Oleh Dwi Putri
1.
Aku biasa memanggilnya ‘bung’. Kami bertemu dua tahun lepas ketika sama-sama menghadiri kegiatan rutinan di Taman Ismail Marzuki. Kata teman-temanku, kegiatan itu dicetuskan oleh salah seorang penyair atau mungkin penulis yang terkenal di jagat dunia sastra kontemporer Indonesia. Aku belum pernah mendengar nama itu sebelumnya. Kata temanku lagi, acara itu selalu ramai didatangi oleh penikmat sastra, baik dari ibukota ataupun dari luar ibukota.
Pertama kali ketika datang di sana aku cukup kaget, ternyata ramai juga walaupun waktu yang digunakan masanya orang asyik mendengkur di atas kasur. Di kampungku pasti tidak akan diperbolehkan oleh kades setempat. Takut ganggu warga katanya.
Rambutnya awut-awutan. Tangan sebelah kirinya nyaris ditutupi tato. Perantau cupu sepertiku mana berani dekat dengan orang semacam dia. Lebih mirip anak punk daripada seorang penikmat sastra. Waktu itu aku belum bisa membayangkan bagaimana seorang sastrawan di ibukota, Yogyakarta, dan lainnya. Yang kutahu di tv dan surat kabar, seorang sastrawan ya berpakaian rapi. Yang terpenting kalian jangan sampai menyalahkan tv dan surat kabar perihal ketidaktahuanku ini. Akunya yang kurang baca, jadi mana paham dengan dunia sastra dan bagaimana cara mereka menikmati hidup.
Kebetulan posisi kami berdekatan. Ia tersenyum padaku, aku hanya menunduk. Entah tanda apa itu. Hormat? Takut? Ha-ha-ha lucu saja kalau aku mengingat peristiwa itu. Apalagi sesekali di tengah diskusi, ia sering menyeletuk kecupuanku kala itu.
Aku pernah bertanya padanya, “kenapa aku harus memanggilmu bung? Kenapa tidak kakak atau adik sebagaimana lazimnya?”
Dia hanya tertawa renyah sembari memamerkan gigi yang kuning dan terselip sesuatu yang berwarna hitam, entah apa itu. Aku tidak berani meyelidik dan menatap giginya lama. Menjijikkan.
“Aku suka dipanggil ‘bung’, karena aku merasakan diriku bebas. Kamu tau kan konsep presiden pertama kita menyematkan kata ‘bung’ di depan namanya?”
Aku hanya mengangkat bahu pelan. Lagi dia tertawa.
“Kamu benar-benar tidak tahu? Atau cuma mengujiku saja? Ha-ha-ha.” Tawanya lepas. Puas sekali nampaknya membuat mukaku merah padam.
“Coba aku tanya, di antara kita berdua mana yang lebih tua?”
“Cah edan… ya tentu kamu yang lebih tua. Dari kerutan di muka saja sudah kelihatan.”
Badannya bergetar menahan tawa, “Nah itu maksudku. Bayangkan kalau kamu memanggilku abang, kakak, kang, mas, atau apapun itu. Kamu pasti merasa segan denganku toh? Ya bisa saja akrab, tapi tetap ada sekat.”
Aku tidak mempedulikannya. Mulutku sibuk menyedot es jeruk yang baru saja kupesan. Sedangkan dia lebih memilih kopi. Katanya kopi membangkitkan semangat dan seleranya. Jiwa mudanya akan kembali. Aku memang orang Sumatra. Dan kebetulan keluargaku mempunyai kebun kopi beberapa hektar. Tapi bagiku kopi tidak terlalu mampu menarik perhatianku. Apa enaknya? Pikirku. Ya selera orang memang berbeda-beda. Tapi sekali lagi kubilang, aku tidak suka kopi.
2.
“Mahbub.”
Aku menoleh ke arahnya, “Mahbub?” tanyaku.
“Iya, Mahbub.”
“Dia siapa? Bapakmu? Kakekmu? Atau leluhurmu.” Aku menggosok tanganku kencang. Dingin sekali.
Seperempat jam yang lalu hujan. Sekarang gerimis. Ah, romantis sekali sebenarnya. Andai dia pacarku. Aku tersenyum sendiri ketika membayangkan kami berdua berpelukan mesra menatap langit. Sambil membiarkan wajah kami disentuh lembut rintik-rintik hujan di malam tanpa bintang.
“Kau kenapa tersenyum?”
Aku terkejut, ia menyenggol lenganku.
“Eh, tidak apa-apa. Jadi? Siapa Mahbub?
Mulai ia menyulut rokok. Aku risih sebenarnya menghirup kepulan asap itu. Menghindar tidak mungkin. Jadi untuk mengalihkannya, aku terpaksa sesekali pura-pura menggaruk dan memelintir hidungku pelan.
“Nanti kau kenalan sendiri dengannya ya.”
“Jadi dia masih hidup?”
“Menurutmu?”
“Ya mana aku tahu. Namanya saja aku baru mendengarnya sekarang.”
“Besok aku mau ke kampus tempat aku kuliah dulu. Aku dapat undangan hadir di acara anak-anak sana. Tentang Mahbub. Mau ikut?”
“Ya, siapa tahu ketemu Mahbub, aku ikut sajalah.”
Katanya, Mahbub itu sama dengan dirinya. Mahbub senang dipanggil ‘bung’. Apa peduliku dengan orang-orang yang suka dipanggil dengan sebutan ‘bung’ itu. Seingatku, aku pernah membaca sebuah artikel salah seorang temanku yang diterbitkan di sebuah media nasional. Di sana ada semacam analisis penggunaan bahasa dari masa ke masa sejarah Indonesia. Jika kita menelisik kembali ke sejarah Orde Lama, tentu kata ‘bung’ identik dengan jiwa sosialis sebagaimana jiwa Bung Karno. Tapi zaman terus berkembang. Zaman Bung Karno terkenal dengan peristiwa 65/66 yang terkenal karena gejolak politik. Jadi untuk menggeser zaman Soekarno, maka pemerintah di zaman Orde Baru sebisa mungkin menghilangkan semua hal yang berbau Orde Lama. Termasuk kata panggilan ‘bung’ yang akrab disematkan pada tokoh-tokoh Orde Lama di zaman pemerintahan Bung Karno.
3.
“Kampret kau. Tega sekali aku diajak pergi dengan jalan kaki begini.” Aku menggerutu sepanjang jalan. Sesekali aku berhenti sambil memijit-mijit dengkulku yang terasa nyeri. Yang benar saja, aku diajak jalan kaki dari Pasar Rumput menuju Matraman. Katanya kampus yang mengadakan acara Mahbub itu di sana. Aku sendiri belum pernah mendengar ada kampus di sekitar tempat itu. Padahal aku sering mejeng bersama teman-teman satu komunitasku di taman yang ia sebut Taman Amir Hamzah.
“Biar terbiasa. Nanti kau kulatih jadi aktivis, biar kuat jalan kaki ke mana-mana. Bisa hemat duit kan? Nanti juga kalo lagi demo semacam long march kau tidak kaget lagi.” Ia terus berjalan menikmati perjalanan sambil memetik gitar kesayangannya. Tahu begini, lebih baik aku menolak untuk ikut. Bodohnya aku yang terus saja ikut dengan orang gila yang berjalan di depanku ini. sudah tahu gila, tapi tetap diikuti. Kegilaan apa yang ia salurkan padaku sehingga aku tetap mengikuti kegilaannya.
“Sekarang masih di Minangkabau. Berapa lama lagi kita sampai?”
“Ya paling habis ‘isya kita sudah sampai. Kau sudah maghriban kan?”
Aku melengos, “Apa pedulimu aku sholat apa tidak?”
“Ha-ha-ha… cupu begini, ternyata kau lebih jantan daripada aku ya.”
“Maksudmu?” mataku picing sebelah.
“Ya itu, cupu di hadapan manusia, tapi keberanianmu menantang Tuhan lebih dari sekedar berani. Salut padamu, aku beri jempolku empat-empatnya. Mau?” Rambut gondrong kriwilnya melayang-layang diterpa angin kendaraan yang lalu lalang.
“Tidak mau.” Jawabku ketus.
“Lho kenapa?” matanya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku.
“Dengar ya bung, jempolmu bau. Jadi dikasih gratis pun aku tidak akan mau.” Kami berdua tertawa. Aduh, lagi aku membayangkan dia adalah pacarku.
Ia mengajakku untuk terus menikmati perjalanan. Tidak terasa kami sudah tiba di jalan tambak. Sedikit lagi kami akan sampai. Duh, ketika sadar dari hipnotis ketidaksadaran darinya, kakiku mulai nyeri lagi, napasku agak tersengal menahan sesak. Meskipun bukan golongan orang kaya, aku tidak pernah mau bepergian dengan jalan kaki. Maksudku, itu jelas akan menghabiskan banyak waktu. Apalagi untuk ukuran Jakarta yang terlanjur banyak polusi, debu, asap knalpot. Bagiku jelas akan banyak kerugian yang akan didapat. Jakarta bukan ide yang baik untuk berjalan kaki. Aku lebih suka naik TransJakarta ketimbang kendaraan umum lainnya. Tidak tahu. Aku merasa nyaman saja walaupun di beberapa waktu harus berdesakan dengan pelanggan lainnya. Aku bukan pencinta bus. Mungkin salah satu alasanku menyukai bus Jakarta lebih karena aku terlalu terobsesi hidup dengan suasana seperti di Eropa. Ya, ketika di dalam TransJakarta, aku mendapati diriku seperti di benua biru itu. Aku suka suara decit bus, aku suka berdesak-desakan, aku suka bau AC nya, aku suka melihat petugas yang membawa plang setiap berada di pemberhentian, aku suka menempelkan kartu bus di pintu masuk dan keluar.
“Kenapa?”
“Napasku sengal, Bung. Seharusnya kau tidak usah berhenti dengan dongengmu itu sampai ke tujuan, supaya aku tidak terasa lelah. Kalau begini kan repot. Kau tahu sendiri aku gampang capek.”
“Payah!” Jawabnya singkat.
Dari kejauhan sudah terdengar suara musik. Itu jazz. Sebentar, Mahbub suka jazz? Atau dia yang sedang memainkan musik? Aku menduga seorang Mahbub adalah musisi berkelas yang tak dikenal di negara sendiri. Biasanya kan begitu. Terkenal di negeri orang, dicaci di negeri sendiri. sementara musik yang sama sekali tidak bermutu malah jadi tren di kalangan masyarakat. Tapi yang namanya musik dadakan tidak akan bertahan lama tenar di belantika musik tanah air.
“Tidak usah berpikir siapa yang memainkan musik jazz itu.” Dia seolah-olah mendengar suara hatiku.
Sesampainya di Taman Amir Hamzah, kami masih harus berjalan lagi ke arah masjid Jami’ Matraman. Lokasi kampus yang menjadi tempat kegiatan berada di sisi kiri masjid. Nah ya, itu dia ada plang yang tertulis nama kampus. Sesekali terdengar suara riuh penonton. Mungkin Mahbub sedang menunjukkan aksi kerennya. Aku jadi tambah penasaran dengan Mahbub. Selepas acara aku harus foto bersama dengan Mahbub, pikirku.
Mataku terpaku dengan bendera-bendera di pagar kampus itu. Warnanya kuning, ada gambar perisai warna biru di tengahnya, dan tulisan yang tidak bisa ku baca karena posisinya lunglai tak ada angin supaya aku jelas melihatnya. Ini acara partai atau acara musik? Atau mungkin itu lambing persatuan jazz ala Mahbub. Banyak mahasiswa yang mengenakan jas warna biru, itu apalagi? Jas almamater atau jas persatuan jazz Mahbub? Ahhhhh, semua tentang Mahbub.
Di lokasi acara, banyak orang yang datang menghampiri kami. Nyaris mereka berebutan untuk bersalaman dengan orang ‘gila’ di sampingku ini. mereka tersenyum dan menyalamiku juga, tapi tak setakzim seperti apa yang mereka lakukan pada yang di sampingku. Aku agak sedikit menjauh supaya mereka lebih leluasa lagi melepas kangen dengan dia. Aku kikuk melihat seseorang di depanku, ia tersenyum manis dan mengulurkan tangan. Aku menyambutnya gemetar.
“Mahbubian dari mana bang?” tanyanya.
“Oh, eh, anu… apa ya. Aku Cuma ikutan Bung Nanda.” Jawabku gelagapan. Sial, siapa perempuan ini.
“Bang Nanda Taruna maksudnya?”
Aku mengangguk, “Aku kepengen ketemu Mahbub. Nanti bisa kau antarkan?” badanku agak sedikit membungkuk, agar perkataanku hanya didengar oleh perempuan itu.
Mendengar bisikanku, ia malah tertawa lepas sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
“Lho ada apa?” aku kebingungan melihat respon darinya.
“Abang seriusan mau ketemu Mahbub?” masih dia terkekeh. Aku mencoba menyelidik maksud dari tawanya.
“Kalau bukan karena Mahbub kalian itu, mana mungkin aku mau diajak sama Bung Nanda jalan kaki dari Pasar Rumput ke sini.”
“Ha-ha-ha itu sudah menjadi kebiasaan bang Nanda. Jadi tidak aneh lagi.”
Aku tersipu. Rasanya ingin sekali menenggelamkan wajahku di tempatku berpijak sekarang. Aku melepas kacamataku sejenak karena mataku kemasukan keringat. Agak sedikit perih, mataku sepertinya memerah.
“Hei hei hei, senang sekali kau rupanya bercengkrama dengan gadis di sini.” Yang mendengar celetukan Bung Nanda tertawa. Ia merangkul bahuku, mengajak duduk bersila bersama dengan teman-temannya.
“Mana Mahbub?”
Bung Nanda agak sedikit tersendat. Kemudian menatapku pelan.
4.
Aku tidak berani lagi menoleh ke belakang. Menangis sambil tersenyum. Padahal aku sudah siap memberikan kejutan untuknya. Kejutan yang kuyakini tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Aku pikir, sekarang ia yang malah cupu. Menggantikan posisiku.
Bung, bung. Sekarang aku sudah tahu Mahbub. Aku sudah berkenalan dengannya. Orang yang pertama kali ku sangka Mahbub ternyata puteranya. Mahbub hanya kenangan, sama seperti dirimu. Sedari awal ikut acara jazz kala itu, keinginan pertamaku adalah berfoto dengan Mahbub. Tapi tak apa, aku sudah menemukan Mahbub dalam dirimu. Sudah banyak foto kita bersama bukan?
Kebahagiaan ternyata bukan milik kita lagi. Tapi milikmu. Aku akan memulai babak baru seperti dirimu dulu. Dasar orang gila! Aku akan menjadi orang gila sepertimu juga.
aku akan berlagak seperti orang yang sangat idealis. Sebagaimana ada pepatah yang mengatakan idealis adalah harta terhebat yang dimiliki oleh seorang mahasiswa sepertiku.
Aku kurang yakin sebenarnya. Kenapa selama ini aku menentang menjadi orang seperti dirimu? Karena aku sudah cukup kenyang dan kepalang naik darah melihat mereka yang dulu menjunjung tinggi keidealisannya. Sekarang mereka malah berbuat sebaliknya. Apa aku harus berpikir keras lagi bahwa idealis hanya dimiliki ketika seseorang duduk di bangku kuliah dan menyemat gelar mahasiswa? Habis wisuda dihalalkan untuk pragmatis dan realistis?
Idealis memang mahal, Bung. Kau mampu membawaku ke arah itu. Tapi aku juga tidak yakin, apakah hal tersebut mampu kupertahankan hingga aku melepas masa seorang mahasiswa. Aku ingin sepertimu dan Mahbub bung. Aku juga ingin tertawa bersama kalian melihat kekonyolan negeri kita ini.
5.
“Bangsat, tengik, keparat, tidak tahu diuntung!!! Mereka bawa ke mana dia?! Aku tidak akan memaafkan manusia-manusia kampret itu sampai dia ada dihadapanku sekarang!!!”
aku hanya menunduk. Seftian menepuk pundak Laksono sembari berusaha menenangkannya. Laksono menepis tangan Seftian. Ia berusaha menutup kekalutannya dengan mengusap wajahnya dengan kasar. Airmatanya tidak dapat dibendung. Ia duduk di sofa masih menahan tangis. Kamipun merasakan hal yang sama. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali diam di tengah malam kelam itu.
“Coba kalian perhatikan, bajunya sama sekali tidak ada sobekan. Hanya darah yang menempel. Itu artinya apa?!! Dia tidak mungkin diserang petugas hanya karena mendorong pagar pak Menteri hingga rusak. Setidaknya hal itu bisa diselesaikan dengan cara yang baik-baik toh!!!” kemarahan Laksono kian memuncak. Ia memantuk-mantukkan kepala di dinding.
“Kecuali jika memang mereka adalah kabinet anti kritik.” Seftian menimpali.
“Menurutku bukan masalah anti kritik atau tidaknya, Sef. Jika kita bicara pemimpin egaliter, sampai kapanpun tidak akan pernah ada. Aku rasa aku atau kita akan bungkam dengan sendirinya jika yang di atas sana adalah senior atau setidaknya pimpinan kita, bukan begitu? Karena dengan begitu kita akan terkena cipratan segepok fulus. Kebetulan yang sekarang tidak satu arah dengan kita. Makanya tanpa pikir panjang berani melawan.”
“Maksudmu apa, Ngga?!!” tak bisa dielak, tangan Laksono melayang ke arah mukaku. Kesetanan dia menyerangku. Untuk membela diri agar tinjunya tak mengenai mukaku lagi, aku balik membalas. Badanku memang kerempeng jika dibanding Laksono yang gempal. Tapi aku masih bisa membalas. Seftian, Cecep, dan Ilham berupaya menarik Laksono yang sudah menekan keras badanku di lantai. Tulang rusukku serasa remuk dibuatnya.
Payah!!! Malam itu memang malam yang tidak pernah aku harapkan. Pertama karena di siang harinya kami kehilangan Bung Nanda. Iya Bung Nanda yang dielu-elukan simpatisannya di dunia aktivis. Ada yang bilang ia dibawa oleh aparat dan sudah dibawa ke tempat yang aman. Ada juga yang bilang bung satu itu dilarikan di rutan Salemba. Atas dugaan merusak pagar rumah Menteri dan menyulut para mahasiswa melakukan kerusuhan di beberapa titik.
Berapa kali aku dan teman-teman bolak balik rutan Salemba dan lokasi terakhir Bung Nanda berada, di sekitaran rumah Pak Menteri. Ajaib memang. Tidak ada yang tahu keberadaannya. Waktu itu memang aku sempat putus asa dan menangis sejadi-jadinya. Bajuku bau keringat, wajahku sudah tidak karuan karena asap, bekas arang, debu. Aku orang pertama yang akan merasa kehilangan orang gila itu. Tanganku masih memegang pentungan. Mana tahu aku lihat orang yang membawa Bung Nanda. Kalau lihat, aku akan menghabisinya sampai mati. Tapi bung satu itu tidak kunjung kelihatan. Sampai ‘Isya kerusuhan massal masih terjadi. Aku sudah tidak peduli lagi apa maksud tujuan kami demonstrasi. Aku sibuk ke sana kemari mencari Bung Nanda, berlari seperti orang gila sambil berteriak memanggil namanya.
Tanganku ditarik oleh seseorang dari belakang. Aku takut jika orang itu akan menculikku sama seperti Bung Nanda. Makin kencang aku berteriak hingga suaraku terdengar parau. Ternyata Ilham. Ia mencoba menenangkanku. Kami berjalan dari sekitaran monas menuju kampus mereka dengan mengendarai mobil. Di mobil sudah ada Seftian, Cecep, dan Laksono.
Sebelum menarikku, lebih dahulu mereka mengincar Laksono yang sudah seperti orang gila. Kata Cecep, Laksono terkena gas air mata. Sebagian badannya terasa perih. Pun matanya ia mengedip memicing. Ah Laksono. Dia kawan yang baik.
Tapi malam itu kami malah bertengkar. Muka dan sekujur tubuhku memar karenanya. Tapi tak apalah. Tidak baik memang aku berpendapat seperti itu di saat keadaan sedang genting. Aku rindu Bung Nanda. Itu saja. Ke mana aku harus mencari orang gila itu agar aku tetap bertahan dan menjadi teman yang baik untuk teman-temannya.
Besok dan seterusnya aku akan terus mencarinya. Jika kudapati dirinya, aku akan beritahu bahwa seorang Rangga Aditya Tan sudah resmi menjadi bagian dari pergerakan mereka. Sampai ketemu, bung. Aku sangat merindukanmu. Aku sudah siap menjadi orang gila sepertimu. Sampai bertemu lagi. Sekali lagi. Aku merindukanmu.
Jakarta, 11 Oct’ 2017
Penulis adalah student major of Psychology Nahdlatul Ulama Indonesia University