Oleh Yazid Muttaqin
Pelataran itu bukan saja terlalu indah, tapi juga begitu luas. Meski ribuan bahkan mungkin jutaan orang menyemut untuk memasuki arena pertemuan yang sesungguhnya, namun masih saja pelataran itu terlihat senggang. Seperti tak seberapa banyak orang yang berkumpul di sana.
Air muka mereka yang ada di sana sama saja; segar dan bersinar, teduh namun penuh wibawa. Kegembiraan dan keceriaan jelas sangat menghiasi wajah mereka yang terpancar dari ketenangan dan kerelaan hati. Sambil menunggu giliran memasuki arena pertemuan mereka saling menyapa satu sama lain. Bercengkerama penuh keakraban. Tak hentinya senyum mereka mengembang, menghias wajah yang makin sedap dipandang.
Sementara di pintu gerbang sana beberapa petugas dengan penuh keramahan menyambut mempersilakan masuk para tamu. Setiap kali yang dipersilakan masuk melangkahkan kaki hatinya serasa makin tenang dan senang. Kekaguman mereka makin menjadi manakala melihat setiap detil ornamen berbagai bangunan megah mewah menawan bertabur permata berlian di tengah luasnya taman nan indah. Pepohonan yang berjejer di kanan kiri jalanan kekar tinggi menjuntai, namun setiap ujungnya merunduk berkaitan memayungi siapapun yang melewati naungannya. Di pinggiran sana kebun bunga merimbun rendah, menebarkan wewangi yang merasukkan kedamaian. Disempurnakan kicauan lembut burung-burung di pepohonan dan gemericik air sungai kecil yang berkelok di bawah rerimbunan.
Semakin banyak para tamu yang meninggalkan pelataran memasuki taman. Di pelataran sana makin sedikit kerumuman yang berantri penuh kesabaran. Namun di sudut sana seorang tamu laki-laki yang menyendiri terlihat seperti kebingungan. Sesekali ia menoleh ke arah kerumunan, mengelilingkan pandangan, lalu melihat jauh ke luar pelataran sambil melongok, seperti ada yang dicari. Sesekali ia bangkit dari duduknya, berjalan bolak-balik sambil menghamburkan pandangannya.
Pelataran itu makin sepi. Tinggal laki-laki yang menyendiri itu dan beberapa puluh orang yang siap melewati gerbang. Kian sepi. Laki-laki itu masih saja pada perilakunya. Hingga seorang petugas penerima tamu menaruh perhatian dan menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “hampir semua orang memasuki arena pertemuan. Apa tidak sebaiknya Tuan mengikuti mereka?”
Laki-laki itu tergagap. Sejenak ia menatap orang yang dihadapannya; berparas rupawan, bersih, sangat ramah.
“Oh, iya.” Laki-laki itu gugup. “Tapi saya minta waktu sebentar untuk tetap di sini.”
Penerima tamu itu tersenyum.
“Kalau boleh tahu, apa Tuan sedang mencari atau menunggu seseorang?”
“Ya. Saya mencari keluarga saya.”
“Tuan datang ke sini sendirian?” tanya si penerima tamu lagi, penuh keramahan.
“Ya. Dan saya berharap keluarga saya akan segera menyusul.”
Si penerima tamu tersenyum.
“Boleh saya tahu siapa nama Tuan?”
“Badrun. Nama saya Badrun.”
“Badrun?”
Penerima tamu itu bergumam mengulang nama laki-laki itu. Lalu dibukanya buku catatan yang ia pegang. Beberapa kali ia membolak-balik halaman demi halaman, mencari nama laki-laki itu pada deretan nama dalam buku tebal itu. Sementara laki-laki bernama Badrun itu hanya menunggu sambil sesekali melihat ke beberapa arah, sedikit resah.
Sejenak kemudian si penerima tamu berhenti pada sebuah halaman buku. Jari telunjuknya menuding pada sebuah baris kata yang ada di tengah halaman. Bibirnya mengulas senyum kecil.
“Maaf, Tuan. Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan?”
“Iya, silakan.”
“Apa Tuan hidup dari negeri yang tadinya subur makmur, dihormati oleh banyak bangsa di dunia, menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yang dikenal dengan slogan gemah ripah loh jenawi, namun kini banyak masyarakatnya yang meninggalkan para ulama dan agamanya, disepelekan dan diremehkan oleh negara tetangga, diperalat bangsa adikuasa dan sekutunya, pejabatnya tak memegang amanah, ekonominya hancur yang membuat rakyat sengsara?”
“Ya,” laki-laki bernama Badrun itu menjawab cepat.
Kembali si penerima tamu tersenyum kecil.
“Tuan, dalam keadaan masyarakat yang demikian dan kehidupan yang menyulitkan, apakah Tuan orang yang tetap bertahan memegang janji Tuan kepada Tuhan, dengan menjalankan setiap perintah dan menjauhi larangan-Nya?”
“Ya. Setidaknya aku selalu berusaha untuk demikian.”
“Apa Tuan orang yang selalu memaafkan kesalahan orang lain, bahkan mendahului menyambung tali silaturahmi pada orang yang bahkan sedemikian rupa menyalahi dan menyakiti Tuan sekalipun?”
“Betul.”
“Apa Tuan orang yang seringkali kekurangan dalam mencukupi kebutuhan hidup, namun Tuan tak mau melakukan tindakan curang karena takut kepada Tuhan dan siksa-Nya meski kesempatan untuk itu terbuka lebar? Tuan hanya mau dan tetap bersabar menahan diri demi mendapat keridloan-Nya?”
“Ya.”
Kembali si penerima tamu tersenyum kecil. Kali ini kepalanya terlihat mengangguk pelan.
“Tuan, apa Tuan orang yang selalu menjaga shalat lima waktu kapanpun dan di manapun Tuan berada, dalam kondisi bagaimanapun?”
“Benar.”
“Tuan, benarkah Tuan suka membagi penghasilan Tuan dengan para tetangga yang membutuhkan, dengan anak-anak yatim, para janda miskin, orang-orang fakir dan miskin semampu Tuan?”
“Ya.”
“Yang terakhir, Tuan. Benarkah bila Tuan melakukan suatu kesalahan Tuan langsung menyesalinya, bertaubat dan segera melakukan kebaikan untuk menghapus kesalahan itu?”
“Ya. Itu semua aku lakukan, karena agamaku mengajarkan demikian.”
Si penerima tamu itu kembali tersenyum. Kini sedikit tertawa. Roman mukanya berseri-seri mengumbar kegembiraan. Lalu tangan kanannya dijulurkan menyalami laki-laki itu.
“Selamat Tuan! Sebentar lagi keluarga Tuan akan segera tiba di sini.”
“Apa maksud, Saudara?” laki-laki itu tak mengerti.
“Tuan lihat di seberang sana? Rombongan yang sedang menuju kemari?”
“Ya.”
“Itu adalah keluarga Tuan yang sedari tadi Tuan cari dan tunggu serta harapkan kedatangannya. Mereka akan datang kemari untuk menemani tuan memasuki taman yang indah nan megah ini, menikmati segala yang ada, menyempurnakan kenikmatan yang mesti Tuan terima. Mereka adalah keluarga Tuan yang semestinya tak mendapatkan kemuliaan ini. Namun derajat mereka terangkat oleh tingginya derajat Tuan di sisi Tuhan. Apa-apa yang Tuan lakukan selama di dunia, yang saya tanyakan sebelumnya, adalah perilaku yang membuat pelakunya dapat berkumpul kembali dengan orang tuanya, istrinya, dan anak keturunannya meski mereka bukan orang yang ahli melakukan amalan-amalan itu.”
Kini terlihat roman muka laki-laki itu berseri-seri. Rombongan yang dilihatnya makin mendekat. Makin nyata siapa saja anggota keluarganya yang akan menemaninya menikmati kenikmatan sempurna nan abadi dari Tuhannya. Meski ada satu yang mesti ditanyakan pada si penerima tamu.
“Maaf, Saudara. Tidakkah kiranya masih ada satu keluargaku yang belum bergabung?”
Si penerima tamu tersenyum lembut.
“Maaf, Tuan. Untuk yang satu itu tidak bisa ikut.”
“Kenapa?” Laki-laki itu menyela.
“Ada satu syarat pokok yang tak dipenuhi olehnya. Tuan masih ingat waktu hidup di dunia? Seringkali Tuan mengadakan reuni dengan teman-teman lama. Dan ada satu alasan yang menjadikan Tuan dan teman-teman kembali berkumpul; adanya kesamaan. Bisa kesamaan almamater sekolah, kesamaan perusahaan, kesamaan angkatan dalam pekerjaan, atau kesamaan lainnya. Kini saat orang-orang memetik hasil kesalehannya, ia akan dikumpulkan kembali dengan keluarganya dengan syarat mereka memiliki kesamaan iman terhadap Tuhannya. Dan, satu orang keluarga Tuan itu tak memiliki syarat pokok itu. Kini masukilah taman yang indah itu bersama keluarga. Nikmati setiap kenikmatan yang ada, sebagai ganjaran atas kesabaran Tuan menjaga amanat Tuhan.”
Laki-laki lajang bernama Badrun itu begitu gembira menerima penghargaan itu. Kegembiraannya begitu membuncah hingga membangunkannya dari tidur malamnya. Hingga matanya terbuka ia rasakan kedua bibirnya masih mengulas senyum. Di lihatnya jam dinding kamar, satu jam lagi subuh. Ia tak segera bangkit melakukan amalan malamnya. Ia masih ingin menikmati gambaran mimpinya yang begitu nyata.
Subhanallah. Ia bergumam. Matanya sedikit terpicing. Ia mencoba mengingat. Adakah dari orang-orang tuaku yang melakukan perilaku-perilaku yang disebutkan dalam mimpi itu? Yang mampu menaikkan derajatku hingga karenanya aku nikmtai surga Tuhanku? Ia ingat orang tuanya, kakeknya, dan terus ke atas. Ah, tak satupun nenek moyangku yang terlihat berperilaku seperti itu. Ibadah mereka biasa saja, layaknya umumnya orang-orang. Istri dan anakku? Aku masih lajang. Bisa jadi mereka tak dapat diharapkan.
Bagaimana dengan diriku sendiri? Badrun tersenyum. Kepalanya mengangguk-angguk kecil. Ya, diriku sendiri. Diriku sendiri yang harus memulai membangun kesalehan itu. Agar kelak terangkat derajat orang tuaku, istri dan anak-anak keturunanku. Agar kelak setelah lama terpisahkan oleh kematian, aku bisa kembali berkumpul dengan mereka. Dalam perkumpulan yang penuh kegembiraan, keceriaan, penuh kenikmatan dan keberkahan; reuni!
Tegal, 17 Februari 2012
Penulis adalah santri alumni Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo, kini tinggal di Kota Tegal dan bekerja di Kemenag Kota Tegal