahaman akan bentuk, fungsi, nilai, dan makna musik suku-suku bangsa lannya. Dari saling memahami inilah kemudian akan timbul sikap saling menghargai antarsesama suku bangsa di Indonesia. Dari sinilah akan terwujud kehidupan yang damai, aman, dan tentram di antara suku-suku bangsa di Indonesia, tidak ada pertengkaran atau peperangan, dalam arti terpeliharanya keutuhan NKRI. Jadi, saya sepakat bahwa para seniman menjaga keutuhan NKRI dengan totalitas mereka berkesenian.