Wawancara

Syuriyah NU Tak Cukup Sekedar Kiai

Senin, 23 Juli 2007 | 10:55 WIB

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama baru-baru ini menyelenggarakan program peningkatan peran syuriyah NU. Program ini didasari pada keprihatinan minimnya peran syuriyah dibandingkan dengan posisi yang sebenarnya mereka miliki. Sebenarnya, apa persoalan yang menghinggapi kalangan syuriyah dan bagaimana program ini diharapkan dapat meningkatkan peran yang mereka miliki, berikut ini wawancara NU Online dengan Wakil Rais Aam PBNU KH Tolchah Hasan yang menjadi penggagas program, beberapa waktu lalu.

Latar belakang peningkatan peran syuriyah?

<>

Syuriyah dalam organisasi NU mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat strategis disamping juga satu kekuatan sentral dalam NU, anggaran dasar dan aturan organisasi lainnya, diposisikan sebagai pengarah, pembimbing, ya macem-macem. Peran kepemimpinannya begitu besar sehingga sebetulnya kalau kita melihat dari hal-hal formal organisatorisnya, syuriyah memiliki kewenangan, otorita yang sangat luas dalam menggerakkan dan mendayagunakan NU. Tapi kita amati sekarang ini, peran itu tidak bisa dilaksanakan dengan semestinya karena orang-orang yang ditempatkan dalam lembaga syuriyah ini tidak semuanya memahami dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugasnya. Ini masalahnya.

Disisi lain, masyarakat pada umumnya dan warga NU pada khususnya mengalami dinamika yang sangat cepat sekali, baik yang disebabkan karena tingkat pendidikan mereka yang lebih baik daripada dulu, masalah kemajuan ekonomi, masalah penguasaan informasi dan lain sebagainya sehingga menyebabkan perkembangan dinamika yang sangat cepat. Ini kerapkali tidak tercover oleh syuriyah karena keterbatasan-keterbatasan yang ada dalam syuriyah. Nah, jika ini terus berjalan tanpa ada satu cara untuk memecahkan, yang kami khawatirkan adalah apabila pada suatu ketika, katakanlah paradigma yang dipakai oleh syuriyah baik itu di tingkat nasional, regional maupun tingkat lokal, sudah berbeda dengan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Ini yang saya sebutkan adanya kesenjangan paradigmatik antara pimpinan dalam hal ini syuriyah dengan ummat. Kalau itu sampai terjadi, maka akibat yang timbul pertama kali adalah kredibilitas syuriyah di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang dinamis mengalami penurunan-penurunan, yang pada suatu titik nanti betul-betul terjadi suasana ummatnya ke utara syuriyahnya ke selatan, simpang jalan.

Kemudian wibawa syuriyah yang selama ini menjadi salah satu ikon dalam NU menjadi pudar. Oleh karena itu ,maka kita mengharapkan adanya satu upaya-upaya begini ini, syuriyah disamping memahami peran dan kedudukannya dalam organisasi, syuriyah juga mampu untuk melihat dinamika ummat dengan benar dan dengan menyeluruh, disamping bisa memahami sebetulnya apa yang diinginkan oleh ummat ini dengan bagaimana keadaan ummat yang dipimpin, dengan satu paradigma yang lebih tepat.

Persoalan itu timbul apakah karena proses rekrutmen syuriyah yang kurang tepat atau bagaimana?

Salah satu itu, sebab di dalam NU itu, masih banyak yang menganggap bahwa semua kiai, pengasuh pondok atau orang yang dipanggil kiai, dianggap merupakan orang yang tepat untuk menduduki jabatan syuriyah. Padahal sebetulnya di dalam dua sebutan kiai dan syuriyah terdapat perbedaan-perbedaan fungsional. Kiai itu, kan lebih banyak dititik beratkan dalam dimensi keilmuan, orang yang alim dalam masalah-masalah agama. Dua, dimensi moralitas, integritas moralnya dijamin sehingga menjadi panutan ummat. Lalu ketiganya, ia mendapat pengakuan masyarakat, beliau sebagai kiai, disatu sisi itu.

Tapi kalau kita bicara masalah syuriyah, disitu ada dimensi lain, umpamanya dimensi kepemimpinan. Secara teoritik dan aplikatif syuriyah itu harus mengerti tentang bagaimana memimpin ummat. Dua, harus memahami dinamika ummat. Ketiga, harus mengerti dengan baik tentang organisasi yang dipimpin, baik yang sifatnya struktural atau fungsional. Lalu, yang keempat dapat mengembangkan fungsi organisasi dengan baik. Tidak semua kiai itu pasti menguasai masalah-masalah itu dengan baik, sebab di pondok pesantren, seorang calon kiai selalu sempat mendapatkan pembekalan tentang masalah-masalah dan prinsip-prinsip leadership, prinsip berorganisasi, tentang manajemen sosial. Tentang begini-begini ini belum tentu bisa karena memang belum sempat mendapatkan itu. Ini tambah lama tambah terasa.

Sebenarnya NU kan sudah memiliki sistem kaderisasi mulai dari IPNU dan Ansor yang diharapkan suatu saat mereka juga dapat duduk dijajaran syuriyah?

Harapan memang dulu demikian, tapi ternyata pengkaderan-pengkaderan antara dulu dan sekarang tidak sama. Dulu ada pengkaderan untuk pengurus NU. Jadi karakter NU sudah terinternalisasi di NU pada kader itu, tinggal kekurangannya bagaimana, itu yang kita tambah. Sekarang dengan kaderisasi melalui ormas-oramas, kadang-kadang orientasinya berbeda. Coba kita lihat PMII, waktu masih zaman bergabung dengan NU secara struktural, itu biasanya orientasinya adalah yang dibuat oleh NU atau dipakai oleh NU kemudian diambil bagian-bagian yang sesuai dengan konteks mereka, sekarang tidak. Merasa sudah menjadi badan otonom sehingga otonom dalam segala-galanya. Coba kita lihat saja, anak-anak mahasiswa kita justru berorientasi pada masalah-masalah politik praktis. Keterlibatan mereka disana, jarang sekali diantara mereka yang ikut terlibat dalam masalah yang menjadi garapan pokok NU mengenai masalah pengembangan pendidikan, pelayanan kesehatan, masalah pemberdayaan ekonomi kerakyatan, dan lainnya sehingga ketika kita mau merekrut kader yang sudah punya wawasan yang bener dan utuh apa yang menjadi kebutuhan NU kadang-kadang mengalami kesulitan juga.

Ketika sumber calon pendidikan dianggap kurang memadai kurang memadai saat sekarang ini, apa berarti pendidikan pesantren perlu penambahan kurikulum seperti misalnya mengenai kepemimpinan?

Sebenarnya sumber kita ini sebenarnya sudah memungkinkan, sudah memenuhi kebutuhan kita, hanya saja perlu ada intervensi-intervensi hal-hal tertentu yang memang dibutuhkan, intervensi nilai misalnya, seperti masalah yang tadi dibicarakan, masalah leadership misalnya. Ini bisa dilakukan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Jadi ulama-ulama syuriyah memang tidak bisa lepas dari sumber pesantren, tak bisa. Apalagi di pesantren sekarang disamping masalah pengajian yang sebagian masih cukup bagus, disana ada pendidikan tinggi sehingga sebetulnya tidak terlalu kesulitan. Masalahnya kita tidak memiliki mekanisme yang cukup bagus untuk itu, potongan syuriyah yang kita perlukan itu sebenarnya seperti apa?

Sember rekrutmen lain, misalnya dari kampus kan banyak?

Banyak, kader NU dari kampus, di satu sisi masalah yang kita butuhkan tadi, seperti masalah wawasan, kemasyarakatan, manajemen organisasi, dinamika sosial itu rata-rata bagus. Tapi mereka belum bisa memahami tentang kultur NU yang mereka hadapi. Kedua, mereka tidak memiliki keakraban dengan masyarakat bawah padahal NU itu semuanya adalah masyarakat bawah. Di satu sisi mereka bagus, tetapi mereka tidak akrab. Yang hidup sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Jadi nanti kiai-kiai kampus kita tarik ke bawah supaya mereka bisa lebih paham tentang ummat yang ada di bawah. Tapi kiai-kiai yang dari pesantren di kampung-kampung, harus kita angkat supaya mereka bisa melihat masalah itu lebih luas.

Jadi nanti konsep syuriyah itu perpaduan?

Ya kita memang ingin memadukan sebab kenyataannya kader-kader NU yang di kampus atau yang diluar sekarang terus berkembang dan tambah banyak, tapi kadang-kadang mereka tidak kenal dengan kultur NU sendiri.

Apakah syuriyah itu orang yang kompeten dalam bidang agama atau keahlian lain juga?

Namanya kalau orang memimpin kan harus mengerti, siapa yang dipimpin dan bagaimana memimpin, harus paham. Kepemimpinan itu fungsinya kan ada tiga hal, pertama adalah bagaimana ia bisa membuat keputusan yang baik dan benar, kalau tidak bisa kacau. Bagaimana bisa membuat keputusan yang baik dan benar? Ini kan masalah-masalah fungsi decision making. Kedua, masalah bagaimana mereka bisa mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi organisasi. Ini problem solving. Ini selalu diperlukan karena mau tidak mau kalau masalah yang ruwet, syuriyah harus ikut memecahkan. Lalu bagaimana cara-cara untuk mengambil satu pemecahan masalah. Ketiga, NU kan sekarang masyarakat yang transisional, biasanya kesalahpahaman tinggi, dalam berbagai masalah gegeran, masalah politik gegeran. Tapi bagaimana seorang pemimpin bisa me-manage konflik yang ada. Tapi konflik ini harus dipahami. Memang syuriyah tidak harus mengatasi masalah-masalah teknis. Cari duit kesana kemari tidak, tapi dalam hal-hal yang sangat penting, syuriyah mau tidak mau harus ikut bertanggung jawab. (mkf)