Jakarta, NU Online
Masalah penodaan agama bukanlah isu baru. Sejak Kemerdekaan Indonesia, masalah ini sudah mengemuka. Presiden Soekarno telah mengeluarkan Penetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang kemudian dinamakan UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dalam pelaksanaannya undang-undang ini menimbulkan kontroversi di masyarakat. Bagi para pemuka agama undang-undang ini dijadikan dasar untuk menetapkan suatu aliran atau paham keagamaan yang dipandang telah menodai suatu agama, sehingga perlu dibubarkan dan dilarang. Sedangkan bagi kelompok aktivis Hak-hak Asasi Manusia (HAM) undang-undang ini dianggap dapat menghalangi kebebasan beragama yang dijamin oleh Undang-undang. Undang-undang ini dapat menjadi alat pembenaran bagi perilaku penodaan dan bahkan tindakan kekerasan, serta penistaan terhadap kelompok agama tertentu.
Untuk melihat pandangan para tokoh agama terhadap UU tersebut, Balitbang dan Diklat Kementerian Agama (2013) melakukan penelitian untuk melihat pandangan para pemuka agama terhadap isi UU No.1/PNPS/1965.
Penelitian dilakukan di delapan provinsi, yaitu DKI Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pemilihan lokasi penelitian didasarkan pada kriteria wilayah yang banyak terjadi kasus penistaan/penodaan agama dan wilayah yang relatif sedikit terjadi kasus penistaan/penodaan agama.
Berdasarkan temuan lapangan, diperoleh informasi bahwa sebagian besar informan yang merupakan pemuka agama Islam belum mengetahui dan belum pernah membaca, serta mengkaji secara mendalam isi UU No.1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Namun demikian para informan mengetahui keberadaan UU No.1/PNPS/Tahun 1965 tersebut.
Terkait dengan definisi penistaan/penodaan agama, sebagian besar pemuka agama Islam menyatakan perlu adanya definisi yang lebih tegas mengenai istilah penistaan/penodaan agama. Termasuk di sini adalah isi pasal 1 Undang-Undang No.1/PNPS/1965 yang menyebutkan bahwa: Setiap orang dilarang dengan sengaja dimuka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.
Dalam konteks ini, terdapat tiga pandangan di kalangan pemuka agama Islam.
Pertama, isi pasal 1 tersebut sudah cukup jelas dan lugas. Kedua, perlu ada revisi terhadap isi pasal tersebut. Ketiga, setuju terhadap definisi penistaan yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu: Penistaan agama adalah perbuatan sengaja yang dilakukan dengan tujuan untuk melukai, menghina suatu agama dan perbuatan tersebut merupakan kejahatan.
Mengenai “penafsiran” dan “kebebasan berpendapat” para pemuka agama Islam menyatakan bahwa penafsiran itu berbeda dengan kebebasan berpendapat. Hal itu dikarenakan penafsiran harus memenuhi kaidah ilmu tafsir. Sedangkan dalam hal berpendapat, setiap orang mempunyai kebebasan berpendapat sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Mengenai pengertian di ”muka umum”, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa definisi di muka umum adalah ketika suatu pendapat atau pernyataan disampaikan di hadapan publik, baik langsung maupun tidak langsung (media massa), kecuali dalam forum kajian ilmiah.
Soal aliran kepercayaan, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa aliran kepercayaan bukan agama, ia adalah produk kebudayaan yang bersumber dari tradisi lokal.
Mengenai agama di luar 6 agama yang disebutkan dalam UU No. 1/PNPS/1965, para pemuka agama Islam pada umumnya menyatakan bahwa mereka harus diberi hak hidup dan dilindungi sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29.
Tentang kriteria yang dapat dianggap menodai agama, para pemuka agama Islam menyatakan bahwa kriteria penodaan agama harus memenuhi unsur sebagai berikut: disengaja; unsur kebencian terhadap agama lain; menghina dan melecehkan; mencemooh dan memaki; serta mengolok-olok. (Mukafi Niam)