Oleh MS Wibowo
“Aku akan mati dan dikubur di kampus ini,” tegas Pandi.
“Maksudmu di Komplek Pemakaman Kampus?” tanya Deni.
“Bukan. Tapi di sini, di lahan kampus ini,” Pandi menghentakkan tangan ke meja.
<>
“Yang benar saja, Pan. Kalaupun kamu profesor, rektor, mustahil negara mengizinkan mayatmu dikubur di area ini. Paling banter, ya di Komplek Makam Kampus. Itupun siapa kamu? Dosen bukan, profesor juga bukan. Kamu cuma mahasiswa kadaluarsa, yang sudah mau didrop out,” kata Kamil spontan, sembari memandang cewek-cewek, yang hilir-mudik di Kantin Ushuluddin tersebut.
Wajah Pandi terlipat mendengar pernyataan karibnya itu. Tautan memorinya mengarah pada kejadian, saat ia minta nilai ke seorang dosen Bahasa Indonesia.
“Kamu semester berapa? Kok saya nggak pernah lihat?” tanya dosen itu sok jaim.
“Semester akhir, pak,” jawab Pandi.
“Semester akhir itu berapa?” tanya dosen itu lagi.
“14, pak,” kata Pandi mantap.
“Itu sih bukan akhir lagi, expired!”
“Ya, Pak,” respon Pandi pasrah. Otaknya bekerja menenangkan jiwa. Ia tak mau berulah dengan kata atau tindakan frontal seperti sebelumnya. Yang ia mau kini hanya satu, cepat beres dan lulus.
“Terus, kamu ke sini ada perlu apa?” tanya sang dosen dengan muka bosan. “Mau minta perbaikan nilai Bahasa Indonesia, pak,” jelas Pandi.
“Kenapa nilai kamu, rusak?” tanya sang dosen sok gokil. “Oh, ya saya ingat, kamu sudah tiga kali mengulang matakuliah saya, dan nggak pernah lulus. Pandi Baskara, mahasiswa sok pintar, yang sok menggurui saya itu kan?”
Pandi menundukkan kepala. Ia tak ingin terpancing emosi. Bagaimanapun, dosen ini adalah sekretaris jurusan. Jika berusaha menentang, bisa-bisa Pandi takkan pernah lulus karena segala urusan akademiknya dipersulit.
“Kamu serius dong ikut matakuliah saya. Oh iya, kamu sekarang kan sedang menjalani skorsing. Satu semester ini kamu tak bisa mendapat layanan akademik,” ucap sang dosen di muka Pandi.
“Maksudnya, Pak?” tanya Pandi sedikit keras.
“Kamu harus mengulang kuliah lagi,” kata dosen itu sembari berdiri hendak keluar ruangan. “Saya keluar dulu, ada rapat dengan dekanat.”
Pandi tergopoh menguntit langkah. “Pak, tolong saya, pak. Saya sudah semester 14. Sebentar lagi kena DO. Jadi, tolong rasional sedikit. Saya tak mungkin sempat mengulang matakuliah lagi. Skripsi saya belum beres. Selain itu, saya harus kerja karena tak ada lagi kiriman uang dari orang tua, pak.”
“Ya, itu masalah kamu. Urusan kamu,” gumam sang dosen melenggang.
“Pak, tolonglah, Pak. Saya siap membuat paper, makalah, atau ujian di ruangan bapak. Tapi saya tak bisa untuk mengulang lagi,” kata Pandi.
“Saya tak bisa menyalahi prosedur. Terakhir kamu ikut matakuliah ini dua semester lalu. Perbaikan nilai hanya bisa dilakukan maksimal dua bulan pasca UAS,” jelas sang dosen mulai kesal.
“Tapi pak...,” kalimat Pandi terputus. Dosen itu masuk ruang rapat dan menutup pintu.
Pandi hanya termangu. Sejak semester 12, ia mencurahkan hidup untuk melobi 20 matakuliah yang belum selesai. Di samping itu, ia harus berkunjung ke berbagai tempat komunitas black metal di Jakarta, guna penelitian skripsinya.
Sebelumnya ia mengajukan judul skripsi dari hasil studi kasusnya di sebuah tempat prostitusi. Tapi ditolak dengan alasan terlalu ekstrim dan berbahaya bagi citra kampus. Akhirnya Pandi mengajukan skripsi tentang komunitas black metal, dan tentu harus melakukan penelitian ulang.
Pandi menuruni tangga dengan gontai. Terngiang lagu ‘Sarjana Muda-nya’ Iwan Fals. Tiba di kantin. Kebetulan ada Deni dan Kamil. Mereka teman satu jurusan setingkat di bawah Pandi. Untuk melupakan semua yang baru terjadi, Pandi mengajak mereka bercanda dan tertawa. Tak selang lama, dua pemuda bercelana jeans, kaos hitam, dan rompi coklat menghampiri.
“Wiiiiiih..., ada sarjana berkunjung ke kantin. Dari style-nya, sudah sukses nih, traktir-traktir dong,” pekik Deni menyambut Roni dan seorang temannya.
“Sukses apanya? Lagi pada ngapain nih? Oya, kenalkan ini Bonie temanku, alumni Filsafat UI,” ujar Roni mengambil duduk bersama.
“Mil, mau kopi apa?”
“Santailah, Bang. Kita nggak suka malakin senior kok. Tapi sekali-kali tak apalah, kopi item saja,” sambut Kamil terkekeh.
“Katanya nggak mau malakin senior?” Roni langsung melesat pelan ke kantin.
Ia kembali dengan dua gelas kopi. Saat itu juga muncul Jun, mahasiswa filsafat semester empat. “Eh, Jun. Dari mana? Sinilah ngopi-ngopi,” tawar Roni.
Jun menyambut gembira tawaran itu. Ia menggeser beberapa kursi agar cukup untuk nongkrong berenam.
“Lagi ngapain ke kampus, pak sarjana? tanya Jun pada Roni basa-basi. “Nongkrong aja. Kangen sama para agent of change. Itung-itung ziarah ke tempat yang pernah jadi masa lalu kita,” jawab Roni sekenanya.
“Sekarang kerja di mana, Bang?” tanya Jun lagi.
“Lagi garap majalah. Masih baru sih, tapi alhamdulillah minggu depan sudah mau terbit edisi VII. Kamu belajar nulislah. Biar bisa bantu-bantu di majalah saya. Tuh belajar sama Pandi. Dia jago nulis,” tutur Roni.
Ayam kali jago?” serobot Pandi.
“Oya Pan, bagaimana kuliahmu, beres?” tanya Roni.
“Dikit lagi. Tinggal Bahasa Indonesia nih, dosennya ribet. Skripsi sih sudah mau kelar. Tinggal revisi,” jawab Pandi.
“Baguslah. Begitu Jun, contohlah Pandi. Meskipun kuliahnya lama, tapi dia punya karya. Jadi nggak asal cepet lulus tapi nggak bisa apa-apa,” saran Roni pada Jun.
“Nggak harus seperti aku juga lah Ron. Zaman kita dan Jun berbeda. Dan bagiku, sebuah kesalahan telah meremehkan kuliah karena mengikuti budaya jaman sebelumnya tanpa bisa beradabtasi dengan kultur baru. Angkatanku adalah korban sistem dan budaya,” ungkap Pandi.
“Korban sistem dan budaya?” tanya Jun.
“Iya, angkatanku masuk kampus ini di masa akhir menjelang pergeseran budaya intelektual mahasiswa. Jamanku masih mengikuti dan melestarikan budaya mahasiswa sebelumnya, di mana kemampuan baca, tulis, diskusi, dan pengusaan kelilmuan di bidang serta minatnya lebih utama timbang nilai akademis. Beda sekarang, kedalaman dan penguasaan ilmu nomor dua. Yang penting lulus cepet,” Jelas Pandi.
“Terus mana yang lebih baik?” tanya Kamil.
“Dua-duanya.. Penguasaan ilmu dan wacana penting, cepet lulus juga penting. Jaman sekarang serba cepat. Kalau nggak, kamu akan tergilas waktu,” jelas Pandi.
“Kaya kamu ya Pan?” celutuk Deni bersorak tawa yang lainnya. Pandi diam mengamini. “Tapi Pan, bagaimanapun, aku salut sama kamu. Sebab kamu bisa menunjukkan kemampuan lebih. Salah-satunya dengan tulisanmu. Di kampus ini, siapa yang tak kenal Pandi Baskara dengan tulisan dan cerita khasnya tentang bunuh diri mahasiswa. Sudah berapa mahasiswa yang bunuh diri dalam tulisanmu, Pan?” tanya Roni sambil menyeruput kopi dalam-dalam.
Pandi tak segera menjawab tanya itu. Matanya berbinar seperti memantul seberkas sinar terang. Ada inspirasi baru untuk tulisan cerita selanjutnya di newslatter Cerdekan. Sebuah newslatter yang ia terbitkan di kampus ini, bersama lima teman seangkatannya sejak menginjak semester X. Kata Cerdekan adalah singkatan dari Cerita Dewan Kantin. Berisi cerita-cerita sangat pendek, hasil inspirasi dari nongkrong di kantin dan disebarkan seadanya gratis pada mahasiswa.
Awalnya, tiap dua minggu Pandi dan lima temannya patungan untuk biaya cetak Cerdekan. Tapi seiring waktu, satu demi satu temannya memisahkan diri. Alasannya berragam, ada yang bilang sibuk skripsi, nggak profit, percuma, sia-sia dan sebagainya. Hingga ia merekrut Kamil sebagai awak baru yang bertahan sampai kini. Ukuran newslatter ini pun menciut. Dari HVS A3 menjadi A4. Durasi terbit pun terganggu. Dari dua minggu sekali, kini jadi terbit kalau ada dana.
Sejak itu Pandi dan Kamil telah menerbitkan 20 edisi Cerdekan. Dibanding yang lain, tulisan Pandi di Newslatter paling menjadi sorotan. Pasalnya, ia selalu merangkai kisah bunuh diri mahasiswa. Tokoh-tokoh ciptaan Pandi adalah mahasiswa semester akhir, yang terdesak berbagai masalah seperti hendak di DO, pacar minta kawin, tuntutan orang tua supaya cepat lulus dan kerja, keuangan, konflik dengan dosen dan sebagainya.
Banyak yang bilang, tulisan Pandi ini hanya curahan hati dari perasaan yang sedang dialaminya sendiri. Dan karena tulisan-tulisan itu pula, Dekan Fakultasnya memanggil Pandi. Menurut Bapak Dekan, cerita-cerita Pandi memuat pengaruh negatif terhadap kejiwaan mahasiswa. Cerdekan juga bisa mengakibatkan citra kampus menjadi buruk di mata masyarakat. Karena orang akan menganggap kampus selalu membuat aturan yang menekan mental mahasiswa. Selain itu, nama Cerdekan juga dianggap pencemaran nama baik terhadap Dekan sebagai pimpinan fakultas. Pandi tak menghiraukan ultimatum itu. Hingga dekanat memanggilnya kali kedua dan memberi ancaman skors kuliah.
Begitupun semangat Pandi tak surut. Ia tetap menulis berbagai kisah bunuh diri. Kali ini lebih ekstrim. Tokoh-tokoh mahasiswa dalam ceritanya, melakukan bunuh diri akibat tekanan dari pihak dekanat dan rektorat. Tak ayal, vonis skors dari kampus pun jatuh padanya. Ia tak dapat mengikuti semua kegiatan akademik dan perkuliahan, di masa akhir studinya, semester XIV.
Dampak skorsing ini ternyata tak seringan bayangan Pandi. Aneka cerita ciptaannya seolah mewujud. Serempak menjelma dalam alam nyata. Berawal dari orangtuanya menuntut cepat lulus karena adik-adiknya butuh biaya sekolah. Kemudian pacarnya selingkuh, tunggakan SPP, kontrakan, denda perpustakaan, uang makan dan sebagainya. Semua masalah itu enggan mengantri. Berebut datang dan membelit.
Pandi tercenung di kamar kost-nya. Komputer pentium III, dengan lekat debu menguning di chasing-nya, menyala lebih tiga hari tiga malam. Di layar monitor, tersenyum seorang perempuan incarannya usai putus dengan Achi. Sebuah foto yang ia curi dari Facebook. Dialah satu-satunya teman setia di kamar ini.
Tak ada musik atau video terputar. Hanya desis mesin CPU menghalau sunyi. Siang dan malam tak terasa. Pintu dan gorden rapat terkatup setiap saat. Hanya dua suara yang masuk telinga, yakni adzan
di kejahuan dan pekik ibu kost di beberapa waktu ba’da maghrib menagih uang kontrakan.
Dalam kondisi itu, tak ada teman Pandi berkunjung ke kamar kostnya. Tak ada pula sapa tetangga. Sejak pindah dari kontrakan lama lima bulan lalu, tak banyak orang tahu di mana Pandi tinggal. Ia juga agak tertutup dengan tetangga kontrakan, yang terdiri dari keluarga dan beberapa mahasiswa semester bawah.
Malam ketiga, kesehatan Pandi memburuk. Tak sesuap nasi ia telan. Sesekali ia meneguk air kran, yang ia masukan di botol air mineral empat hari sebelumnya. Badan Pandi menggigil. Keringat dingin keluar berbutir-butir. Keadaan ini mengantar ingatanya pada perkataan seorang teman. “Jadi orang jangan sok idealis. Kamu mau makan apa kalau semua kamu anggap buruk? Sudahlah, dunia memang penuh kemunafikan dan kepura-puraan. Kalau tetap memegang idealismemu, siaplah kelaparan. Banyak senior yang bisa membantu finansialmu, asal kamu mau menjadi alas mereka.”
Seketika terlintas di otak Pandi menghubungi beberapa senior organisasinya, memohon bantuan dana.
Mungkin dengan begitu hidupnya lebih mudah. Selama ini, Pandi tak mau menumpang pada kebesaran orang lain, terutama para alumni dan seniornya. Menurutnya, itu membuat lemah dan menjadi penjilat yang harus tunduk, nurut pada senior atau alumni. Ia berpendapat, jika kebiasaan organisasi ini dipelihara, takkan ada kemajuan baru tercipta. Sebab, para junior hanya menjadi kaki atau alas kaki senior di jalur kekuasan. Begitu seterusnya. Tak sedikit kawan organisasi yang menasihati Pandi, agar bersikap santun dan bila perlu cium tangan
di hadapan para senior. Pandi juga diingatkan agar jangan mengeritik senior seorganisasinya terlalu keras, jika tak ingin langkah karirnya terjegal di tengah jalan. Sebab, para senior telah menguasai semua lini kehidupan di ibukota. Tapi Pandi keras kepala. Ia teramat yakin atas jalannya, bahwa dengan meninggalkan sikap yang mengakar turun-temurun itu, kehidupan akan lebih baik segera tercipta.
Sebenarnya ia ragu perjuangan itu akan berhasil, mengingat sedikitnya orang yang satu pikiran dengannya. Tapi itu tak lantas idealismenya padam. Kini, di kamar ini, semua itu seperti tak berarti. Kondisi begitu mendesak. Ia tak tahu kenapa. Padahal ia pernah tak makan lebih empat hari dan sehat-sehat saja. Mungkin tekanan pikiran ikut mendesak badannya menjadi ringkih.
Tangannya gemetar menggapai ponsel. Pikirannya terhubung pada dua orang senior, yang masing-masing adalah direktur sebuah LSM dan Lembaga Penelitian. Dua lembaga yang sering ia kritik lewat artikelnya di blog ataupun Majalah Kampus.
Sebetulnya, nuraninya meronta. Ia tak mau menjilat ludah sendiri. Tapi suasana hati itu dibuangnya jauh-jauh. Sekuat tenaga ia tekan tombol telpon, lalu meletakkan ponsel di telinganya sambil tiduran. Nurani yang Pandi acuhkan tadi memaki, menangis dan menjerit, layaknya Romeo ditinggal Juliet mati. Pandi tak peduli. Ia mantap menanggalkan keyakinan.
“Sebisa mungkin ini hanya sementara. Tapi jika terpaksa selamanya, tak apalah,” batin Pandi.
Tangis nurani Pandi mendapat jawab dari Sang Kuasa. Ternyata sisa pulsa di ponsel Rp.48. Pandi menggenggam erat ponsel jadul itu. Ia baring telentang, tangannya terkapar menahan beban. Pasrah. Sampai nyinyit malam mengantarnya ke lembah pejam tanpa mimpi.
Ketika mata terbuka, mentari hinggap di kamar. Sel-sel tubuh Pandi telah berganti. Energi baru membangunkan niat keluar kamar. Ia gerakkan mouse kompeter, membuka winamp. Irama keras System of Down cukup mengaktifkan sendi-sendinya. Ia berkemas mandi dan berangkat ke kampus. Ia mampir ke kontrakan Kamil dan mengajaknya ke Kanshul (Kantin Ushuluddin), untuk membincang masalah Cerdekan.
Sampai di Kanshul, Pandi dan Kamil membeli segelas kopi dan mengambil sudut gedung sebagai tempat diskusi. “Bagaimana Mil, sudah nulis artikel lagi?,” kata Pandi. Kamil tak cepat menjawab.
“Kenapa? Ada masalah?” tanya Pandi lagi.
“Kamu serius mau menerbitkan Cerdekan lagi?” balik tanya Kamil.
“Lho, memang kenapa?” Pandi menarik tubuhnya sedikit kebelakang menyandar di tembok.
“Kemarin Pak Dekan memanggilku. Bukan kamu saja yang kena skors kuliah, aku juga terancam. Dan kamu tahu, itu berarti studiku sudah dipastikan gagal. Aku masih punya beban lima matakuliahku,” ungkap Kamil Lesu.
Pandi terkejut mendengar penjelasan Kamil. Ia tak menyangka partner-nya juga mendapat represifitas dari kampus. Setahu dia, tulisan Kamil selalu bernada positif dalam bentuk esai. Nada tulisannya merupakan kebalikan dari cerita-cerita karangan Pandi tentang bunuh diri, yang beraroma negatif.
“Apa alasan Dekan?” tanya Pandi.
“Dia bilang, tulisanku bagus. Cuma dua artikel terakhir tentang biaya kesehatan dan tulisan tentang hilangnya budaya mengkritik Tuhan di Ushuluddin, dianggap mencemarkan nama baik kampus,” papar Kamil.
“Mereka itu aneh. Para doktor dan profesor, tapi tak bisa membedakan kritik membangun dan menjatuhkan,” sahut Pandi.
“Mereka itu tak mau dikritik, Pan. Bagaimanapun, mereka selalu menganggap mahasiswa lebih bodoh. Jadi tak layak untuk mengingatkan doktor dan profesor, yang telah kenyang melanglang buana cari ilmu sampai California,” kata Kamil tersenyum.
Pandi tertawa beberapa detik. “Terus bagaimana dong Mil, Cerdekan selanjutnya tetap terbit?” tanya Pandi bersambut muka masam Kamil.
“Tak tahu lah Pan. Mungkin lebih baik sudahi saja. Walau beda satu tingkat, tapi kita sama-sama sudah semester akhir. Buat apa ngurusin hal macam ini. Sudah saatnya kita bergerak dan berjuang di luar. Lagi pula kamu juga sih, suka membuat tulisan kontroversial tentang bunuh diri. Jadinya ya seperti ini, memersulit kita,” keluh Kamil.
“Lho, kok nyalahin aku?” elak Pandi.
“Kenyataannya begitu kan? Niat awal kita adalah menyadarkan masyarakat dan mahasiswa bahwa memelajari pemikiran itu sangat penting. Eh, kamu malah menulis cerita-cerita bunuh diri. Itu membuat orang makin sanksi terhadap relevansi fakultas kita,” kata Kamil.
Pandi ternganga mendengar cerocos Kamil. Ia tak menyangka, partner satu-satunya di Cerdekan berubah pandangan. Kamil telah berdamai dengan keadaan. Tapi Pandi coba memahami, mungkin sikap Kamil dipicu banyak faktor.
Kehidupan Kamil memang jauh lebih susah darinya. Orangtua Kamil hanya petani dengan empat petak sawah. Tanahnya pun kurang subur. Hasil panen hanya cukup untuk makan keluarga di rumah. Kamil bertekad melanjutkan studi ke perguruan tinggi atas inisiatif sendiri dengan gembling. Sejak mendaftar, Kamil memenuhi segala kebutuhan tanpa bantuan orangtua. Hingga saat ini, ia masih sering ngamen atau berdagang asongan di bus-bus kota. Karena itupula, kuliahnya berantakan.
Mengingat itu, rasa bersalah Pandi muncul sebagai nganga di kedalaman hati. Tanpa sadar, ia telah menjerat Kamil dalam urusan akademik yang pelik. “Baiklah Mil, sekarang kamu fokus saja pada kuliah. Biar aku tetap menerbitkan Cer-Dekan,” kata Pandi memecah kesunyian saat antara mereka.
“Ah, jangan begitu dong, Pan. Kalau begini kesannya aku tak punya solidaritas,” kata Kamil penuh rasa tak enak.
“Nggak Mil, bukan begitu. Aku yang salah, karena tulisan-tulisanku membawamu pada masalah,” ujar Pandi menenangkan.
“Oke Pan, sory banget nih. Nanti kalau ongkos cetaknya kurang, jangan segan-segan bilang. Barangkali aku bisa bantu. Tapi namaku jangan dicantumkan ya. Dan kalau bisa nama newslatter ini ganti saja. Biar aman,” Kamil tersenyum lega beranjak meninggalkan temannya.
Pandi terduduk lasu. Matanya tajam membututi langkah Kamil. Hingga sosok itu hilang dalam selinap gedung-gedung fakultas yang pongah. Hatinya mulai goyah, memikir ulang perkataan temannya itu. “Ada benarnya juga kata Kamil. Aku sudah semester akhir. Orang tua dan adik-adikku butuh biaya tambahan. Seharusnya aku sudah lulus, bekerja dan membantu mereka. Teman-teman di kampungku semua telah berumah tangga. Haruskah perjuanganku selesai di sini? Tak adakah masyarakat yang
sadar bahwa Indonesia butuh perubahan dan pemikiran? Adakah orang yang bisa membaca tulisanku dengan penafsiran positif, bahwa kasus-kasus bunuh diri yang kutulis dalam ceritaku itu disebabkan adanya sesuatu yang salah dalam masyarakat dan kampus ini?” gumam Pandi di relung kalbu.
Tak lama, Pandi beranjak menuju kamar kostnya. Setelah membuka kunci, Pandi melemparkan tas, membuka baju dan langsung mengaparkan tubuh di ubin. Pikirannya melayang. Ternyata usahanya selama ini sia-sia. Kamil telah menyerah. Dunia telah menyatakan, betapa tulisan-tulisan Pandi begitu menyeramkan. Dan itulah kenyataaannya saat ini. Tokoh-tokoh bunuh diri dalam cerita Pandi adalah para pemuda. Mereka terpaksa mati karena tak ada ruang gerak untuk menciptakan sistem dan budaya yang baru. Semua yang ada dikuasai orang tua yang melanggengkan mesin peternakan manusia. “Tidak, aku tidak boleh menyerah. Keadaan ini tak boleh dibiarkan. Aku harus melakukan sesuatu,” jerit batin Pandi.
Ia bangkit menghadap monitor. Setelah menyalakan komputer, ia membuka word dan langsung menulis.
Ternyata memang tulisanku tumpul. Tak lagi mampu menusuk hati masyarakat yang keras. Satu dimensi telah menguasai. Tak ada lagi teror yang mampu menghancurkan. Sadarlah semuanya, dunia butuh perubahan. Kalau memang kata-kataku tak mampu meluruskan jiwa-jiwa kalian semua, apa boleh buat, kukorbankan ragaku untuk kampus tercinta. Untuk bangsa Indonesia. Semoga kita sadar, bahwa Indonesia butuh pemikir yang paham kondisi bangsa sendiri. Kalau para ulama banyak menyatakan filsafat itu sesat, maka lihatlah sejarah. Berbagai agama, termasuk Islam bukan hancur karena filsafat atau ilmu pengetahuan. Melainkan karena perebutan kekuasaan dan karena kebodohan umatnya. Indonesia butuh pemikir dan filsuf. Jangan mau terus menjadi konsumen dan didikte oleh pemikiran bangsa asing.
Kubur aku di lahan kampus ini!
Pandi mengopi tulisan tersebut ke dalam flashdisc. Dengan tergesa ia merapihkan kamar. Ia menulis wasiat di sebuah kertas untuk ibu kost, yang menyatakan permohonan maaf atas tunggakan kontrakan ini. Ia juga berpesan, agar ibu kost menagih uang itu pada orang tuanya di Sumatra dan mewariskan barang-barang dan buku yang ada pada adiknya.
Seperti orang kesurupan Pandi berjalan tanpa peduli sekitar. Ia tak menghiraukan semua sapaan orang. Bahkan umpatan kasar pengendara motor yang hampir menabraknya di pertigaan, hanya dijawab dengan plototan.
Sebelum masuk kampus, ia mem-print-out dan memfotokopi beberapa lembar.
“Tulisan buat apa ini mas?” tanya tukang fotokopi.
Pandi menjawabnya dengan senyuman dan langsung bergegas menuju lantai VII gedung Fakultas Ushuluddin.
Pandi masuk di sebuah kelas yang kosong. Setelah mengganjal pintu dengan dua kursi, ia menuju jendela dan terpaku beberapa saat di sana. Ia memandang lekat-lekat aspal jalan. Tekadnya bulat sesuai harapan untuk mengakhiri hidup di area kampus ini. Kakinya telah memanjat mulut jendela.
Muncullah bayangan siksa kubur, teman-teman, orangtua dan adik-adiknya, yang berteriak melarang niatnya. Pandi bimbang. Tapi seketika semua musnah, saat ia menebarkan kertas-kertas berisi tulisannya tadi, dan menggenggam dua sisanya. Tanpa menoleh ke belakang, ia terjun dari lantai VII sambil berteriak, “Hidup Mahasiswa!!!.... Hidup Pemuda Indone.. si....... aaa....”
Seisi kampus terhentak. Mereka mengerubuti mayat Pandi yang berlumur darah dan beberapa patah tulang yang menonjol patah dari tubuhnya. Polisi dan ambulan membuyarkan kerumunan. Wartawan bersuka-cita menyambut berita. Tulisan Pandi dipublikasikan semua media massa.
Sebulan kemudian, di sebuah Sabtu siang, suasana kampus tak seperti biasa. Beberapa tenda putih berdiri di sekeliling auditorium utama. Ribuan orangtua mengunjungi kampus, menyaksikan wisuda buah hatinya.
Seremoni selesai. Puluhan sarjana keluar dengan toganya. Di antara mereka ada dua orang lelaki bergandeng tangan penuh senyum kemenangan. “Pan, selamat ya. Tulisanmu yang terakhir mantab sekali. Banyak orang mengira, kamu benar-benar mati bunuh diri. Soalnya sejak Cerdekan terbit, kamu nggak pernah nongol. Padahal kamu di kamar menyelesaikan skripsi. Sukses ya,” ucap Kamil pada Pandi.
“Ya sama-sama, Mil. Kamu juga harus tetap Baca, Tulis dan Lawan!!! Meskipun cita-cita, idealisme dan harapan kita sangat sulit bahkan tak mungkin terwujud, tapi bukan berarti kita harus berhenti. Perjuangan kita belum berakhir setalah wisuda ini. Pemuda menjadi agent of change bukan hanya dengan demonstrasi, seperti bebek yang digiring. Melainkan dengan pemikiran dan ilmu pengetahuan. Segala bentuk perubahan atau gerakan massa selalu berawal dari pemikiran. Tantangan kita pertama ialah menyadarkan masyarakat, agar tidak takut dan mencap sesat orang-orang yang belajar dan berkecimpung di bidang pemikiran,” papar Pandi di tengah riuhnya massa wisudawan lainnya.
“Oke bapak filsuf, sastrawan, eh salah, bapak pemikir,” kata Kamil beriring tawa. Ia meninggalkan Pandi untuk menghampiri orangtua, kerabat dan teman dekat yang hadir di hari bahagia ini.
Tanpa sadar, air mata Pandi menetes jatuh di pipi. Kedua orang tuanya tak datang ke Jakarta karena biaya. Tak pikir panjang, ia langsung melepas toga, dan menghambur menuju kontrakannya. Di sana, ibu kost telah menanti dengan tagihan uang konstrakan bulan ketiga.[]
M.S. Wibowo, merupakan seorang penggagas Paguyuban Intelektual Yapentush UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Alumni Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Huda, Tegaldlimo, Banyuwangi, Jawa Timur.