Jember, NU Online
Ketua PCNU Jember, KH Abdullah Syamsul Arifin menegaskan bahwa sebutan untuk nomenklatur yang menjadi khasanah pesantren semakin lama semakin mudah disematkan. Misalnya, kata-kata santri, saat ini terasa begitu mudahnya sebutan tersebut dilekatkan kepada seseorang, yang boleh jadi dia tak ada bau-bau pesantren sedikitpun.
Padahal untuk disebut santri, harus punya sejarah kesantrian, misalnya dia keluarga pesantren, pernah di pesantren atau mengeyam pendidikan seperti di pesantren.
“Untuk dikatakan santri itu ada sejarahnya. Tidak setiap orang yang karena berpenampilan seperti santri, misalnya, lantas disebut santri. Santri ada historinya,” tekasnya kepada NU Online di sela-sela Upacara Peringatan Hari Santri 2018 di lapangan Kampus II Universitas Islam Jember (UIJ), Jalan Tidar, Sumbersari, Jember, Jawa Timur, Senin (22/10).
Begitu juga dengan sebutan Gus. Istilah yang satu ini semakin lama semakin mudah disematkan pada sosok tertentu. Padahal, dulu panggilan Gus hanya diberikan kepada anak kiai. Gelar Gus biasanya tak berdiri sendiri namun terkait dengan nasab (keturunan) keluarganya. Paling tidak, kalau nasabnya tidak nyambung, dia santri, atau dari kalangan pesantren, atau pernah menjadi ustadz.
“Sekarang gelar Gus dan santri begitu mudah disematkan. Hemat saya, ini ada upaya desakralisasi santri dan Gus. Lho kalau semua orang bisa disebut Gus dan santri, kan nanti tidak ada bedanya antara Gus dan santri yang asli, sehingga Gus tidak sakral lagi” urainya (Red: Aryudi AR)