Wawancara

Di NU Perlu Ada Barisan Kesenian

Senin, 6 Agustus 2007 | 07:07 WIB

Seni dan sastra merupakan sesuatu yang inheren dalam diri manusia melampaui batasan suku, bangsa dan agama. Islam sendiri memiliki aturan dalam seluruh aspek kehidupan, lalu bagaimana komunitas pesantren memandang dan mengapresiasi seni serta bagaimana perkembangan sastra di pesantren, berikut ini wawancara NU Online dengan Penyair Clurit Emas D. Zawawi Imron sesuai halaqah sastra pesantren yang diadakan oleh Lesbumi di Pati pertengahan Juli lalu.

Perkembangan sastra pesantren saat ini bagaimana?

<>

Sebenarnya pesantren itu menjadi bapak asuh dari sastra daerah, sekarang bisa dilihat bahasa Madura saja sangat terpelihara di salah satu pesantren di Jawa, yaitu di pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Asembagus Situbondo. Sampai sekarang, makna kitab masih menggunakan bahasa Madura, tapi di tempat-tempat lain, sekarang makna kitab sudah menggunakan bahasa Indonesia. Sebenarnya pakai bahasa Indonesia gak apa-apa, tapi kan ada yang hilang. Kalau kita tetap menggunakan bahasa daerah, bahasa Jawa, bahasa Madura, bahasa Indonesia kita kan akan tetap terpelihara untuk kebutuhan komunikasi antar etnis.

Proses kreatif para santri untuk mengarang dan menerbitkan karya sastra bagaimana?

Sekarang kan sudah banyak karya santri. LKiS banyak berjasa dalam menerbitkan karya-karya santri. Dulu kita tahu di semarang ada penerbit Thoha Putra yang menerbitkan karya-karya para kiai antara lain menerbitkan karya-karya Kiai Bisri Mustofa. Di Surabaya juga ada penerbit Salim Nabhan yang menerbitkan kitab yang terjemahan berbahasa Madura dan berbahasa Jawa.

Bagaimana dengan daya kreatifitas para santri?

Ooh sangat besar, tinggal masalahnya kiai dan pesantren memberikan ruang buat berkembangnya karya sastra atau tidak, yang saya maksud ketika yang diutamakan hanya pelajaran fikih saja, kemudian kepekaan-kepekaan estetik seperti membuat puisi, mengarang, menciptakan lagu, menyanyikan sholawat. Kemudian kitab yang berbentuk puisi tidak dipakai lagi, otomatis pesantren akan sangat kering. Kitab-kitab fikih yang dalam bentuk puisi kan ada, kitab aqidah yang dalam bentuk puisi kan ada. Saya kira ini kan tak perlu diubah. Kalau Allah satu kan nanti kan tetap satu juga. Karya-karya klasik seperti itu perlu dipertimbangkan. Kalau maknanya tetap, pemahamannya yang perlu disegarkan.

Lalu mengapa belakangan ini kecenderungan pendekatan fikih di pesantren sangat kuat?

Saya tidak tahu sebabnya, tapi justru yang bisa memelihara sastra di pesantren malah tasawwuf. Jadi mungkin fikih yang tidak disertai tasawwuf yang cenderung melihat sesuatu secara hitam putih, cenderung urusan benar dan salah, tapi kalau tasawwuf lebih pada indah dan jelek. Tatapi saya tidak berorientasi tasawwuf saja dan kemudian fikih ditinggalkan, saya tidak setuju. Sebab bagaimanapun, fikih itu aturan formal yang menjadi batas kita melakukan atau tidak melakukan. Justru tasawwuf itulah yang memberi semangat kita untuk mengamalkan fikih secara baik, bukan sekedar formalitas semata-mata. Jadi di dalam tasawwuf, dalam seni, ada rasa cinta terhadap yang kita lakukan. Ada kesadaran yang memang sengaja ditunjam ke dalam, kita bukan hanya melakukan sholat sekedar mengikuti ajaran Rasululah, lebih dari itu, kita melakukan sholat, kita bertemu dengan Allah, berdialog dengan Allah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.

Dalam pemahaman yang fikhiyyah, yang disebut sunnah itu kalau dikerjakan berpahala kalau tidak dikerjakan tidak apa-apa, tapi dalam pemahaman sufistik, yang disebut sunnah itu kalau tidak dikerjakan tidak apa-apa, kalau dikerjakan kita mendapat pahala, nah karena mendapatkan pahala, karena itu jangan sampai ditinggalkan, menjadi tanda taqarrub kepada Allah. Jangan sampai kita tinggalkan. Jadi ada semangat untuk mengerjakan sunnah walaupun tidak dikerjakan tidak apa-apa. Ini antara lain variasi-variasi yang perlu dipahami, bagaimanapun tasawwuf memberikan spirit bagi kita. Dengan tasawwuf saja tanpa fikih, bisa kacau kita. Jadi keduanya harus sinergi dan menjadi pegangan bagi kita dan itu yang dilakukan oleh para pendahulu kita.

Islam sebagai ajaran memberi batasan sejauh mana ekspresi seni dilakukan?

Begini saja, mungkinkan azan itu dilakukan secara datar-datar saja, kita kan membutuhkan rasa seni sehingga ditunjuk orang yang begitu bagus suaranya sehingga ditunjuk Bilal bin Rabah yang suaranya memukau mampu mendatangkan inspirasi orang untuk segera bertemu dengan Allah.

Maksud saya ada batasan fikih seperti batasan aurat, dan lainnya?

Ya tetap pakai batasan fikih yang diajarkan, saya kan tidak membenarkan telanjang, tapi kita cara memakainya dalam bentuk kesadaran, rasa keindahan, rasa cinta. Ini kalau syariat bukan karena takut kepada neraka saja, menutup aurat, memakai jilbab karena menikmati ajaran Rasulullah, menikmati syariat Allah ini justru lebih baik lagi, bukan sekedar karena dipaksa oleh agama, tetapi dari kesadaran intrinsik dari dalam dengan menutup auran ini, saya menemukan rasa keindahan, rasa taat yang sedalam-dalamnya antara saya dengan Allah. Saya memakai jilbab, hati saya juga dijilbabi, tidak menjadi hati yang mudah dibawa syaitan kemana-mana.

Jadi seni itu sebenarnya tidak netral, tetapi harus mengandung nilai-nilai moral?

Ya seni itu seperti pisau, mau digunakan untuk menguliti apel kan bagus, dan digunakan untuk menyayat bawang bagus, tapi oleh para pencoleng bisa digunakan untuk memotong leher korban, ya terserah kepada orangnya. Di tangan pelaku syariat yang baik, seni bisa menjadi spirit, itu yang saya maksud, apalagi dalam tradisi NU, memang ada warisan kesenian tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang yang sekarang bukan hanya orang NU saja yang memakai, seperti sholawat diba. barjanji, sholawat badar. Sekarang banyak anak yang bukan dari keluarga NU yang lebih bagus, karena itu, orang NU harus memelihara warisan ini, karena bagaimanapun juga memelihara yang baik dan up to date itu tugas kita kalau kita kembali pada kaidah al mukhafadhotu all kodimissholih wal akhdu bil jadidil aslah. Selain itu, kita mencari yang baru yang lebih segar, lebih baik, tetapi yang masih relevan dengan zaman tidak boleh ditinggalkan kalau memang kita mau survive. Kemudian kalau yang baik dibuang, akan diambil orang lain. Nah karena itu, dikalangan NU perlu ada barisan kesenian, apalagi barisan ini bukan untuk bertengkar, bukan barisan politik. Jadi itu artinya kebudayaan itu sama pentingnya dengan politik juga, apalagi hak kita untuk mengembangkan kesenian itu. (mkf)