Dukuh Mana di kaki Gunung Slamet sudah seminggu ini tak seperti biasanya. Daun-daun tak berani menjatuhkan dirinya ke tanah, burung-burung tak berani bernyanyi. Begitu pula dengan air, tak berani mengeluarkan suara gemericiknya. Praktis orang-orang hanya berani berbisik saja, bahkan beberapa di antaranya memilih untuk puasa ngomong. Gara-gara ini pula Pak Kades tidak tidur siang dan malam. Dalam benaknya, jangan-jangan warganya terkena virus menular.
"Wah bisa berabe ini kalau virus,” ujarnya kepada Ibu Kades sesaat sebelum tidur.
"Bisa menular ke desa-desa lain, dari Dukuh Mana menyebar ke desa tetangga. Terus ke kecamatan, lalu satu kabupaten, satu provinsi. Selanjutnya satu negara. Bisa digojlok netizen saya,” lanjutnya.
"Saya jadi ngeri membayangkannya, netizen itu maha benar katanya,” sambut Bu Kades.
Seperti halnya ada asap pasti ada api. Ada penyebabnya mengapa orang-orang Dukuh Mana bisa seperti itu. Semua terjadi karena sakitnya Dul Abdal. Orang yang dituakan bukan hanya di Dukuh Mana tetapi juga satu kabupaten itu mengalami sakit yang aneh. Ia mengalami semacam kebisingan. Suara yang jaraknya ratusan meter terasa satu senti di gendang telinga. Sudah banyak orang yang terkena marah anak-anak Dul Abdal. Jika diomeli, orang-orang ini hanya bisa diam tak bersuara. Sebab, Dul Abdal bukan hanya orang yang dituakan tetapi juga orang terkaya.
Ubad, tukang kayu yang rumahnya di Ujung Dukuh Mana adalah salah satu orang yang kena marah. Penyebabnya sudah jelas, suara gesekan kayunya terdengar hingga gendang telinga Dul Abdal. Melihat ayahnya tersiksa, anak laki-laki Dul Abdal yang terdiri dari Rawan, Burin, Maan, Matan mendatangi rumah Ubad. Ketika mendapatkan omelan ia hanya diam saja, mantuk-mantuk bagai kerbau yang dicongor hidungnya. Barulah ketika mereka pergi ia berani ngedumel.
"Saya ini kan kerjanya tukang kayu ya jelas berisik. Ngelarang doang nggak ada solusi, anak saya mau makan apa? Padahal jarak rumahnya juga jauh dengan rumah saya.”
Pedagang keliling yang berjualan Dukuh Mana juga kena omel. Salah satunya Hiro, pedagang cilok. Ia bukan hanya terkena makian saja, tetapi juga ditempeleng oleh Matan. Desas-desus pun tersebar ada yang mengatakan apa yang dialami oleh Dul Abdal adalah kiriman dari Dul Abdil. Dul Abdal dan Dul Abdil ini adik-kakak. Mereka sama-sama bekerja sebagai praktisi supranatural, mulai dari mengobati orang kesambet hingga memindahkan jin. Bedanya Dul Abdal kaya, Dul Abdil miskin. Bukan tanpa alasan Dul Abdal bisa kaya, ia mematok tarif, ditambah lagi pasiennya orang-orang berduit. Sementara Dul Abdil sebaliknya, tidak memasang tarif, bahkan ia lebih sering hanya mendapatkan ucapan matur nuwun.
Pada hari kesepuluh warga Dukuh Mana tidak kuat juga jika dalam kesehariannya hanya bisa bisak-bisik. Mereka diwakili oleh Domron melapor kepada Pak Kades. Terheran-heran Pak Kades mendengarkan penjelasan dari Domron. Pak Kades yang bernama Basyir, lulusan Filsafat dari kampus ternama di Jakarta itu mengatakan bahwa itu adalah logika mistika.
“Gangguan kejiwaan itu, jangan sedikit-dikit dihubungkan dengan hal mistis. Itu yang menyebabkan rakyat Indonesia nggak maju-maju,” ucapnya.
“Terserah Pak Kades mau percaya atau tidak, tetapi yang jelas ini harus diselesaikan,” sahut Domron.
Namun, hingga hari kelima belas Pak Kades tidak kunjung juga turun tangan. Penyebabnya ia takut pada anak-anak Dul Abdal, terutama Matan. Ia punya pengalaman buruk dengan berkaitan dengan Matan. Sepuluh tahun lalu ia pernah dihajar habis-habisan oleh Matan. Gara-garanya adalah Saroh yang sekarang menjadi istri Pak Kades lebih memilih Pak Kades dibandingkan dengan Matan. Hampir saja ia pindah alam saat itu. Pak Kades berasumsi bahwa dendam Matan masih ada hingga saat ini. Buktinya ketika dua tahun lalu ia mencalonkan diri maju sebagai kepala desa, Matan ikut-ikutan mendaftar.
Barulah pada hari ketujuh belas, Pak Kades memberanikan diri datang ke rumah Dul Abdal. Ia sampai minta dikawal bukan hanya olah Hansip, tetapi juga Kapolsek dan Danramil. Keluarga Dul Abdal kecut juga, anak-anaknya hanya bisa mengkerut.
“Dukuh Mana ini bukan milik keluarga kalian. Apa yang kalian lakukan bisa kami proses,” ujar Pak Kapolsek.
Pak Kades menyarankan agar Dul Abdal di bawa ke rumah sakit jiwa di Jakarta. Tetap istri dan anak-anak Dul Abdal menolaknya, sebab mereka yakin ayahnya demikian bukan karena gila. Akhirnya tercapai sebuah kesepakatan. Dul Abdal akan tinggal di gubuk sawah, jauh dari hiruk pikuk.
“Kalian percaya kalau Dul Abdal diganggu oleh semacam jin, setan, atau apalah namanya itu?" tanya Pak Kades ketika jalan kaki menuju Balai Desa.
“Saya ini sudah puluhan tahun bertugas di tentara, di berbagai tempat. Memang ada hal yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Jadi saya percaya,” jawab Danramil.
“Kalau saya no comment,” timpal Kapolsek.
“Ini yang bikin masyarakat kita nggak maju, masih percaya tahayul. Hilang di gunung dikaitkan dengan mistis. Goblog memang,” ucap Pak Kades.
Kepala Hansip Dukuh Mana, Trimo pun ikut buka suara, “Wah Pak Kades nggak boleh begitu. Saya jadi merasa tersinggung.” Pak Trimo pun menceritakan tentang anak tengahnya yang saat itu masih kuliah semester 5 di universitas kabupaten sebeleh hilang ketika mendaki Gunung Slamet.
“Pak Trimo, di tahun itu pendakian di gunung-gunung Indonesia, termasuk Gunung Slamet berbeda sekali dengan pendakian sekarang ini. Di tahun 2007 mendaki gunung, izinnya ke kuncen. Jadi wajar Rizki bisa hilang,” ucap Pak Kades dalam hati. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Pak Trimo. Ia sadar betul orang tua mana yang tidak merasa kehilangan anaknya. Apalagi Rizki yang seumuran adiknya adalah harapan Pak Trimo untuk bisa memperbaiki nasib. Saat itu Rizki mendapatkan beasiswa untuk kuliah di jurusan Ilmu Politik.
“Setiap malam selama seminggu rumah saya ramai seperti ada hajatan, terdengar suara gamelan. Di malam ketujuh, istri saya bermimpi bertemu dengan Rizki. Di sana ia berada di atas pejangan (panggung pengantin), bersanding dengan wanita cantik. Lalu dalam mimpi tersebut Rizki mengatakan supaya mengikhlaskan dirinya, sebab ia sudah bahagia menikah dengan penghuni Gunung Slamet,” ujar Pak Trimo dengan mata berkaca-kaca.
Setiap pagi dan sore, anak bungsunya yang bernama Tati akan mengantarkan makanan ke ayahnya di gubug sawah. Saya sering diajak Tati untuk menemaninya.
Dengan senang hati saya bersedia menemaninya, sebab mendapatkan upah dan juga makan. Bapak sebenarnya melarang saya untuk menemani Tati. Kata bapak, hubungan Dul Abdil dengan Dul Abdal tidak harmonis. Tetapi saya mengabaikan omongan bapak, toh setiap kali saya mengantarkan makanan bersama Tati, ia selalu menanyakan kepada saya bagaimana kabar Dul Abdil.
“Muan, bagaimana kabar Dul Abdil. Sampaikan salam untuk mbah kamu,” ujarnya.
Setiap kali saya menyampaikan salam dari Dul Abdal kepada Dul Abdil. Terlukis dari wajahnya sebuah kesedihan mendalam. Matanya berusaha untuk menahan tetesan air mata. Hal ini membuat saya merasa rumor yang beredar hanyalah desas-desus semata. Kesimpulan saya ada kesalahpahaman yang terjadi. Lalu kesalahpahaman ini menyebar ke masyarakat, jadilah apa yang disebut hoaks. Saya berusaha untuk menanyakan hal ini kepada Dul Abdil, apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia berusaha menghindari dengan memerintahkan saya mengangkat kopi yang dijemur.
Setelah hari-hari berlalu, ia akhirnya menjawab, tatkala saya membawa pesan permintaan maaf dari Dul Abdal kepadanya. Dengan mata berkaca-kaca, Dul Abdil menceritakan kejadian setengah tahun yang lalu. Waktu itu Dul Abdal kedatangan tamu bernama Tardi, seorang pengusaha. Macam-macam usahanya, dari mulai menambang pasir gunung, hingga pabrik kertas.
“Sudah tiga tahun Tardi ini mengalami sakit, persis apa yang dialami oleh Dul Abdal,” papar Dul Abdil. “Berbagai orang sakti ia kunjungi. Namun, hasilnya nihil. Lalu oleh keluarganya ditempatkan di hutan ujung selatan Kaki Gunung Slamet,” lanjutnya.
“Ia diganggu oleh raja jin Gunung Slamet?” tanya saya. “Dari mana kamu tahu?” “Tati cerita kepada saya kalau bapaknya diganggung raja jin Gunung Slamet. Sudah barang tentu pengusaha tersebut juga sama.”
Dul Abdil pun melanjutkan ceritanya bahwa namanya manusia pasti tidak ingin hidup sendiri, terasing dalam sepi. Tardi ingin kembali seperti sediakala. Ia menawarkan hadiah sawah 3 hektar kepada siapapun yang berhasil menyembuhkannya.
“Entah dari mana ia tahu. Anak Tardi yang bernama Taslim datang kepada saya. Awalnya saya menyanggupi untuk menyembuhkannya. Namun, malam harinya saya didatangi raja jin Gunung Slamet yang berdiam dalam diri Tardi,” ungkapnya sambil menghela nafas. “Raja jin itu mengatakan supaya jangan ikut campur. Lalu ia berucap bahwa kamu mudah saja menyembuhkan Tardi. Tetapi saya bersumpah akan memindahkan penyakit ini kepada kamu. Bukan hanya itu, anak keturunanmu akan saya ganggu hingga bertemu dengan tanah.”
“Mbah berarti menolak untuk menyembuhkan Tardi?” tanya saya. “Mbah tidak ingin anak keturunan yang tidak tahu apa-apa harus terseret masalah yang mereka sendiri tidak tahu sebabnya. Buat apa harta banyak kalau pada akhirnya akan menyengsarakan,” jawabnya.
Taslim tidak putus asa begitu saja, ia ingin ayahnya seperti dulu lagi. Setelah mendapatkan penolakan dari Dul Abdil, ia datang ke rumah Dul Abdal. Dengan senang hati Dul Abdal pun menerima tawaran tersebut. Kabar terdengar ke telinga Dul Abdil, bergegas ia pergi menemui Dul Abdal. Ia berupaya agar Dul Abdal jangan menerima tawaran dari Taslim. Terjadilah pertengkaran mulut yang tidak dapat dihindarkan.
“Bilang saja Kang Dul Abdil iri kepada saya,” kata Dul Abdal.
“Bukan begitu, sebelum datang ke kamu, Taslim terlebih dahulu datang ke saya. Raja jin tersebut mengancam,” ungkap Dul Abdil.
“Bilang saja kamu lemah,” sahut Dul Abdal.
Dul Abdal memang berhasil menyembuhkan Tardi. Ia pun mendapatkan imbalan sesuai dengan yang dijanjikan di awal, sawah tiga hektare. Namun, ada harga yang harus dibayar. Tidak berselang lama, Dul Abdal mengalami sakit apa yang dialami oleh Tardi.
Obrolan kami di teras terhenti karena kedatangan Pak Trimo. Dengan keringat sebesar biji jagung, dada yang kembang kempis. Ia mengatakan tolong dengan tersengal-sengal. Setelah setengah menit, barulah ia berucap “Tolong, Pak Kades kesurupan. Entah kesurupan monyet, macan, kucing, singa, pokoknya ia kesurupan.”
Bergegas Dul Abdil bangkit dari duduknya di lantai. Pak Trimo pun ikut di belakangnya. Karena penasaran, saya ikut juga.
Balai Desa ramai oleh warga yang ingin melihat kepala desa mereka. Pak Kades melompat-melompat, bergaya seperti monyet. Detik berikutnya ia mengaum seperti harimau. Tak sampai di situ, ia menangis cekikikan. Aneh memang. Bukannya takut para warga justru malah antusias. Terdengar suara-suara dari warga yang menonton. “Nguyuh (buang air kecil) sembarangan kie mesti.” “Ora, kiriman dari musuhnya Pak Kades.” “Mesti karena korupsi kie.” “Huss…, ngawur kamu.” “Kualat (karma) mesti, karena Pak Kades kan ora percaya hal-hal mistis.”
Dul Abdil dengan tenang mendekat ke arah Pak Kades yang sedang beringas. Begitu Dul Abdil di depannya persis, mendadak dia jadi diam. Lalu Dul Abdil mengeluarkan kunyit sebesar ibu jari. Kunyit tersebut digosok ke beberapa titik, dimulai dari kaki hingga di kening. Saat kunyit ditempelkan di kening itulah Pak Kades pingsan. Bergegas para pamong membopongnya menuju ke rumah Pak Kades yang tidak jauh dari balai desa. Para warga yang tadi menyaksikan pun bubar.
“Seharusnya Dul Abdil nanti saja menyembuhkan Pak Kades. Kapan lagi kan bisa lihat Pak Kades seperti itu,” kata salah seorang warga.
Malam harinya, Pak Kades datang ke rumah Dul Abdil. Kebetulan saya juga sedang ada di situ. Saya pun ikut nimbrung (mendengarkan) obrolan mereka di ruang tamu. Pak Kades menceritakan bahwa saat itu ia sedang merokok di teras balai desa. Sebelumnya ia habis menerima tamu seorang pengusaha bernama Tardi. “Dia minta izin dari pihak desa untuk menambang pasir di Kali (Sungai) Diang,” ujarnya menghela nafas sejenak. “Padahal saya nggak langsung bilang setuju, saya musyawarah terlebih dahulu. Eh malah saya kesurupan.”
Pak Kades menceritakan yang terakhir kali ia ingat sedang merokok di teras balai desa dan tiba-tiba menjadi gelap. Lalu ia terbangun di sebuah istana yang megah. Dari situ kemudian ia diseret oleh beberapa prajurit tempo dulu ke penjara tanah.
“Sampai kemudian Dul Abdil datang membebaskan saya. Lalu saya tiba-tiba sudah berada di rumah. Kali ini saya percaya kalau setan itu nyata.”
“Terkait tawaran dari Tardi itu bagaimana?” tanya Dul Abdil.
“Mulanya saya tertarik dengan tawaran tersebut. Sebab itu bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk warga kita, supaya tidak lagi merantau ke Jakarta. Tetapi saya akan dengan tegasnya menolak.”
“Karena Pak Kades kesurupan?" tanya saya.
“Bukan hanya itu, saya telah mendengar sepak terjang Tardi. Tetapi saya tidak yakin, Tardi akan menerimanya begitu saja. Orang berduit itu punya kuasa untuk melakukan segalanya.”
Obrolan pun beralih tentang Dul Abdal, “Mbah, saya dengar Dul Abdal yang menyembuhkan Tardi?"
“Dari mana kamu tahu itu?.”
“Taslim itu teman saya mbah sewaktu kuliah di Jakarta. Tadi dia tuh mendampingi ayahnya menemui saya di kantor,” jelas Pak Kades.
“Dia juga menceritakan saya yang tidak mau mengobati Tardi?" tanya Dul Abdil.
“Ya, dia menceritakan perihal Dul Abdil yang menolak untuk mengobati Tardi. Tetapi cerita Taslim cuma sampai segitu saja. Sebenarnya sakit apa Tardi itu?"
“Raja Jin Gunung Slamet marah kepadanya.”
“Apa itu ada kaitannya dengan tambang pasir gunung dan pabrik kertas yang dilakukan oleh Tardi. Saya dengar apa yang dilakukan oleh Tardi mencemari lingkungan.”
“Bisa jadi,” ucap saya. Sementara itu Dul Abdil hanya diam membisu.
Mendapat penolakan dari Kepala Desa tak membuat Tardi hilang akal. Ia mendekati anak-anak dari Dul Abdal. Desas-desus mengatakan anak-anak Dul Abdal diiming-imingi dengan kepemilikan saham. Tidak hanya itu, kabarnya Tati akan dinikahkan dengan Taslim, menjadi istri keempat. “Pernikahan politik,” ucap orang-orang. Perihal pernikahan Tati ini, jujur timbul rasa sakit. Saya bingung perasaan apa itu, perasaan sakit sebagai seorang teman atau lebih dari sekedar teman.
Berulang kali pula ia meminta saya agar berusaha untuk menghentikan pernikahan tersebut. Saya hanya mengatakan agar ia mencoba meminta bantuan dari ayahnya, Dul Abdal. Tetapi kata Tati, sia-sia. “Bapak sekarang tidak berdaya,” ucapnya.
Terbesit juga dalam benak pikiran Tati untuk kabur, “Apa kita kabur ke Jakarta saja yah, seperti di film-film.”
“Wah jangan, bakal repot jadinya. Nanti saya yang disalahkan,” kata saya.
“Ibu sebenarnya juga tidak setuju dengan rencana pernikahan tersebut,” ujarnya ketika matahari sedang lelah di tepi Kali Diang selepas mengantarkan makanan ke Dul Abdal.
“Terus?" tanya saya.
“Ibu ada solusi, supaya kamu datang kerumah, melamar saya.”
“Waduh…,” ucap saya kaget.
“Kenapa? Kamu tidak suka saya mas.”
“Bukan begitu, jujur saya ingin menolongmu. Tetapi untuk menikah berat rasanya, saya tidak punya apa-apa. Cuman pengangguran.”
“Kalau itu jangan khawatir mas,” sahut Tati.
“Tati, kalau saya cuman numpang hidup sama kamu, apa kata saudara-saudaramu.”
Obrolan sore itu, jujur saja membuat kepala pusing memikirkannya. Apa yang saya rasakan terbaca juga oleh Dul Abdil. Tanpa saya bercerita, ia sudah tahu apa yang sedang dipikirkan oleh cucunya. Ia pun meminta saya agar pergi menyepi ke Gunung Slamet.
“Di sana kamu cari saja gua, tidak jauh dari puncak. Kamu di sana puasa selama tujuh hari dan hanya boleh memakan singkong sebesar ibu jari untuk sahur dan buka puasanya,” ujarnya.
“Tetapi ingat, kamu di sana akan mengalami banyak sekali godaan. Barulah pada hari ketujuh kamu akan bertemu dengan Raja Jin Gunung Slamet.”
“Terus setelah itu apa yang saya lakukan?" tanya saya.
“Kamu katakan manusia serakah kembali berulah.”
Sebenarnya saran dari Dul Abdil memberatkan saya. Jujur saja, saya termasuk penakut. Cerita-cerita tentang keangkeran Gunung Slamet sudah teramat masyhur. Selain keangkerannnya, yang lebih saya takutkan adalah binatang buas. Sebab jalur yang akan saya lalui nanti berbeda dengan jalur pendakian. Maka sudah bisa dipastikan sangat rentan sekali untuk tersesat. Oleh sebab itu saya berencana mengajak Pak Trimo. Lelaki paruh baya itu sangat ingin sekali ke Gunung Slamet. Oleh sebab itu, ajakan saya pun langsung ia iyakan. Katanya barangkali nanti di sana ia bisa bertemu dengan anaknya.
Ketika saya mengatakan kepada Pak Trimo bahwa tujuan saya adalah gua tidak jauh dari puncak Gunung Slamet. Dengan mata berbinar ia kegirangan bak anak kecil yang baru saja diberi mainan.
“Itu tuh goa tempat di mana tas anak saya ditemukan. Dulu saya pernah ke sana bersama dengan Tim SAR,” ungkapnya.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa ketika sampai di sana agar membantu dirinya bisa berkomunikasi dengan anaknya. Saya pun hanya mengiyakan apa yang diminta oleh Pak Trimo. Kalau saya mengatakan tidak, bisa-bisa ia tidak mau ikut. Perlu diingat, meskipun saya cucu dari Dul Abdil, saya tidak memiliki kemampuan seperti Dul Abdil.
Sementara itu di tempat lain, Tardi sedang menikmati hidupnya. Ia kembali meneguk kenikmatan yang selama ini terhenti karena sakit. Jika semasa sakit, ia ingin bertaubat. Maka ketika sembuh, ia ingin memakan kembali kayu-kayu, pasir-pasir, dan batu-batu.
“Persetan dengan kerusakan lingkungan,” katanya.