Oleh Suhairi Rachmad
Iring-iringan pengantar jenazah itu berjalan tergesa-gesa. Dua puluh menit kemudian mereka tiba di bibir kubur. Keranda diletakkan pelan. Tiga orang menghambur masuk liang lahat. Seseorang yang semula ikut mengusung keranda, membuka tabir biru bertuliskan kalimat syahadat. Namun, ketika keranda dibuka, setiap pasang mata membelalak dan melotot. Keranda kosong!
<>
”Hah, mayatnya menghilang!”
”Mayatnya mungkin kabur?”
”Mungkin telah menjelma menjadi hantu?”
Senja yang duka kini meneteskan peluh.
Bagaimana mungkin mayat yang kaku secara tiba-tiba menghilang, kabur, atau menjelma menjadi hantu sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat. Maka, di tengah pohon kamboja itu, setiap pasang mata saling tatap dan menyimpan takut. Betis dan kaki hendak lari, namun tak ada daya. Otot-otot seakan dilumpuhkan.
Senja makin gelap. Di antara para pelayat mengisahkan ulang cerita kakek-buyutnya. Konon, kalau beduk maghrib bertalu diiringi suara azan berkumandang, janganlah sekali-kali mengubur mayat. Tunda hingga beberapa menit, atau sekalian majukan hingga tak berbentur dengan maghrib.
Namun, apalah guna, jika semuanya telah terjadi. Mayat itu betul-betul tak ada di dalam keranda. Jelas, semua warga yang mengantarkan iring-iringan mayat ini harus bertanggung jawab. Dalam artian, bukan lantas ada seseorang di antara mereka bersedia menggantikan posisi al-marhum. Tetapi, harus ada seseorang yang pandai menjawab jika ada malaikat penjaga kubur menanyakan hal-ihwal raibnya mayat tersebut. Atau, jangan-jangan mayat itu sudah berhubungan dengan malaikat. Amal baik dan buruknya sudah dikalkulasi sehingga menyebabkan mayat tersebut telah memperoleh siksa atau nikmat yang tiada tara.
Tiba-tiba ada susulan dari rumah duka. Seorang lelaki sekitar umur 27 tahun menerobos kerumunan para pengantar jenazah. Peluhnya yang mengalir pada bagian kening dan leher, diusap pelan. Seraya memperbaiki lengan bajunya, lelaki itu mengatur pelan deru nafasnya.
”Eh, jenazahnya tertinggal! Jenazahnya belum dimasukkan ke dalam keranda!” teriaknya.
Semua langkah terhenti. Wajah-wajah saling tatap. Ah, tak mungkin jenazah tertinggal. Aroma keranda yang diusung warga barusan seperti menebar aroma mayat. Ujung kayu yang menempel ke punggung warga terasa lebih berat. Jadi tidak mungkin keranda itu melebihi dari berat biasanya. Namun, suara susulan yang mengabarkan jenazah tertinggal di rumah duka menyiratkan kejujuran yang hakiki. Maka, kaki-kaki yang rata-rata telanjang itu pun berbalik arah. Tanpa ada kata tanya, walaupun sebenarnya banyak tanya yang tersimpan. Sebab, para pelayat yakin, haqqul yakin, jika mayat tersebut telah dimasukkan ke dalam keranda.
Di rumah duka. Semua mata melotot penuh takjub. Ya, mayat itu masih terbujur kaku di bawah kain sampir. Shohibul musibah juga tak keluar ucap sepatah pun. Ini betul-betul mayat yang baru dimandikan. Aroma sabun, kemenyan, dan parfum mayat seperti baru saja melumuri tubuhnya yang beku. Ah, entahlah! Apakah pelayat-pelayat ini memang salah lihat jika tadi mayat ini betul-betul dimasukkan ke dalam keranda dan diusung warga menuju area pemakaman?
Kembali, mayat dimasukkan ke dalam keranda. Ah, muncul musykil di antara kami. Apakah mayat itu akan disholatkan lagi? Tak seorang pun di antara kami yang lupa bahwa sekitar satu jam yang lalu, mayat itu telah dimasukkan ke dalam keranda lalu disholatkan di musolla. Jika ternyata mayat itu menghilang dan mungkin ada yang berkeyakinan bahwa mayat itu belum dimasukkan ke dalam keranda, berarti mayat tersebut belum disholatkan. Ah, aku juga menjadi bingung menghadapi peristiwa ini.
Angin menerpa bulu roma secara pelan. Keranda kembali diusung menuju are kuburan. Derap kaki pelayat terdengar lebih menghentak. Padahal, mulut-mulut tak henti membaca zikir hingga ke bibir kubur. Mata-mata tak berkedip. Jangan-jangan, mayat itu kembali menghilang dan tiba-tiba ada yang melapor bahwa mayat itu tertinggal dan masih terbujur kaku di rumah duka. Nafasku sengaja kuhirup pelan setelah melihat mayat itu betul-betul ada dan siap dikubur. Tiga orang yang berada di liang lahat—ketiganya putra almarhum-- mengangkat mayat itu lalu membaringkannya di dasar kubur.
Tiba-tiba, tiga orang yang membaringkan mayat itu melompat ke atas dan menyambar cangkul yang tertunduk di atas tumpukan tanah. Tanpa ada azan, apalagi iqomah yang biasa dibaca orang ketika membaringkan mayat pada liang lahat. Mereka seperti sangat tergesa-gesa. Hanya dalam jangka sepuluh menit, prosesi penguburan mayat itu pun selesai.
Para pelayat menaruh curiga. Jangan-jangan, mayat itu menghilang lagi lalu tiba-tiba berbaring kaku di rumah duka. Aroma sabun, kemenyan, dan parfum mayat seperti baru saja melumuri tubuhnya yang beku. Apakah prosesi pemakaman akan terulang-ulang hingga berpuluh-puluh kali? Ah, tapi itu baru dugaan. Yang jelas, para pelayat tak ingin kembali ke rumah duka. Mereka langsung pulang ke rumah masing-masing dan menceritakan mayat aneh itu kepada sanak-famili yang tak ikut ke kuburan.
***
Sejak beberapa bulan terakhir, kuburan anyar di kampung itu selalu dijaga ketat oleh sanak-famili. Sebulan kemarin, terdapat sepuluh kuburan yang bolong. Mayatnya kosong. Tetapi, ini wajar. Barangkali ada seseorang yang telah mencurinya untuk pesugihan atau untuk kekebalan tubuh. Namun menjadi tidak wajar jika mayat itu ternyata menghilang di saat berada di dalam keranda dan sedang menuju liang lahat?
Kuburan anyar yang baru dua hari kemarin itu memang tak dijaga oleh siapa-siapa, pun oleh ketiga anaknya. Di saat pagi buta, ketika embun masih menyimpan dingin di ujung rerumputan, tiba-tiba tersiar kabar tentang sebuah kuburan anyar yang bolong. Ketiga anak almarhum kembali pucat pasi. Sudah beberapa kali mendiang ayahnya membuat malu dihadapan orang banyak. Pun kali ini yang tak diharap peristiwa itu terjadi. Maka, untuk menaruh yakin, ketiganya sepakat membongkar kuburan itu, seraya disaksikan warga sekampung.
Langit semakin memutar waktu. Dingin embun semakin menghilang. Area kuburan menjadi semakin panas. Apalagi, matahari di langit timur semakin merangkak naik. Ketiga anak almarhum yang membongkar kuburan itu seperti sangat tergesa-gesa. Hanya dalam jangka dua puluh menit, semua tanya menjadi sirna. Sebuah mayat terbujur kaku masih terbalut kain kafan. Orang-orang mengusap dada. Merasa puas tak terjadi apa-apa. Beberapa saat kemudian, mereka bubar setelah mayat tersebut utuh dan masih sempurna.
Di rumah duka, ketiga anak almarhum duduk berselonjor sambil melepas penat. Peluhnya masih mengalir deras. Rona merah di wajahnya belum jua sirna. Seraya mengipas-ngipasi tubuhnya, mereka berbincang ringan.
”Untung mereka percaya bahwa mayat ayah tak dicuri orang.”
”Iya,betul. Padahal, ketika proses penguburan mayat, kami melihat ada dua mayat dalam satu kubur. Nah, ketika dibongkar, ternyata hanya ada satu mayat. Aku tidak tahu, apakah mayat ayah yang hilang, atau mayat yang satunya?”
”Aku juga tidak mengerti, mengapa mayat ayah harus menghilang ketika diusung menuju liang lahat?”
”Mungkin ini adalah balasan bagi ayah setelah beberapa kali mencuri mayat tetangga untuk pesugihan dan kekebalan tubuh.” Sumenep, 25 Maret 2011
SUHAIRI RACHMAD lahir di Sumenep, Madura. Alumnus Fak. Sastra Universitas Jember dan mantan Ketua Umum Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Jember. Cerpennya pernah dimuat di beberapa media lokal dan nasional. Beberapa buku bersamanya yang terbit; “Puisi Rakyat Merdeka” (Puisi, Grasindo:2003), "142 Penyair Menuju Bulan" (Puisi, Kalalatu Press:2006), ”Antologi Puisi Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan" (Puisi, DKM Mojokerto:2010), "Antologi Cerpen Festival Bulan Purnama Majapahit Trowulan" (Cerpen, DKM Mojokerto: 2010), "Bismillah, Aku Tidak Takut Gagal" (Motivasi, Qultum Media:2011).