Cerpen

Menyimak Perempuan Bercelak Tebal

Ahad, 23 Juli 2017 | 13:03 WIB

Oleh Abdullah Zuma

Seumur-umur, saya tidak pernah menaiki gedung bertingkat, kata orang mencakar langit. Wasilah seorang teman, saya penah merasakannya. Hingga ke lantai 39 malah. Di lantai tersebut, saya masuk ke salah satu ruangan yang asri dan segar. Di situ terdapat sekelompok orang berkumpul. 

Dan saya kaget, mereka sedang berlatih menulis! Gila, menulis saja, harus di lantai 39, pikir saya. 

Lalu, saya duduk di kursi, di samping teman saya yang mengajak. Beberapa kursi kosong karena orang yang berlatih itu duduk lesehan. Di deretan kursi tersebut, sejajar dengan saya ada seorang perempuan berambut panjang bergelombang. Wajahnya bermake-up tebal. Kelopak matanya bercelak tebal hitam dengan alis lurus, sementara ujung ujungnya melengkung bukan ke bawah, tapi ke atas. Alis itu semacam tanduk saja. 

Ia berbaju putih dan bercelana jens hitam ketat. Tubuhnya sintal. Sesekali ia menyimak pembicaraan narasumber. Tapi lebih sering memainkan ponselnya. Entah main game, chating, atau hanya memainkan ponsel saja. 

Teman saya mendekatinya. Rupanya dia kenal. Keduanya bercakap akrab. Entah apa yang diobrolkan. Saya kemudian menyimpulkan perempuan itu bukan seorang peserta menulis. Mungkin salah seorang teman dari peserta, atau pembicara, panitia, atau entahlah.

Kemudian saya memerhatikan narasumber yang bercerita tulisan Watergate di Amerika. Membahas bagaimana menulis liputan panjang dan detail dan enak dibaca. Peserta berjumlah belasan orang itu tekun menyimak. Sekali dua, muncul pertanyaan. Si narasumber menjelaskan. Diam-diam saya menyimak.

Sewaktu istirahat, seluruh pesarta dan narasumber makan siang. Saya pun ikut. Sesekali ingin mencicipi makanan lantai 39. Ketika sedang menikmati makanan, sengaja saya duduk dekat perempuan bercelak tebal meski tak berani membuka obrolan. 

Ia kemudian dihampiri narasumber tadi. Mereka pun bercakap. 

Diam-diam saya menyimak perempuan bercelak tebal dan narasumber. Ternyata yang diobrolin adalah pasangan hidup. Dalam hal ini perempuan bercelak tebal sedang membeberkan ciri-ciri dambaan calon suaminya. Ternyata bukan harta, tahta, atau rupa yang diinginkan, melainkan ras atau warna kulit!

“Gue ingin cowok bule!” ungkapnya.

Narasumber terdiam sebentar. Tapi kemudian bertanya.

“Kenapa ingin bule? Pria lokal juga masih banyak, kayak gue...haha,” godanya. 

“Sama pria lokal, gue nggak nafsu.”

“Ama gue berarti lu nggak nafsu?” tanya narasumber sambil ketawa lagi. 

Perempuan itu tak menanggapinya. Ia malah memperhatikan ponselnya.

“Ya, ya, sudah melakukan upaya apa untuk dapat bule?”

“Ada sih yang udah mau, tapi di negaranya, dia berprofesi sebagai polisi. Gue takut sama polisi, takut disiksa. Males!" tegasnya sambil mengangkat bahu. "Padahal dia sudah mau ikut agama gue,” lanjutnya.

“Terus!”

“Terus ada orang New Zealand. Dia siap menikah, tapi sayang, tidak mau disunat. Dia tidak mau ikut agama gue. Gue nggak mau juga nikah beda agama. Ribet!”

“Hmmm... lesbi aja gimana, hahaha?”

“Wah, itu kan menyimpang dan dilarang sama agama.”

Sampai di situ saya menyimak perempuan bercelak tebal karena si narasumber mengajaknya mengisi perut. Kemudian keduanya makan duduk jauh dari saya. Jadi, tidak tahu cerita selanjutnya. 

Sepanjang perjalanan pulang masih terngiang percakapan perempuan bercelak tebal dengan narasumber. Saya sempat menanyakan asal daerah perempuan bercelak tebal itu kepada teman. Teman saya menyebut satu daerah di Sumatera. Saya mengangguk-angguk.  

Kemudian, saya dan teman pun terpisah jalan. Tapi perempuan bercelak tebal masih terus bergelayut dalam ingatan. Ketika mendekati kontrakan saya, tak sadar kaki menendang botol air mineral. Saat itu, tiba-tiba ingat istilah “adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”.


Penulis lahir di Sukabumi, pernah nyantri di Pondok Pesantren Assalafiyah Nurul Hikmah Parungkuda 


Terkait