Nilai-nilai moderasi beragama secara substantif ditemukan pada ajaran setiap agama dalam berbagai bentuk dan istilah, sesuai dengan inti dan pokok ajaran agama masing-masing.
Akar historis pesantren adalah lembaga pencetak dan pengkader ulama. Sebagian besar ulama dilahirkan oleh pendidikan pesantren dan sejenisnya. Maka fungsi pesantren sebagai lembaga reproduksi ulama hendaknya terus didorong untuk tetap dipertahankan keberlangsungannya.
Kesimpulan tersebut muncul dalam Workshop RUU Pesantren: Arah, Tantangan, dan Implikasi yang diinisiasi Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang Diklat Kementerian Agama tahun 2019 lalu. Melalui kegiatan itu, Kemenag ingin memposisikan pesantren menjadi sangat strategis di tahun ke-74 kemerdekaan Indonesia.
Pesantren diharapkan tetap mampu melahirkan ulama-ulama yang mutafaqqih fid-din, karena hal itu merupakan tugas utama pendidikan pesantren. Pesantren telah mengukir prestasi dalam kajian tafaqquh fid-din dan pelestarian nilai-nilai agama, dengan melahirkan sejumlah pemimpin formal dan informal serta melakukan perluasan dakwah Islam di Tanah Air.
Dalam ringkasan eksekutif (Executive Summary) dari kegiatan tersebut, disebutkan pesantren senantiasa dihadapkan kepada arus perubahan dalam konteks pengembangan dan pembaruan pendidikan. Dalam tradisi pesantren, al-muhafazhatu 'ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah, merupakan kaidah yang menjadi rujukannya dalam menghadapi derasnya arus perubahan. Sesuatu yang baru tidak selalu dimaknai sebagai hal yang lebih baik ketimbang yang lama. Pesantren merasa perlu untuk terus menerus secara kreatif merespons tantangan perubahan dalam pengelolaan pendidikan sekaligus menemukan pilihan yang lebih relevan, sesuai kebutuhan zaman.
Agenda Pasca-UU Pesantren
Pascapenetapan UU Pesantren, untuk mengawal isu-isu krusial di dalamnya perlu disiapkan sejumlah agenda. Pertama, mengawal turunan UU ke PP dan Permenag agar mencerminkan rekognisi pesantren. Tidak boleh membuat rekognisi menjadi intervensi kepada pesentren.
Kedua, menyiapkan Majelis Masyayikh yang kompeten menguatkan pesantren. Majelis Masyayikh pesantren bekerja untuk menyusun standar kompetensi, akreditasi ragam pesantren, dan memastikan rekognisi dapat berjalan dengan baik. Ketiga, konsolidasi pesantren untuk optimalisasi tiga fungsi strategis. Pesantren harus menunjukkan strategi dan peran dakwah yang toleran dan damai, serta sebagai aktor aktif dan mumpuni dalam tindakan pemberdayaan masyarakat.
Lokakarya tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, konsolidasi manajemen dan administrasi keuangan pesantren. Pesantren menjadi institusi yang mencerminkan semangat Islam yang profesional, transparan, dan akuntabel. Sosialisasi UU pesantren seluas-luasnya agar makin banyak pesantren yang mengerti hak atas akses dan kualitas penyelenggaraan pesantren.
Selain itu, pesantren musti berbenah dan bersiap untuk menjadi subyek aktif pencapaian pembangunan. Pencapaian SDGs, pencapaian akses dan kualitas pendidikan, pengurangan kemiskinan, dan lain-lain. Pesantren juga musti selalu siap bermitra dengan pemerintah dan sektor swasta, di tingkat nasional dan daerah. Untuk hal ini, pesantren wajib menyiapkan keperluan administrasi dan prasyarat kompetensi agar siap bekerjasama dengan berbagai pihak. Baik di level daerah, nasional, maupun internasional.
Hal lain tak kalah penting adalah peningkatan kapasitas SDM pesantren dalam bidang manajemen kelembagaan, keuangan, dan informasi. Lalu, menyusun panduan dan silabus dakwah Islam rahmatan lil ‘alamin sesuai dengan paham Ahlussunnah Wal Jamaah, serta melestarikan metode dakwah ala pesantren.
Penulis: Musthofa Asrori
Editor: Kendi Setiawan
Baca artikel hasil penelitian Badan Litbang Diklat Kemenag lainnya di sini.