Jauh di sana. Setapak kaki menginjak serakan daun mahoni kering yang berguguran. Nanang baru pulang dari kota ke kampung halamannya di perbatasan antara Irian Jaya dan Papua Nugini. Ia sebenarnya bukan penduduk asli, tapi dibesarkan oleh ayah dan ibunya di sana. Ia dan keluarga termasuk penduduk transmigrasi Jawa ke Papua pada zaman orde baru.
Agak berat sebenarnya bagi Nanang pulang ke kampung yang masih jauh tertinggal dari segi apapun dibanding kota metropolitan seperti Jakarta. Di sana ia termasuk pelajar yang berprestasi, tentu saja tawaran beberapa perusahaan dan instansi di sana sini sudah menanti dirinya untuk bekerja. Apalagi mengingat perjuangannya datang ke Jakarta yang terasa sangat melelahkan dan mengucur keringat.
Ejekan sebagai pendatang baru dari daerah tertinggal di kota seolah santapan wajib baginya. Kampungan, udik, ah entahlah apalagi sebutan itu. Ia lupa, saking banyaknya. Jika ia kembali? Berarti perjuangannya selama ini akan terasa sia-sia bila kembali ke titik nol.
Berapa kali ia harus transit pesawat dari Jakarta menuju kampung halaman. Lepas naik pesawat dia masih harus berjalan kaki melewati hutan belantara. Dulu sewaktu ia masih menjadj mahasiswa, cuma dua kali ia pulang kampung, dua kali pula ia bermalam di hutan sendirian menanti pagi. Hutan yang masih alami, hanya burung hantu yang bernyanyi bersamanya menghabiskan gulita yang mencekam. Kadang ia menangis menatap pepohonan yang meliuk-liuk menari di sekitarnya. Mengejek? Atau mengajak singgah?
17 jam yang lalu ia masih merasakan gemerlap malam kota Jakarta yang huru hara tak pernah sepi dari keramaian. Tapi setelahnya ketika ia di pelosok Papua, nyaris tak mendengar suara, kecuali suara jangkrik dan katak yang bersahut-sahutan memanggil hujan. Benar saja, hujan mengguyur bumi cendrawasih.
Ia tak tahu harus lari ke mana, pondok ia tak lihat. Hanya ada pohon beringin yang tak jauh dari posisinya. Ia berlari kecil sembari menarik 2 koper dan menenteng 1 tas kecil miliknya yang setia menemani Nanang 3 tahun setelah ia menjadi seorang sarjana.
Matanya lepas menatap kelelawar hutan yang masih aktif berlarian mencari makan. Ia menarik napas, masih berat rasanya. Masalahnya, ia tak tahu apa yang harus ia lakukan di kampung. Menjadi seorang guru rasanya tak akan begitu menyenangkan. Tapi ia rasa, tanggung jawab dan beban sudah menanti dirinya dalam mengubah keadaan. Terlebih suku Migani. Kemarin sewaktu di Jakarta, Nanang bertemu dengan dua perempuan dari suku Migani.
Dua perempuan itu bagai sabuk pelecut menghantam nalurinya. Nanang tahu persis perjuangan keduanya. Tentu tak mudah. Karena laki-laki sepertinya saja menemui banyak halang rintang. Bukan apa-apa, di Migani sangat membatasi ruang gerak bagi perempuan. Perempuan tidak diperkenankan sekolah tinggi, keluar jauh dari kampung. Katanya berbahaya. Perempuan cukup melayani suami ketika berkeluarga nanti setelah selesai sekolah di SD.
Sempat terbersit di benaknya untuk menyerah. Tapi karena ingin mengubah nasib dan ingi menjadi warga negara yang mencicipi hasil bumi pertiwi, nekad saja Nanang ikut mengadu nasib dan semakin menambah sesak Jakarta.
"Ketahuilah! Kami juga warga negara Indonesia. Kami punya hak menikmati hasil tanah surga. Kami juga tak rela orang asing mengusik negeri ini. Nenek moyang kami juga sudah ikut berjuang mempertahankan NKRI. Kakak tahu kan? Kami punya hak menjadi bagian Indonesia. Sebenarnya kita semua sudah capek kak, seolah-olah kita bukan bagian dari NKRI. Kita semua juga pengen diperhatikan. Jangan Jawa saja yang dibangun. Siapa yang perhatikan kita di sana? Kita semua cinta Indonesia, kak...
Nanang menitikkan air mata. Kata-kata dari perempuan itu tulus, hingga mampu mengetuk pintu hatinya. Dulu ia juga punya keinginan untuk mengubah kampungnya. Tapi mungkin lingkungan, ia berubah menjadi makhluk yang realistis.
Nanang menghardik dirinya sendiri, ia malu pada dirinya, ia malu pada dua perempuan Migani itu, ia malu pada nenek moyang, ia pun malu pada Tuhan. Ia yang melupakan tanah Papua? Atau justru Papua yang telah melupakan dirinya? Wajar bila Papua melupakannya. Untuk apa mengingat seorang pemuda yang tak ingat pada kampung sendiri.
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanahku yang kucintai, engkau kuhargai
Nanang bernyanyi lirih sambil memeluk rapat tubuhnya yang kedinginan terkena tetesan hujan dan hembusan angin tanah Papua. Ia lupa tanah air dan merasa terlalu angkuh sampai tak peduli lagi dengan anak-anak penerus generasi di sana.
"Ingatlah, Indonesia adalah tanah kita. Apapun yang terjadi cintailah tanah ini. Karena para pahlawan sudah berjuang mati-matian membela negeri ini. Tidak ada alasan bagi kita untuk pergi dengan alasan karena mencari ketentraman. Di luar negeri, kita bela Indonesia. Di Indonesia, kita majukan daerah masing-masing. Jangan malah numpuk di Jakarta saja."
Nanang teringat sewaktu ia di Jakarta. Ia bertemu dengan salah seorang penulis.
"Nang? Kalau sudah jadi sarjana, kau mau apa? Mau ke mana? Ngapain lagi?"
Nanang tersenyum simpul, "Yaa, aku mau menetap dulu di Jakarta. Siapa tahu nasibku mujur. Rencananya sih mau menyelesaikan S2 dulu...
"Lalu?" Si penuliz memotong pembicaraan Nanang.
Nanang terkejut melihat mimik muka lawan bicara yang menatapnya tajam, "Tentu mencari kerja di sini."
"Buat apa kau di Jakarta? Kau tak mau membantu pemerintah mengurangi penduduk di sini?" Ujar penulis itu.
"Bagaimana keadaan kampungmu, Nang?" Lanjutnya.
"Masih kampung kecil, pak. Listrik saja belum terpasang di sana."
"Nah, itu sebenarnya PR besar bagimu. Bangun daerahmu. Kau datang ke Jakarta kan hanya mencari ilmu, untuk selanjutnya sebenarnya kau harus pulang. Daerahmu perlu orang sepertimu. Bantu pemerintah membangun daerahmu. Orang-orang di sana juga perlu orang yang mewakili suara mereka."
Hujan sudah berhenti mengguyur. Tapi angin yang menusuk tulang masih berhembus seolah menyambut kedatangan Nanang kembali ke Migani. Ia melirik jam tangannya, jam menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Badannya menggigil kedinginan. Dulu ia kebal dengan berbagai cuaca di Migani, tapi sekarang tidak lagi. Ia harus mengakui bahwa dialah yang telah telah melupakan Migani yang telah membesarkannya, bukan sebaliknya.
Nanang menjulurkan kakinya yang terasa kesemutan akibat lamanya ia berjongkok menghindari dingin. Namun tak lama, terasa ada yang menjalar di sekujur kakinya. Apa itu? Nanang menggigil ketakutan. Ia mengangkat jam tangannya yang sedikit menyala dalam kegelapan. Oh tidak! Itu ular yang seukuran gagang sapu lantai. Ingin Nanang mengusir hewan melata itu.
Tapi ia ingat pesan bapaknya, "Kalau ada ular, biarkan saja walaupun ia berjalan di tubuhmu. Nanti juga ia akan pergi dengan sendirinya." Tapi karena takutnya. Nanang berdiri dan berteriak seperti anak kecil. Ia mencari ranting di sekitarnya dan memukul tanah di mana tempat ia duduk tadi.
Berharap pukulannya mengenai kepala ular tadi. Entah kena atau tidak, suasana masih gelap. Nanang tak bisa melihat apa-apa, ia hanya berdiri. Bagaimana kalau ular tadi menghindarinya? Bagaimana kalau ular tersebut masuk ke dalam koper miliknya?
Nanang menggigil kedinginan. Matahari sudah mulai muncul dengan manisnya. Walau masih remang-remang, Nanang memutuskan untuk segera berjalan menuju Migani. Terlihat bekas lendir ular tadi, ah itu kan sudah biasa dulu ia alami. Sebentar lagi ia akan sampai. Langkahnya agak terseok-seok akibat semalam menahan dingin dan pegal.
"Pak Petrus? Pagi sekali sudah keluar...
Yang disapa melongo menatap Nanang.
"Ini saya Nanang, pak."
"Oh Nanang kau rupanya balik." Ia tersenyum menghampiri Nanang lalu merangkul hangat,"Nang, Mama kau sudah meninggal. Mau mengabari kau, kita semua tak ada yang bisa ke sana tempat kau sekolah itu. Kau tahu sendiri kan kita semua tak ada uang dan kita pun tak tahu jalan. Nanti kita tersesat, habis sudah penduduk Migani ha-ha-ha..."
"Alah pak Petrus, Mamaku meninggal kau ketawa. Apa maksud? Kau senangkah?"
"Bukan begitu, Nang. Kau terlalu kerasan di Jakarta, sampai lupa pada Migani. Sekarang kau menyesalkah?"
"Dari awal aku sudah menyesal, pak. Sudahlah, antar aku ke rumah. Bapakku ada kah?"
"Bapak kau kawin lagi. Sekarang dia tinggal di Sorong. Kakak kau dua-duanya pun sudah menikah dengab wanita Papua Nugini. Mereka sudah pindah kewarganegaraan. Tinggal aku sudah di sini. Aku menunggu kau pulang untuk menggantikanku jadi guru di sini. Umurku sudah cukup senja, Nang." Pak Petrus terus berjalan dan menceritakan keadaan Migani selepas Nanang merantau ke Jakarta yang tak pernah pulang.
Mereka berdua sampai di sebuah rumah yang berbeda dengan rumah yang lain. Tidak seperti hal nya rumah penduduk asli Migani, rumah Nanang sekeluarga yang memang dari Jawa, jauh lebih modis dan tidak lagi mengikuti gaya tradisional penduduk setempat. Kelihatan rumahnya tak terurus dan sarang laba-laba di mana-mana.
"Lebih baik kau tinggal di rumahku saja, Nang. Barang-barang di rumah kau mungkin sudah tak ada lagi."
"Tak apalah, pak. Besok aku akan pergi ke pasar. Aku ingin memperbaiki rumah ini." Nanang tertunduk lesu duduk di tangga semen depan rumahnya. Tadinya ia berharap Mama dan bapak serta saudara-saudaranya menyambut Nanang di sini.
"Bawalah perubahan pada masyarakat di sini, Nang. Sudah cukup kau menikmati kehidupan mewah di sana, sedangkan kami di sini nyaris tak tersentuh oleh pemerintah. Kedatanganmu akan membawa perubahan baik. Mengabdilah pada masyarakat."
Nanang masih menatap bumi dengan sangat dalam.
"Aku pulang dulu, kalau kau perlu sesuatu datang saja ke rumahku."
Pak Petrus pergi meninggalkan Nanang merenungi kekeliruannya. Sebenarnya tak ada kesalahan yang ia lakukan. Memanjakan diri di kota orang adalah haknya. Tapu memajukan kota sendiri adalah kewajibannya sebagai putra daerah yang dibesarkan di tanah Migani. Jika semua anak bangsa memilih pergi tanpa memikirkan nasib orang sendiri, maka tak heran penduduk tertinggal akan semakin tertinggal.
Dwi Putri, Mahasiswi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Indonesia.