Kemudian dia pergi ke kebunnya setelah makan singkong bakar dan menghabiskan segelas kopi yang disuguhkan isterinya. Pacul dipanggulnya di pundak kanan. Di mulutnya terselip rokok kretek. Maka berhamburanlah asap yang acak kesana kemari dari mulutnya beradu dengan udara pagi.
Ketika sampai di kebunnya, pacul itu langsung diayunkan ke tanah. Dia menggali.
”Buat apa kamu menggali?” kata suara yang bersumber dari arah belakangnya.
”Untuk membikin lubang. Apa kamu tidak lihat?” jawabnya tanpa menoleh dari arah mana suara itu datang. Dia sudah hapal suara itu. Suara Sabri. Pemilik kebun di samping kebunnya. Sementara tangannya masih terus mengayunkan pacul. Menggali lubang.
”Buat apa lubang itu?”
“Yang jelas bukan untuk menguburmu.”
“Hmmm..., kalau bukan untuk menguburku, sekali lagi aku tanya, buat apa lubang itu?”
“Buat menanam pisang. Dan sekarang kamu jangan lanjutkan pertanyaan buat apa aku menanam pisang? Karena akan lelah aku menjawabnya. Kemungkinan-kemungkinannya terlalu banyak. Kalau aku menanam pohon pisang dan kemudian misalnya dia tumbuh dan menjadi besar, akan banyak kegunaan-kegunaan dan kemungkinannya. Daunnya bisa dipakai untuk pepes ikan, bungkus lontong, atau untuk bungkus apa saja yang bisa dibungkus oleh daun pisang. Gedebognya bisa dipakai tempat menancapnya anak wayang dalam pertunjukan wayang golek. Bisa juga dijadikan alas untuk memandikan orang mati. Jantungnya bisa dimakan kalau disayur. Getah yang diambil dari bonggolnya, katanya, bisa dijadikan obat saluran kencing atau disentri. Dan kamu pun tahu kalau membikin rumah, setandan pisang sering digantungkan bersama geugeus padi. Apalagi kalau sudah berbuah, buah itu bisa dimakan sendiri, dijual, dicuri, dimakan codot, atau bahkan busuk di pohon tanpa sepengetahuanku. Belum lagi kemungkinan-kemungkanan lain yang aku sendiri tak bisa mengabsennya
“Sudah, sudah...!” Sabri memotong.
Tapi Jalu melanjutkan, ”Atau bahkan aku hanya menggali tanah ini. Dan tidak jadi menanam pisang karena aku keburu sakit atau mati. Atau aku berubah pikiran kemudian menggantinya dengan menanam pepaya, misalnya. Atau kalau pun aku sempat menamnya, bisa jadi tiba-tiba musim kemarau. Pisang yang kutanam tak bisa bertahan hidup. Apalagi kalau nanti dia telah tumbuh, menjadi besar. Aku tidak tahu apakah dia berbuah atau tidak, karena aku tak bisa membuahinya. Kewajibanku adalah, menanamnya bukan membuahinya. Aku cuma punya harapan agar dia berbuah. Ya, cuma sekadar harapan. Tak lebih!”
“Tapi kau telah menjawabnya sendiri semuanya. Dengan lengkap pula. Katanya kamu kelelahan. Bukankah itu telah menguras energimu? Kau telah bertanya dan sekaligus menjawab. Dua perbuatan. Masih mending kalau aku yang bertanya, dan kau cuma mejawab. Lagi pula kamu seolah yakin bahwa aku akan menanyakan manfaat pisang yang kau sebutkan tadi yang sebenarnya tak kuperlukan. Bukankah ada juga kemungkinan-kemungkinan lain selain itu. Misalnya, aku tidak bertanya lagi, dan aku langsung pergi. Atau hanya diam sambil merokok memperhatikan kamu menggali. Dan, kemungkinan-kemungkinan lain yang aku sendiri tidak mungkin mengurainya satu per satu karena aku juga takut kehabisan energi seperti kamu.”
“Bagaimana kalau pisang ini aku tawarkan pada tengkulak pisang? Pisang sebagus ini pasti dia mau. Duitnya bisa diambil sebagian sekarang,” kata Sabri sambil menyorongkan sebatang rokok kretek. Jalu langsung menerima dan kemudian membakarnya.
"Aku belum bisa menentukannya. Aku takut nanti tidak sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi nanti malam, esok atau lusa, tiba-tiba ada angin puting beliung yang menghantam pohon ini hingga tumbang. Buahnya tanggal berpencaran dari tandan. Seperti semula, terlalu banyak kemungkinan-kemungkinannya. Lagi pula aku tidak suka jual-beli semacam itu.”
Sabri terdiam sambil menghisap rokok kemudian memain-mainkan asapnya, “Ini pisang apa namanya?” tanyanya.
“Aku tidak tahu apa nama pisang ini. Aku hanya menanam dan tak sempat menanyakan pada siapa pun termasuk kepada orang yang memberi benih pisang ini. Aku tak sempat membayangkan sebelumnya bahwa suatu hari nanti akan ada orang yang bertanya mengenai nama pisang ini. Seandainya aku tahu akan ada yang bertanya seperti yang kau tanyakan tadi, pasti aku akan menanyakannya pada pemberi benih atau pada orang lain. Dalam pikiranku waktu itu yang penting menanam, kemudian memeliharanya, merawatnya, memberinya pupuk. Tak sempat memikirkan prihal namanya. Maafkan aku tak bisa menjawab pertanyaanmu.”
Sabri tersenyum kecut. Tapi dia berkata lagi, “Bagaimana kalau kamu sendiri yang menamainya. Ini kan pisang kamu. Jadi terserah kamu untuk menamainya. Misalnya kamu sebut saja pisang Jalu. Kamu akan terkenal. Pisang Jalu akan menjadi pembicaraan. Kalau aku yang menanmnya, aku juga mungkin akan menamainya Pisang Sabri.”
“Aku belum berpikir ke arah sana. Tentang hal ini, aku akan membicarakannya dengan pemberi benih pisang. Nanti akan aku beri tahu kamu hasilnya.”
“Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu! Ketika aku datang ke sini, buah pisang telah lenyap. Sementara gedebognya tidak runtuh. Di luar kebiasaan dalam prihal mengambil buah pisang. Di pangkalnya tidak ada bekas goresan golok atau sekurangnya benda tajam. Entah dengan cara apa si pencuri mengambilnya. Aku tidak tahu. Soal buah pisang ini, aku anggap saja dia bukan milikku. Sudah aku bilang sejak awal, aku tidak bisa menentukan akhir dari pisang ini. Kemungkinannya terlalu banyak. Tapi aku sudah bahagia karena aku bisa memeliharanya sampai besar. Sampai berbuah. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkannya. Soal sampai ke mulutku atau tidak, atau sampai aku jual atau tidak, itu masalah lain.”
Tiba-tiba Jalu menghunus golok. Sinar matahari beradu dengan ketajamannya.
“Lalu, sekarang apa yang kamu lakukan pada pohon sudah tanpa buah ini?”
“Aku mau menebangnya. Karena sepengetahuanku, pisang itu hanya berbuah untuk satu kali selama hidupnya.”
“Apakah tidak ada kemungkinan lain? Seperti sebelumnya yang begitu banyak kemungkinan,” tanya Sabri sambil mengasongkan sebatang rokok. Rokok kretek. Jalu langsung menerimanya. Kemudian Sabri menyalakan sebatang korek api. Jalu menyelipkan rokok itu di mulutnya. Nyala korek api di tangan Sabri membakar ujung rokok itu. Lalu Jalu menghisapnya dalam-dalam. Asap berhamburan di mukanya. Tapi itu tak jadi perhatiannya. Sabri melempar batang korek api yang sebagiannya sudah jadi arang.
“Maksudnya bagaimana pertanyaanmu tadi?” Jalu balik bertanya.
“Misalnya, siapa tahu pisang ini mau berbalas budi kepada tuannya yang menanam, memelihara, memberi pupuk dan merawatnya hingga besar kemudian dia berbuah untuk kedua kalinya. Kemudian...”
“Belum tentu juga buah itu menjadi milikku, atau katakanlah bisa aku makan. "Jalu memotong kalimat Sabri, "tapi baiklah kalau kemungkinan itu ada, agar aku tak mati penasaran, aku tidak jadi menebang pisang ini. Meski sebenarnya tidak cerita ada pisang yang berbuah dua kali. Akan aku biarkan semaunya. Apakah dia berbuah lagi atau tidak, terserah dia. Atau mau mati membusuk pun dalam keadaan berdiri, terserah dia. Cuma sekarang aku mau memelihara anak pisang ini sampai besar. Menyiangi rumput di sekitarnya. Seperti aku memperlakukan pada ibunya dulu. Kewajibanku hanya memeliharanya. Berbuah atau tidak, sampai ke mulutku atau tidak, itu bukan kewajibanku. Karena banyak yang masuk ke mulut kita, bukan kita yang menanam. Bahkan kita tidak pernah tahu asal-usul makanan itu. Tidak ada yang tahu persis tentang segala sesuatu. Tanah ini, pisang ini, dan bahkan aku sendiri.”
Sabri menggaguk-angguk.
Kemudian Sabri pulang sambil senyum-senyum. Kembali dia mencabut sebatang rokok dari bungkusnya. Pisang Jalu yang sudah matang itu dia jual ke tengkulak dengan harga mahal. Dia mengambilnya dengan memakai tangga tadi malam. Dia bisa merokok untuk beberapa hari ke depan...