Mempertemukan Tradisi dan Agama: Jembatan Emas Membangun Karakter Bangsa
Selasa, 28 Juli 2020 | 04:15 WIB
Para peneliti Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI mengungkapkan bahwa resistensi kelompok puritan terhadap eksistensi tradisi di satu sisi dimengerti sebagai sebuah kesadaran beragama.
Namun, menjaga eksistensi dan memajukan tradisi, bahkan mengkapitalisasi nilai-nilai tradisi dan praktiknya, perlu menjadi arus utama (mainstreaming) transformasi sosial. Hal itu penting agar masyarakat yang harmoni, toleran, moderat dan tidak radikal adalah sebuah kebutuhan dari kebijakan bernegara dan praktik umum perlaku komunitas.
Berdasarkan penelitian tahun 2019 tersebut, para peneliti menemukan bahwa tradisi Gaok, Ngukus, dan Bobotan membuktikan peran tradisi terhadap penjagaan nilai-nilai toleransi dan antiradikalisme. Penelitian dilakukan di Jawa Barat yakni Majalengka, tempat tradisi Gaok berasal dan berkembang. Kemudian, Indramayu sebagai asal tradisi Bobotan. Berikutnya Bandung, sebagai asal tradisi Ngukus atau tradisi mengasap.
Karena itu, para peneliti memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, proses pemajuan tradisi lokal tidak sekedar pada bentuk dan alur dari ritualnya. Tetapi terkait juga pada pengembangan dan penyesuaian nilai-nilai utama yang terkandung di dalamnya. Ranah ini perlu didorong oleh Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam proses pembelajaran dan pengajaran di lembaga lembaga pendidikan.
Berikutnya, nilai-nilai utama tradisi yang membangun dan menyemai pemahaman, kesadaran, dan praktik-praktik hidup bertoleransi, berharmoni, saling mengerti, saling menghargai mereka yang berbeda dan saling menahan diri. Tujuannya agar kepentingan umum dan kehidupan bersama terjaga. Hal itu perlu dikembangkan sebagai dasar dasar kebijakan dan pengambilan keputusan terkait trilogi kerukunan beragama.
Penggunaan kearifan lokal seperti ini perlu dilakukan oleh Bimas Islam, Bimas Kristen, Bimas Katolik, Bimas Hindu, Bimas Buddha di lingkungan Kementerian Agama, khususnya mainstreaming para penyuluh agama.
Ketiga, hadirnya gerakan intoleransi, radikalisme, dan kelompok puritan ekstrem yang sepenuhnya bertumpu pada nilai-nilai formal keagamaan dan menafikan kearifan lokal tradisi lama merupakan tanda melemahnya kapasitas lokal dalam melaksanakan eksistensi kebudayaannya. Hilangnya kearifan lokal ini akan menjauhkan masyarakat dari kehidupan beragama yang sesuai dengan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia.
Atas dasar itu, sekalipun Kementerian agama berada pada ranah kehidupan beragama, perlu didorong kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan kehidupan beragama, tidak lagi menafikan kearifan lokal di dalamnya. Kementerian Agama harus melakukan revitalisasi kearifan lokal sebagai afirmative action kebijakan trilogi kerukunan umat beragama.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan telaah dokumen.Wawancara dilakukan kepada pelaku tradisi, budayawan, aparat desa, dan warga setempat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan teori virtue ethics (nilai keutamaan) yang dikembangkan oleh Rainer Forst dalam bukunya yang berjudul Toleration in Conflict: Past and Present (2013).
Penulis: Kendi Setiawan
Editor: Musthofa Asrori