Cerita Pendek Ahmad Zaini
Gundukan tanah bertanda sepasang batu nisan bertuliskan nama penghuni serta tanggal kematia berjajar rapi. Orang-orang terlihat duduk khusuk berkirim doa pada ahli kubur. Nama-nama yang terukir di batu nisan semasa hidupnya insyaallah termasuk orang baik. Paling tidak melalui kesaksian petakziyah saat membenarkan pertanyaan Pak Modin bahwa mereka orang baik, ahli ibadah, dan ahli kebaikan-kebaikan lainnya.
"Janazah ini orang baik atau jelek?" tanya Mbah Modin kala berpidato di samping janazah paman yang siap diberangkatkan ke pemakaman.
"Baik," sahut para petakziyah dengan serentak.
Baca Juga
Haji Asroh
"Baik apanya? Dia pernah menipuku," gerutuku tanpa kusadari didengar oleh orang-orang di kanan-kiriku.
"Ssst! Tidak boleh begitu. Ini pamanmu," tegur seorang lelaki yang turut memikul keranda janazah paman.
Dua puluh satu tahun silam paman pernah berjanji bahwa aku akan dimasukkan sebagai pegawai negeri. Dia menyuruhku mengumpulkan syarat-syarat pendaftaran. Kala itu pegawai negeri menjadi impian semua orang. Termasuk diriku. Setidaknya status sosialku akan beranjak naik dan dihormati masyarakat kampung. Minimal setiap hari para tetangga melihatku berangkat dinas dengan seragam kebesaran berlogo instansi pemerintah di lengan.
Dengan hati berbunga-bunga dan senyum bermekaran, aku bersemangat mencari dan mengumpulkan berkas-berkas yang dibutuhkan sebagai syarat pendaftaran.
Baca Juga
Suatu Waktu di Kios Buah Itu
"Jangan lupa siapkan uang sebagai jasa kawal berkas agar tidak hilang," tutur paman.
Aku dan ayah menuruti semua permintaan pamanku. Ambisi orang tuaku agar aku menjadi pegawai negeri menjadikan semua urusan cepat beres. Termasuk uang jasa titip. Ayahku rela menjual tambak. Beliau rela melepas setengah hektar tambak kepada juragannya dengan harga 35 juta rupiah demi aku. Angka yang sangat tinggi waktu itu. Uang diserahkan kepada paman. Paman menerimanya dengan kata-kata yang melegakan.
"Bulan depan, kamu sudah berdinas," janjinya.
Aku dan ayah mengangguk-angguk. Kami saling menatap dan tersenyum. Masa depan hidup mulia sudah di depan mata. Kami sangat percaya paman dapat menjadikanku sebagai pegawai negeri dengan uang segitu.
Baca Juga
Cerita Baik
Janji paman selalu menyibukkan angan-anganku. Setiap hari aku membayangkan berpakaian dinas melintasi jalan kampung menuju kantor. Orang-orang yang berpapasan denganku akan menunduk hormat karena pandangan mereka silau oleh logo pegawai di kedua lengan seragamku. Orang-orang akan menganggapku sebagai orang sukses dan berduit. Paling tidak setiap ada acara atau hajatan, orang-orang akan mempersilakanku duduk di kursi depan.
Satu bulan berlalu. Aku belum dapat kabar apa pun dari paman. Aku juga belum mendapatkan ucapan selamat dari teman dan para tetangga karena diterima sebagai pegawai negeri. Aku dan ayah datang ke paman menanyakan kabar baik. Paman berkelit. Katanya pengumuman kelulusan pegawai negeri ditunda bulan depan.
"Jangan khawatir, bulan depan kalian kukabari," sanggup paman.
Baca Juga
Mahasiswa Kere
Mendengar ucapan paman, aku masih menaruh harap padanya. Ayah menyeretku agak kasar kemudian diajak pulang. Ayah mendapat firasat kurang baik tentang janji paman. Namun, aku berusaha menenangkan hati ayah agar sabar menunggu pengumuman bulan depan.
Bulan yang dijanjikan paman telah datang. Aku dan ayah menunggu paman. Seminggu belum ada kabar dari paman. Dia tidak datang ke rumah atau menyampaikan pesan melalui orang lain bahwa aku diterima pegawai negeri. Aku dan ayah mengalah. Kami pergi ke rumah paman untuk menagih janji. Jawabnya sama. Pengumuman ditunda bulan berikutnya.
Aku mulai bosan dengan janji-janji paman. Setiap ditagih jawabnya selalu sama. Pengumunan ditunda bulan depan dan akan dikabari ke rumah. Aku semakin ragu. Aku membenarkan firasat ayahku. Paman tidak serius mengusahakan aku sebagai abdi negara. Padahal, setengah hektar tambak telah lepas dari tangan ayah. Uang penjualan tambak telah digenggam paman. Namun, sampai kini aku tetap menjadi aku. Orang biasa. Warga sipil. Jejaka kampung yang bermimpi menjadi pegawai negeri.
Suatu hari aku mendengar kabar bahwa Suhendri anak Haji Karto diterima sebagai pegawai negeri. Lebih terkejut lagi saat aku dibisiki teman berkas Suhendri juga dititipkan paman. Aku jadi gusar. Aku curiga paman telah mempermainkanku. Kabar tersebut kusampaikan ke ayah. Ayah geram. Ayah lantas mengajakku ke rumah paman untuk menanyakan kebenaran kabar yang santer di kampung.
"Suhendri, anak Haji Karto diterima pegawai. Kabarnya kamu yang mendaftarkannya," kata ayah bernada tinggi.
"Benar. Dia kudaftarkan bersama anakmu. Sebulan setelah pendaftaran, ada pengumuman kelulusan pegawai. Nama anakmu tidak ada. Hanya ada nama Suhendri, anak Karto."
"Orang lain bisa lulus, kenapa keponakan sendiri tidak lulus?" tanya ayah.
"Uang Karto lebih banyak. Dia titip saya 60 juta, sedangkan kamu hanya 35 juta."
"Kenapa kamu baru mengatakannya? Andai uangku kurang, tambak akan kujual semuanya untuk keperluan keponakanmu menjadi pegawai. Sekarang uangku mana?"
"Telanjur, Kak. Uang sudah saya serahkan kepada seseorang yang sanggup menolong Joko. Jadi, tidak bisa kembali," katanya dengan nada datar.
"Adik tidak tahu diuntung. Tega sekali menipu saudara tua. Mulai saat ini, kamu tidak kuanggap sebagai adik. Ini kali terakhir aku menginjak tanah rumahmu," sumpah serapah ayah dengan darah bergolak.
***
Paman dan ayah sudah meninggal. Ayah mengidap paru-paru karena terlalu larut dalam kesedihan akibat ulah paman. Paman juga demikian. Dia mangkat lebih awal karena tumor otak. Menurut cerita istrinya, tumor otak muncul karena paman selalu termenung. Dia menyesali diri telah mengecewakan ayah dan aku. Hubungan persaudaraan putus.
Makam ayah dan paman berdekatan. Makam ayahku berdampingan dengan makam paman. Sedangkan di sampingnya terdapat makam kakek dan nenek.
Sehari jelang bulan Ramadhan, aku, istri, dan anak pulang kampung. Aku sambang ibu yang tinggal di rumah kakak serta akan berziarah ke makam ayah, paman, serta kakek-nenek. Aku terlebih dulu sungkem pada ibu. Setalah itu, baru ke yang lainnya.
"Mohon restu, Ibu," mohonku pada ibu.
"Iya, Nak. Semoga kalian sehat wal afiat, usahamu semakin lancar dan barakah! Berziarahlah ke ayah, paman, dan kakek-nenek," perintah Ibu.
"Baik, Ibu," sanggupku.
Warga kampung penuh sesak di area pemakaman. Mereka memanfaatkan waktu jelang Ramadhan berziarah ke makam para leluhur. Mereka berdoa kepada Allah agar ahli kubur mendapat rahmat dan ampunan-Nya. Selain itu, berziarah kubur dapat mengingatkan kita bahwa semua manusia akan mati. Kesempatan hidup harus digunakan dengan sebaik-baiknya untuk beramal kebajikan sebagai bekal hidup setelah kematian.
Kembang aneka rupa kutaburkan di atas makam ayah, paman, serta kakek-nekek. Kata Pak Modin selama ada kembang segar di atas pusara, rahmat Allah akan selalu menaungi ahli kubur. Doa-doa kupanjatkan kepada Allah dengan ikhlas buat almarhum-almarhumah. Istri dan anak-anakku mengamininya. Setelah itu, aku duduk sambil menatap dua pusara berdampingan. Pusara ayah dan paman.
Hati sempat teraduk-aduk melihat dua makam itu. Darah sempat bergemuruh. Jantung sempat berdegub kencang. Kedua tangan mengepal sesaat setelah melihat gundukan tanah bertuliskan nama paman. Wajah paman garang dan congkak sempat berkelebat depan mata. Kata-kata yang mendahului takdir Tuhan masih terngiang-ngiang. Dia saat itu begitu yakin bisa mengurus nasibku. Ternyata itu hanya bualan belaka.
"Pak, ayo pulang!" ajak istriku. Dia menyadari bahwa emosiku meledak-ledak di atas pusara paman.
"Tunggu sebentar," pintaku.
Aku mengendalikan emosi. Aku menghapus semua bayangan dan kenangan jelek paman. Aku berusaha memunculkan memori bahagia bersama paman. Dia pernah menggendongku di punggung ketika aku menangis mencari ayah di tambak. Paman dengan senang mengantarku sambil berlari-lari kecil seperti kuda. Yang masih terngiang adalah saat paman menyenandungkan tembang Jawa selama perjalanan ke tambak ayah.
"Sejahat-jahatnya manusia, pasti masih ada sisi baiknya meskipun kecil. Ingatlah kebaikan paman dan lupakan kejahatannya. Allah mengampuni dosa paman apabila kamu memaafkannya," bisik istriku.
"Baik. Mari kita pulang!" pungkasku.
Kami meninggalkan pemakaman kampung. Hatiku mulai mengikhlaskan perbuatan paman yang dilakukan padaku dan ayahku. Dalam setiap ayunan kaki, bibirku doa semoga ayah dan paman mendapatkan rahmat dan ampunan dari Allah.
Sebelum pulang, kami menemui ibu untuk berpamitan. Kukecup tangan dan keningnya dengan rasa hormat. Istri dan anak-anakku juga melakukan hal yang sama. Setelah itu, kami pulang ke rumah sambil berharap Allah membersihkan hati kami untuk mengarungi bulan suci Ramadhan.
Wanar, 22 Maret 2023
Ahmad Zaini, Lahir di Lamongan 7 Mei 1976. Beberapa cerpen dan puisinya pernah dimuat di berbagai media cetak dan online. Karya-karyanya juga dibukukan. Buku terbarunya berupa kumpulan cerpen Lelaki yang Menikahi Bayangan Sendiri meraih penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creative Camp (GCC) Jawa Timur tahun 2022.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Hukum Pakai Mukena Bermotif dan Warna-Warni dalam Shalat
6
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
Terkini
Lihat Semua