Seni dan sastra merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia melampaui batasan suku, bangsa dan agama. Islam sendiri memiliki aturan dalam seluruh aspek kehidupan, lalu bagaimana komunitas pesantren memandang dan mengapresiasi seni serta bagaimana perkembangan sastra di pesantren, berikut ini wawancara NU Online dengan Penyair Clurit Emas D. Zawawi Imron sesuai halaqah sastra pesantren yang diadakan oleh Lesbumi di Pati pertengahan Juli lalu.
Perkembangan sastra pesantren saat ini bagaimana?
Sebenarnya pesantren itu menjadi bapak asuh dari sastra daerah, sekarang bisa dilihat bahasa Madura saja sangat terpelihara di salah satu pesantren di Jawa, yaitu di pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Sampai sekarang, makna kitab masih menggunakan bahasa Madura, tapi di tempat-tempat lain, sekarang makna kitab sudah menggunakan bahasa
Proses kreatif para santri untuk mengarang dan menerbitkan karya sastra bagaimana?
Sekarang
Bagaimana dengan daya kreatifitas para santri?
Ooh sangat besar, tinggal masalahnya kiai dan pesantren memberikan ruang buat berkembangnya karya sastra atau tidak, yang saya maksud ketika yang diutamakan hanya pelajaran fikih saja, kemudian kepekaan-kepekaan estetik seperti membuat puisi, mengarang, menciptakan lagu, menyanyikan sholawat. Kemudian kitab yang berbentuk puisi tidak dipakai lagi, otomatis pesantren akan sangat kering. Kitab-kitab fikih yang dalam bentuk puisi
Lalu mengapa belakangan ini kecenderungan pendekatan fikih di pesantren sangat kuat?
Saya tidak tahu sebabnya, tapi justru yang bisa memelihara sastra di pesantren malah tasawwuf. Jadi mungkin fikih yang tidak disertai tasawwuf yang cenderung melihat sesuatu secara hitam putih, cenderung urusan benar dan salah, tapi kalau tasawwuf lebih pada indah dan jelek. Tatapi saya tidak berorientasi tasawwuf saja dan kemudian fikih ditinggalkan, saya tidak setuju. Sebab bagaimanapun, fikih itu aturan formal yang menjadi batas kita melakukan atau tidak melakukan. Justru tasawwuf itulah yang memberi semangat kita untuk mengamalkan fikih secara baik, bukan sekedar formalitas semata-mata. Jadi di dalam tasawwuf, dalam seni, ada rasa cinta terhadap yang kita lakukan. Ada kesadaran yang memang sengaja ditunjam ke dalam, kita bukan hanya melakukan sholat sekedar mengikuti ajaran Rasululah, lebih dari itu, kita melakukan sholat, kita bertemu dengan Allah, berdialog dengan Allah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.
Dalam pemahaman yang fikhiyyah, yang disebut sunnah itu kalau dikerjakan berpahala kalau tidak dikerjakan tidak apa-apa, tapi dalam pemahaman sufistik, yang disebut sunnah itu kalau tidak dikerjakan tidak apa-apa, kalau dikerjakan kita mendapat pahala, nah karena mendapatkan pahala, karena itu jangan sampai ditinggalkan, menjadi tanda taqarrub kepada Allah. Jangan sampai kita tinggalkan. Jadi ada semangat untuk mengerjakan sunnah walaupun tidak dikerjakan tidak apa-apa. Ini antara lain variasi-variasi yang perlu dipahami, bagaimanapun tasawwuf memberikan spirit bagi kita. Dengan tasawwuf saja tanpa fikih, bisa kacau kita. Jadi keduanya harus sinergi dan menjadi pegangan bagi kita dan itu yang dilakukan oleh para pendahulu kita.
Islam sebagai ajaran memberi batasan sejauh mana ekspresi seni dilakukan?
Begini saja, mungkinkan azan itu dilakukan secara datar-datar saja, kita
Maksud saya ada batasan fikih seperti batasan aurat, dan lainnya?
Ya tetap pakai batasan fikih yang diajarkan, saya
Jadi seni itu sebenarnya tidak netral, tetapi harus mengandung nilai-nilai moral?
Ya seni itu seperti pisau, mau digunakan untuk menguliti apel
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
6
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
Terkini
Lihat Semua