Cerpen

Vila di Pasir Peso

Ahad, 20 Agustus 2017 | 02:00 WIB

Vila di Pasir Peso

ilustrasi: sanggarlukiskumeli.blogspot.co.id

Oleh Abdullah Alawi

“Ah, rupanya desaku belum banyak berubah. Masih saja seperti dulu. Anak-anaknya harus berjalan kaki tujuh kilo meter untuk sekolah. Padahal negeri ini sudah 63 tahun merdeka dan seratus tahun bangkit,” bisikku dalam hati ketika melihat anak-anak berseragam putih-biru di depanku. Mereka menjinjing sepatunya supaya terhindar dari beceknya jalanan. 

Aku teringat beberapa tahun silam ketika aku seperti mereka, sering menjinjing sepatu ketika jalan becek. Barulah sepatu dipakai ketika hampir sampai di sekolah. Duduk di bangku sudah lelah. Seragamku bau keringat karena tak pernah memakai parfum. Tapi nilaiku tak kalah dengan teman-teman yang hanya berjalan beberapa meter ke sekolah. Mungkin jalan kaki membuatku semangat.  

Aku terpaksa berjalan kaki melewati jalan setapak yang sering digunakan oleh penyadap karet dan anak-anak yang berangkat sekolah. Jalan pintas ini biasa digunakan menuju Pasir Peso. Sebenarnya tubuhku letih setelah perjalanan jauh. Tapi karena di pangkalan ojek masih sepi, aku terpaksa jalan kaki. Setelah diguyur hujan semalaman, tukang ojek biasanya mangkal setelah jalanan mulai kering. Aku malas menunggu siang karena rinduku menuju lemah cai sudah tak tertahan lagi.

Setelah keluargaku menjadi transmigran ke pulau Sumatera selama lima tahun, selama itulah aku memendam kerinduan tanah kelahiran. Rindu kepada sungainya, terasering sawahnya, humanya, lampingnya, alamnya, dan orang-orangnya. Semuanya! Tapi selalu saja ada aral melintang, misalnya masalah ongkos atau izin dari orang tuaku. Dan, baru kali ini kerinduanku terlaksana.

Pagi sudah mulai terang meski matahari malas keluar. Burung-burung masih bersembunyi di sarang. Embun masih bertahta di dedaunan.

Aku terus berjalan meski tubuhku semakin letih. Keringat membasahai sekujur tubuh. Anak-anak sekolah semakin jarang kutemui. Tetapi ketika di sebuah tikungan aku berpapasan dengan anak yang mengingatku pada seseorang. Aku tak bisa menahan untuk tidak menyapanya.

“Neng..., kamu...kamu adiknya teh Imas, ya?”

“Mmm...i...iya. Akang siapa? Kok kenal teh Iim?” kata anak itu sambil menatapku keheranan. 

Aku tersenyum. 

“Aku temannya teh Iim. Aku juga orang Pasir Peso. Tapi sudah lima tahun pindah. Bagaimana kabarnya dia? Dimana sekarang?”

Anak itu tidak menjawab. Dia malah melihat jam tangan yang menempel di tangan kirinya. 

“Oh ya, takut kesiangan ya? Nanti barangkali saya main ke rumahmu. Silakan lanjutkan...”

Anak itu melanjutkan perjalanannya dengan tergesa-gesa.

Aku menatap kepergian anak itu. Perawakannya, wajahnya, mirip sekali dengan kakaknya, Imas. Dia adalah teman sekelasku. Aku masih terkenang saat-saat bersamanya. Berangkat sekolah bersama dan pulang pun bersama. Jika hujan turun, biasanya berteduh di bedeng penyadap karet. Betapa indahnya kurasakan menikmati saat-saat bersamanya. Sebenarnya rinduku ke lemah cai adalah rindu kepada Imas...

Perkebunan karet terlewati. Sekarang di hadapanku terlihat bebukitan Pasir Peso. Kadang kakiku terpeleset karena asyik melihat pemandangan di depanku. 

Aku memasuki jalan desa yang rusak berat dan tak terurus. Sisa air hujan menggenang di lubang-lubang sepanjang jalanan. Tiba-tiba mobil hard top melaju kencang di jalanan becek itu. Air sisa hujan semalam muncrat ke bajuku. 

“Sialan!” makiku dalam hati sambil melihat mobil itu terus melaju yang oleng ke kiri dan kanan karena menginjak jalan berlubang. 

“Siapa pemilik mobil itu? Dia pasti bukan orang Pasir Peso,” bisikku lagi dalam hati. 

***

“Ki Martayuda adalah satu-satunya orang Pasir Peso yang berani melawan Balanda,” kata abah Atma ketika bercerita tentang pahlawan Pasir Peso sehabis maghrib. Aku mendengarkan dengan khusuk. 

“Padahal dia melawan hanya seorang diri,” katanya melanjutkan. 

“Orang Pasir Peso tidak ada yang membantu?” tanyaku.

“Penyerangan itu tidak direncanakan karena dia benar-benar marah...”

“Apa penyebab kemarahannya?”

“Isterinya diambil opsir-opsir Belanda yang biasa mengambil cengkeh dari petani Pasir Peso,” abah Atma menghentikan kisahnya sebentar karena mulutnya diisi singkong goreng.

“Isteri ki Martayuda adalah permata Pasir Peso yang terkenal kecantikannya. Opsir-opsir itu kepincut kemudian membawanya lari...”

“Terus bagaimana?” 

“Setelah tahu isterinya diculik, ki Martayuda marah besar. Kemudian tanpa dibantu siapa pun, dia mencegat opsir di punclut  Pasir Peso. Dua opsir Belanda mati di tangannya dengan sebuah pisau belati. Tapi isterinya gagal direbut kembali karena opsir yang lain telah membawanya pergi. Sejak itulah punclut disebut Pasir Peso. Begitulah sejarah kampung Pasir Peso, Jalu,” kata abah Atma mengakhiri cerita tentang lemah caiku. Dia bercerita dengan semangat 45. 

Begitulah abah Atma menjadi menjadi sejarahwan Pasir Peso, meski sejarah itu tidak pernah dicatat, tapi cerita itu selalu hidup, turun-temurun, menjadi dongeng sebelum tidur anak-anak Pasir Peso. 

“Ngomong-ngomong, sekarang disimpan dimana pisau ki Martayuda itu?”

“Ada di tangan abah. Suatu waktu kamu bisa melihatnya karena kamu masih keturunannya.”

Aku mengangguk-angguk.

“Tapi sayang, Pasir Peso sekarang hampir sirna ing bhumi. Jati ka silih ku junti,” kata abah Atma dengan nada menyesal.

“Kenapa?”tanyaku.

“Sekarang Pasir Peso berubah jadi kampung Vila atau vila saja.” 

“Bagaimana ceritanya bisa seperti itu, Bah?” tanyaku sambil mengerenyitkan dahi.

“Itu gara-gara vila di punclut Pasir Peso. Mulanya orang desa tetangga yang menyebut kampung vila. Kemudian orang Pasir Peso menjadi terbiasa karena nama vila terasa lebih ngota daripada Pasir Peso yang terdengar kampungan...”

“Siapa pemilik vila itu?”

“Orang kota. Orang Pasir Peso mana ada yang mampu membikin vila seperti itu. Luar biasa! Konon di dalamnya ada kolam renang segala. Pemiliknya seminggu sekali ke vila itu, atau sebulan sekali. Di situ tinggal isteri mudanya yang keempat...”

Aku mengangguk-angguk lagi.

“Oh ya, Jalu, Abah sudah ngantuk. Kalau mau tidur, di kamar depan saja....” kata abah Atma sambil ngeloyor ke kamarnya. Dari  dalam sudah terdengar dengkur Ambu Atma yang kecapaian. Sebenarnya aku ingin bertanya siapa yang isteri pemilik vila itu. Tapi aku mengurungkannya.

Malam semakin larut. Suara jangkrik dan binatang malam terdengar bersahutan ditimpali suara katak di sawah. 

Aku merebahkan diri di kamar. Tapi belum bisa tidur. Pikiranku meracau-racau. Obrolan dengan abah Atma masih terngiang-ngiang ketika bercerita tentang pahlawan Pasir Peso. Aku baru tahu bahwa ki Martayuda membunuh opsir karena isterinya. Barangkali dia tidak akan menjadi pahlawan kalau isterinya tidak direbut opsir itu. Tapi dia sudah terlanjur jadi mitos. Makamnya sering diziarahi. Kesaktiannya begitu terkenal. Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia tak mempan senjata api.  

Tiba-tiba aku ingat Imas, permata Pasir Peso. Aku berharap Imas masih seperti yang dulu, masih mencintaiku. Sampai tiga hari di Pasir Peso, aku belum sempat pergi ke rumahnya karena sibuk menemui saudara-saudaraku termasuk abah Atma, pamanku. 

Di ujung lamunanku, aku berharap mimpi ketemu Imas... 

*** 

Aku kaget bukan main setelah tahu bahwa Imas sudah menikah. Aku langsung membuktikan hal itu ke rumah orang tuanya. Betapa terbakarnya hatiku ketika tahu suaminya adalah pemilik vila itu. Yang paling membuatku kecewa, dia terpaksa menikah untuk melunasi utang orang tuanya kepada suami Imas sekarang. 

Kenapa orang luar Pasir Peso yang mendapatkannya? Aku menggugat dalam hati. Bagiku pemilik vila itu tak ada bedanya dengan opsir Belanda yang mengambil isteri ki Martayuda. Vila dan suami Imas sudah melanggar kedaulatan Pasir Peso, Gara-gara vila itu, Pasir Peso sirna ing bhumi. Gara-gara vila itu pula Imas hilang. Begitulah kesimpulanku. 

Darahku adalah darah ki Martayuda. Pejuang Pasir Peso. Aku masih merasa orang Pasir peso dan wajib merebut Imas dan mengmbalikan nama Pasir Peso. Karena nama Pasir Peso adalah sejarah orang Pasir Peso sendiri. Kalau Imas mau, akan aku ajak kabur. Tapi kalau tidak mau, setidaknya aku akan membuat perhitungan dengan suaminya dan vila itu. Peduli amat siapa pun suaminya. Aku sudah memperhitungkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi.

Malam sudah berlalu separuhnya. Aku berdiri di gerbang vila itu. Pagar yang tinggi dan kokoh memperlihatkan keangkuhannya. Dadaku terbakar ketika membaca tulisan, “pribumi dan anjing dilarang masuk”. Aku meraba belati milik ki Martaydua yang terselip balik bajuku.

Tiba-tiba aku ragu akan keberanianku sendiri. Dapatkah aku melakukannya? Apakah Imas masih mencintaiku? Ki Martayuda disebut pahlawan, sedang aku? Barangkali seperti inilah perasaan ki Martayuda ketika akan membunuh opsir Belanda dan merebut isterinya. Ada rasa takut, rapuh karena dia juga manusia? Aku berusaha menekan perasaan itu jauh-jauh.  

Aku mencopot tulisan itu, menginjak-injaknya. Kemudian mulai memanjat pagar vila itu...


Ciputat, 5 Agustus 2008



Terkait