Cerita Pendek Pensil Kajoe
Setiap yang bertamu atau sekadar melintas di depan rumah Pak Marto pasti tersenyum. Ada dua pohon mangga yang tumbuh bersebelahan menyerupai gerbang. Pohon itu sudah ada sebelum Pak Marto lahir, bisa dibilang pohon itu adalah warisan dari ayahnya.
Dua pohon mangga tersebut mengandung nilai filosofis bagi yang memahaminya. Mangga, dalam bahasa Jawa artinya mempersilakan siapa saja yang bertamu ke rumah Pak Marto. Tuan rumah dengan tangan terbuka menyapa dan menyambut dengan ramah tetamu yang datang.
"Bukankah jika diganti dengan gerbang dari besi akan lebih kuat dan aman, Pak?" seorang laki-laki berusaha membujuk, sebab dia pemilik bengkel las yang sedang mencari pelanggan baru.
Baca Juga
Dua Masa Depan
"Perkara aman atau tidak itu sebenarnya tergantung dari hati dan sikap kita, Mas," Pak Marto tetap bergeming pada pendiriannya.
"Khusus untuk Bapak, saya beri potongan harga dan saya akan buatkan pintu gerbang dengan besi pilihan. Bagaimana?" pemilik bengkel las terus saja merayu.
Pak Marto tersenyum, "Terima kasih atas tawarannya, tapi kali ini aku belum berminat menggantinya."
Merasa kehabisan amunisi, laki-laki itu berpamitan. Pak Marto melanjutkan menyapu daun-daun mangga kering yang berguguran.
Baca Juga
Kita Harus Pulang
Saat musim kemarau tiba, dua pohon mangga itu selalu berbunga lebat dan buahnya ranum, rasanya sangat manis. Sesiapa boleh memetiknya asalkan tidak dirusak atau dihabiskan.
"Petik saja kalau memang mau, tapi ingat temanmu yang lain. Jadi jangan dihabiskan untuk memuaskan perutmu sendiri."
Laki-laki itu hidup sendiri sejak bercerai dari istrinya. Anak perempuan satu-satunya ikut suaminya ke Belitung.
Kawanan kelelawar beterbangan di dekat pohon mangga. Dalam gelap, mata mereka menyala, decit dan kelepak sayapnya menimbulkan berisik. Bau harum dari buah mangga yang sudah matang terbawa angin malam dan menarik kelelawar-kelelawar itu untuk mendekat. Benar saja, buah mangga yang sudah mulai menguning pun tak luput dari intaian dan gigitan gigi geligi mereka yang runcing dan tajam. Remah-remah yang jatuh di tanah di bawah pohon mangga jadi jatah bagi sekelompok semut yang tengah berbaris memasuki lubang di dalam tanah.
Baca Juga
Genangan Air
Pohon mangga Pak Marto memang membawa berkah bagi siapa saja yang berada di dekatnya. Bukan hanya tetangga, orang yang kebetulan melewati depan rumahnya pun boleh mencicipi gratis tanpa dimintai uang.
"Permisi, Pak. Maaf mengganggu," ujar salah seorang laki-laki asing bertamu ke rumah Pak Marto.
"Maaf, Mas ini siapa ya? Kok saya baru lihat?" tanya Pak Marto mengernyitkan dahi mencoba mengingat siapa laki-laki muda yang datang ke rumahnya.
"Iya, Pak. Saya memang baru pindah ke desa ini dua hari lalu," anak muda itu mengulurkan tangan, bersalaman dengan Pak Marto.
"Anan, Pak," anak muda itu menyebutkan namanya.
Baca Juga
Doa di Atas Pusara
"Saya Sumarto. Orang-orang sini memanggil saya Pak Marto," ujarnya membalas jabat tangan Anan.
"Maaf, Pak Marto, kalau boleh saya memetik barang satu atau dua buah mangga mudanya," ujar Anan.
Mendengar ucapan Anan, Pak Marto tersenyum.
"Wah, Mas Anan ini seperti orang sedang ngidam saja. Apa benar begitu?" tanya Pak Marto.
Anan mengangguk, tampak malu-malu.
"Benar, Pak. Istri saya sedang hamil."
"Oh… ya, ya, silakan kalau Mas Anan mau memetik mangga mudanya."
Pak Marto tak pernah menjual buah mangganya meskipun buahnya berlimpah. Dia lebih suka membagikan ke tetangga di kampungnya.
Baca Juga
Suatu Waktu di Kios Buah Itu
"Aku ingin apa yang sudah di tanam oleh orang tuaku bisa menjadi tambahan bekal perjalanan almarhum ketika bertemu Tuhan," jawabnya jika ada orang yang bertanya.
"Terima kasih, Pak. Saya Cuma memetik dua buah mangga saja," ucap anak muda yang merupakan pasangan pengantin baru itu setelah turun dari pohon mangga.
"Welaah, kok sedikit amat, Mas. Apa tidak kurang nanti?" tanya Pak Marto.
Anan tersenyum, "Tidak, Pak. Terima kasih. Ini sekadar untuk menuruti permintaan si jabang bayi biar nggak ngiler nantinya."
"Oh, ya sudah kalau begitu. Bapak doakan semoga ibu dan calon bayinya sehat hingga melahirkan nanti," ujar Pak Marto.
"Terima kasih sekali lagi untuk doa dan mangga mudanya. Mari, Pak."
Setelah berpamitan, pemuda itu pun melangkah meninggalkan pekarangan rumah Pak Marto.
Laki-laki yang hampir menginjak kepala tujuh itu tersenyum mengenang masa mudanya dahulu. Saat pertama kali istrinya ngidam anak pertamanya dia pun persis sama dengan apa yang dilakukan oleh anak muda yang meminta mangga muda miliknya, hanya saja sang istri bukan meminta mangga muda yang berada di depan rumah Pak Marto sekarang, tetapi meminta mangga yang tumbuh di dekat alun-alun kabupaten. Ketika istrinya mengatakan hal itu tengah malam, mau tidak mau demi memenuhi permintaan perempuan yang dicintainya, dia harus beranjak ke tempat yang dimaksud.
Inilah alasan kenapa aku tidak ingin menebang dua pohon mangga ini, biar orang-orang yang membutuhkannya bisa datang ke rumahku kapan saja asalkan kedua pohon ini sedang berbuah. Jadi, yang berkenan datang atau sekadar mampir ya mangga-mangga mawon (silakan saja). Aku akan menerimanya dengan senang hati. Batinnya sambil tangannya meneruskan menyapu daun-daun mangga yang terserak di halaman rumahnya.
Tumiyang, Pekuncen, 06052023
Pensil Kajoe, lahir di Banyumas, Jawa Tengah. Ia adalah kolumnis di majalah digital bahasa Jawa, Belik, Yogyakarta. Menulis beberapa buku antologi tunggal dan bersama.