Menelisik Masjid Alit Klaten Peninggalan Ki Ageng Gribig
Jumat, 22 Oktober 2021 | 07:15 WIB
Masjid Alit Ki Ageng Gribig tercatat sebagai masjid tertua di Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Masjid ini dibangun oleh Ki Ageng Gribig pada abad 17 Masehi atau pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M). (Foto: Puslitbang Lektur Kemenag)
Masjid Alit Ki Ageng Gribig tercatat sebagai masjid tertua di Kecamatan Jatinom, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Masjid ini dibangun oleh Ki Ageng Gribig pada abad 17 Masehi atau pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645 M).
Terkait dengan tahun pendiriannya tidak diketahui secara pasti karena tidak ada catatan resmi yang memuat tahun pendiriannya. Inskripsi yang ada hanyalah bertutur tentang tahun pemugaran oleh masyarakat yang dilakukan pada tahun 1862 M.
Ki Ageng Gribig atau semasa mudanya dikenal dengan nama Syekh Wasibagno Timur adalah ulama yang berperan besar dalam penyebaran agama Islam di daerah Klaten dan sekitarnya. Kegiatan penyebaran Islam di masyarakat terpusat di Masjid Alit ini. Selain masjid peninggalannya, Ki Ageng Gribig juga meninggalkan warisan budaya bernafaskan Islam yaitu tradisi Yakowiyu, atau penyebaran apem yang masih dirayakan oleh masyarakat Jatinom tiap bulan Safar.
Walaupun sudah dibangun masjid baru yang lebih besar, yaitu Masjid Ageng Jatinom, namun keberadaan Masjid Alit ini tetap dijaga kelestariaanya. Hal tersebut dilakukan sebagai salah satu upaya memelihara warisan para ulama, baik berbentuk bangunan maupun tradisi keagamaan.
Masjid Alit sebagai Awal Misi Dakwah
Retno Kartini Savitaningrum Imansyah, peneliti di Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagaman, Balitbang Kemenag melakukan penelitian terhadap eksistensi keberadaan Masjid Alit Ki Ageng Gribig.
Penelitian berjudul Deskripsi Masjid Alit Ki Ageng Gribig dan Dakwah Kultural Awal di Klaten, Jawa Tengah (2015) ini, selain menggunakan pendekatan arkeologis untuk mendiskripsikan struktur fisik masjid bersejarah dan makna yang terkandung di dalamnya, juga melakukan pendekatan sosio-historis sebagai upaya mendeskripsian latar belakang berdirinya masjid dan perannya dalam proses islamisasi di wilayah seputarnya.
Menurut penelusuran Retno, berdirinya Masjid Alit Jatinom ini bermula dari hubungan dekat yang sudah terjalin lama antara Ki Ageng Gribig dengan Sultan Agung Hanyakrakusuma. Kedua tokoh ini sering berdialog tentang berbagai hal, mulai dari masalah agama sampai hal-hal yang terkait dengan pemerintahan kerajaan Mataram.
Dialog antara Ki Ageng Gribig dan Sultan Agung ini biasa dilakukan di Gua Suran ataupun Gua Belan. Dua tempat ini disebut-sebut sering digunakan Ki Ageng Gribig untuk bersemedi, menyepi dan mendekatkan diri kepada Allah. Dua situs bersejarah tersebut sampai sekarang masih dijaga eksistensinya oleh masyarakat yang terhimpun dalam wadah P3KAG (Pengelola Pelestari Peninggalan Kyahi Ageng Gribig).
Sebagai penghargaan atas jasa-jasanya, Sultan Agung kemudian memberikan wilayah perdikan Jatinom kepada Ki Ageng Gribig. Di wilayah inilah Ki Ageng Gribig membangun Masjid Alit dan mengawali kegiatan dakwah Islamnya.
Pada masa itu, masyarakat setempat masih memeluk agama pra-Islam bahkan masih banyak pula pemuja benda-benda keramat tertentu. Masjid Alit pada masa itu merupakan tempat tinggal sekaligus tempat ibadah yang digunakan oleh Ki Ageng Gribig dan masyarakat sekitar yang sudah memeluk Islam. Di samping tempat shalat, masjid juga digunakan oleh Ki Ageng Gribig untuk mengajari masyarakat berbagai ilmu agama.
Dalam menjalankan dakwah Islamnya, Ki Ageng Gribig memakai cara-cara yang dilakukan oleh gurunya, yaitu Sunan Pandanaran yang merupakan murid Sunan Kalijaga. Ki Ageng Gribig juga menggunakan cara halus dan pelan-pelan dalam menyiarkan Islam, sehingga masyarakat seputar merasa tidak dipaksa untuk masuk Islam. Mengajarkan agama dengan mengakomodasi tradisi setempat menjadi pilihan dakwahnya.
Model inilah yang membuat Islam mudah diterima oleh masyarakat setempat saat itu karena mereka memandang Islam bukan sebagai ancaman tetapi melengkapi keyakinan dan tradisi mereka yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Oleh karenanya para wali dan penyiar agama Islam banyak menyerap dan memanfaatkan potensi sosial dan budaya setempat dalam kegiatan dakwahnya.
Di samping mewariskan Masjid Alit sebagai saksi sejarah dakwah Islamnya di Jatinom, Ki Ageng Gribig juga mewariskan tradisi keagamaan “Yaqawiyu” yang sangat terkenal di Klaten.
Tradisi ini memilki ciri khas yaitu sebaran apem yang diperebutkan oleh ribuan orang yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah. Apem oleh masyarakat Jatinom diartikan dari kata “afwum” yang artinya ampunan. Permohonan ampun ini ditujukan pada Allah yang Mahakuat (Ya Qawiyyu), dan Maha Pemberi Rezeki (Ya Rozaq). Jadi mana tersirat dari tradisi penyebaran apem ini adalah agar manusia senantiasa memohon ampunan dari Allah atas segala kesalahannya.
Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun, hari Jum’at di bulan Safar. Pada masa lalu, tradisi ini di dimulai di Masjid Alit dan di Oro-oro Tarwiyah. Namun, mengingat lokasi sekitar Masjid Alit mulai dipadati oleh pemukiman penduduk, maka prosesi acara Yaqawiyu saat ini lebih banyak dilakukan di Masjid Besar, karena arealnya lebih luas dan berdekatan dengan lokasi penyebaran apem, yaitu Oro-oro Tarwiyah.
Penamaan tradisi Yaqawiyu ini diambil dari penggalan doa Ki Ageng Gribig yang selalu mengiringi prosesi penyebaran apem, yaitu kata Ya Qowiyyu. Adapun doa lengkap Ki Ageng Gribig adalah “Ya qowiyyu qowwina wal muslimin ya qowiyyu ya rozaq warzuqna wal muslimin”.
Makna dari seruan tersebut adalah “Ya Tuhan Yang Mahakuat, semoga Engkau memberikan kekuatan kepada kami semua kaum muslimin.Ya Tuhan Yang Maha Kuat dan Pemberi Rejeki, semoga Engkau memberikan rejeki kepada kami semua kaum muslimin”. Kalimat seruan yang diciptakan oleh Ki Ageng Gribig ini juga menjadi kalimat seruan jihad fisabilillah pasukan Sultan Agung ketika berperang melawan VOC.
Tradisi ini masih terus dilaksanakan sampai sekarang dan salah satu ritualnya masih dilakukan juga di Masjid Alit. Bahkan miniatur Masjid Alit juga dibuat dan diarak dalam prosesi Yaqawiyu, sebagai bentuk aktivitas “nguri-uri peninggalan leluhur” atau melestarikan dan mengenang peninggalan Ki Ageng Gribig.
Di masa sekarang, Masjid Alit Ki Ageng Gribig masih terawat dan berfungsi baik. Masih juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya jamah untuk “mengaji” ilmu keagamaan. Peran masjid dalam hal ini tentu saja tidak sama lagi ketika baru di bangun oleh Ki Ageng Gribig bersama santri dan para pengikutnya.
Pada zaman dulu tatkala masjid ini mulai dibangun, maka fungsi utamanya sebagai media berkumpul untuk mengkaji berbagai ilmu agama sedemikian menonjol. Namun, seiring dengan kemajuan jaman, maka fungsi Masjid Alit sebagai pusat dakwah Islam di Jatinom sedikit demi sedikit mulai memudar.
Kalau pada masa awal penyiaran agama Islam di Jatinom, aktifitas dakwah Islam dilakukan hampir setiap hari dengan intensitas pembelajaran ilmu keagamaan yang demikian tinggi, maka pada pada masa sekarang peran tersebut jauh berkurang. Kondisi tersebut tentu saja disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan keberagamaan masyarakat sekitar Jatinom.
Pun demikian, berbagai kegiatan keagamaan yang menggambarkan aktifitas kebersamaan masih dilaksanakan di masjid ini. Semisal, alat wajib lima waktu baik oleh masyarakat sekitar atau peziarah makam Ki Ageng Gribig, shalat terawih, salat Jumat, salat Idul Fitri/Adha, perayaan hari-hari besar keagamaan Islam, Pengajian majelis taklim, musyawarah, shalat jenazah, dan tentu saja menjadi bagian dalam prosesi perayaan Yaqawiyu.
Dengan kata lain Masjid Alit ini tetap konsisten dalam peran dakwah Islam dari masa ke masa. Meskipun dalam perjalanan sejarah masjid ini terus mengalami upaya pemugaran menjadi bentuk bangunan yang lebih modern, namun posisinya sebagai bangunan bersejarah peninggalan Ki Ageng Gribig tetap terjaga hingga sekarang.
Editor: Fathoni Ahmad