Daerah

Adee Ie Leubeue Kembang Tanjung: Manisnya Tradisi yang Mengikat Rindu Perantau di Bulan Ramadhan

Ahad, 16 Maret 2025 | 16:00 WIB

Adee Ie Leubeue Kembang Tanjung: Manisnya Tradisi yang Mengikat Rindu Perantau di Bulan Ramadhan

Kue Adee Ie Leubeue Kembang Tanjung, Aceh (Foto: Helmi Abu Bakar)

Pidie, NU Online
Menjelang senja di dataran yang telah melahirkan banyak ulama, tokoh lintas elemen serta cendekiawan tepatnya wilayah kawasan Ie Leubeu Kembang Tanjung, negeri Teungku Chik Ditiro (Kabupaten Pidie) Provinsi Aceh, aroma manis yang khas menyeruak dari dapur-dapur warga. Itu tanda bahwa Adee Ie Leubeue sedang dipanggang, mengisi udara dengan keharuman yang menggoda selera. 

 

Kembang Tanjung bukan saja pernah menjadi kiblat ilmu yang pernah disinggahi ulama besar Aceh untuk menuntut ilmu, namun juga surganya kuliner dengan beragam makanan khas. Di tengah hiruk-pikuk persiapan berbuka, para pembuat kue ini tekun mengaduk adonan tepung beras putih, telur, dan gula pasir. Setiap adukan bukan sekadar proses, melainkan warisan budaya yang terus hidup dari generasi ke generasi.

 

Di rumah produksi sederhana milik wanita kawasan Ie Leubeu-Kreung Dhoe, sosok perempuan paruh baya yang dikenal sebagai pembuat adee Ieleubeu, deretan loyang kue berukuran keci (kaneut tatoh ubeut) baru saja . Matanya berbinar, senyum lelah namun puas mengembang di wajahnya saat melihat hasil panggangannya menguning sempurna.


"Kalau baru matang begini, harumnya langsung bikin lapar. Biasanya kalau saya lagi buat, anak-anak suka nyolong duluan sebelum dikemas," ujarnya Siti Hawa sang ibu sambil tertawa kecil, menyeka peluh di dahi.

 

Setiap hari selama Ramadhan, ia bisa membuat hingga puluhan kap adee. Ketika mendekati lebaran, jumlah ini bisa melonjak hingga mencapai ratusan kap lebih per hari, terutama karena banyaknya permintaan dari para pemudik yang ingin membawa pulang oleh-oleh khas Aceh ini ke tanah rantau.


"Kalau hari biasa, paling cuma setengahnya. Tapi kalau Ramadhan dan Idul Fitri, pemesan bisa dari mana-mana. Ada yang dari Banda Aceh, Medan, bahkan Jakarta. Mereka pesan banyak, supaya bisa dibagi-bagi ke teman dan tetangga di rantau,” jelasnya.


Manisnya Rasa, Dalamnya Kenangan

Kue adee Ieleubeu Kembang Tanjung memiliki daya tarik tersendiri. Bentuknya yang pipih, dengan warna kuning cerah dan tekstur lembut, menyajikan rasa legit yang langsung mencuri hati sejak gigitan pertama. Ada dua varian penyajian: ada yang digulung, ada pula yang dijual tanpa gulungan, menyerupai kue talam. Yang membuatnya semakin istimewa, adee bisa tahan lama—dari sore hingga sahur—tanpa kehilangan rasa khasnya.


Tgk Sayuti Nur, tokoh Nahdhiyin asal Kembang Tanjung kepada NU Online, Sabtu(15/3/2025) , menyebut kue ini lebih dari sekadar penganan. Baginya, adee merupakan simbol keberkahan yang mengiringi setiap momen Ramadhan dan Lebaran.

 

“Kue adee ini bukan cuma makanan untuk mengisi perut, tapi ada makna kebersamaan dan doa di dalamnya. Setiap adonan yang diaduk, setiap loyang yang dipanggang, semuanya dibuat dengan cinta dan harapan agar membawa berkah bagi yang menikmatinya," ungkap Sayuti yang juga alumni UNISAI Samalanga.

 

Menurutnya, proses pembuatan kue ini adalah ritual yang mempererat hubungan antarwarga. Biasanya, ibu-ibu yang mengaduk adonan, sementara keluarga atau orang terdekat membantu menyusun gulungan kue, dan yang mengurus pembakaran menggunakan oven tradisional.


“Proses ini bikin masyarakat makin dekat. Sambil nunggu kue matang, kami saling cerita, saling bercanda. Jadi, adee ini juga jadi pengikat silaturahmi,” tambahnya.


Incaran Pemudik dan Perantau, Menghangatkan Jiwa serta Penyambung Silaturahmi

Saat Ramadhan tiba, warung-warung kecil di sepanjang jalan Kembang Tanjung dipenuhi pembeli yang berburu kue adee untuk dijadikan takjil atau persiapan sahur. Namun, yang paling mencolok adalah antusiasme para pemudik yang sengaja pulang ke kampung halaman hanya untuk membawa pulang kue khas ini ke tanah rantau.

 

Abdullah, perantau asal Pidie yang bekerja di Medan, rela antre berjam-jam demi mendapatkan kue adee untuk dibawa pulang ke Sumatra Utara. Ia bahkan memesan puluhan kap sekaligus untuk dibagikan kepada teman-temannya sesama perantau.

 

“Kalau pulang ke Aceh, wajib bawa adee. Ini kue nostalgia. Rasanya masih sama kayak dulu waktu kecil, dimakan sambil dengar cerita nenek di beranda rumah,” ucapnya sambil tersenyum haru.


Baginya, kue adee bukan sekadar makanan, melainkan penghubung emosional yang mengingatkannya pada suasana kampung halaman. “Kalau sudah makan adee, rasanya kayak pulang ke rumah, meskipun sebenarnya kita masih jauh dari Aceh,” tambahnya.


Kue Adee Ie Leubeue bukan hanya sekadar kuliner. Ia adalah cerita, adalah sejarah, adalah cinta yang diwariskan dari generasi ke generasi. Di setiap loyang yang keluar dari oven, ada jejak perjuangan para perempuan Kembang Tanjung yang menjaga tradisi ini tetap hidup.


Setiap kap adee yang dibawa ke tanah rantau menurut Tgk Sayuti yang akrab disapa Abon itu merupakan simbol rindu yang dibungkus dalam rasa manis dan tekstur lembut. Ia menjadi pengingat bahwa tak peduli sejauh apa kaki melangkah, selalu ada alasan untuk kembali. Dan bagi mereka yang tak bisa pulang, sepotong kue adee sudah cukup untuk mengobati rasa rindu akan kampung halaman dan kehangatan keluarga.


Fenomena itu menurutnya karena di setiap gigitan adee, tersimpan harapan agar tradisi ini terus lestari. Sebuah bukti nyata bahwa dalam setiap kemajuan zaman, nilai-nilai budaya dan kearifan lokal akan selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jiwa masyarakat Aceh


Kelezatan yang Mendunia dan Tradisi yang Terus Hidup

Kepopuleran kue adee tak hanya terbatas di Aceh. Banyak warga Aceh yang merantau ke luar daerah bahkan ke luar negeri, sering kali membawa adee sebagai cara mengenalkan budaya kuliner tanah kelahiran mereka. Azwar A. Gani, Ketua PW Ansor Aceh, mengungkapkan kekagumannya pada kelezatan adee yang menurutnya punya potensi besar untuk menjadi ikon kuliner Aceh di kancah nasional bahkan internasional.


“Kue adee ini bukti nyata bahwa tradisi kita tetap hidup meskipun zaman terus berubah. Ini adalah warisan yang harus dijaga. Kalau dikemas lebih modern dan dipasarkan secara digital, bukan mustahil kue ini bisa dikenal lebih luas,” ujar Azwar penuh antusias.


Pria yang akrab disapa Baginda itu juga menekankan bahwa keberhasilan kue adee bertahan hingga sekarang adalah berkat dedikasi warga Kembang Tanjung Pidie yang terus melestarikan resep turun-temurun, tanpa mengurangi sedikit pun keaslian cita rasanya.


Di tengah modernisasi dan derasnya arus kuliner kekinian, keberadaan kue adee membuktikan bahwa tradisi lokal tetap bisa bertahan asalkan ada kecintaan dan komitmen untuk menjaganya. Tgk Zahari, Sekretaris PCNU Pidie Jaya, mengaku selalu menyempatkan diri membeli adee setiap kali melewati kawasan Pidie.


“Bagi saya, kue adee ini merupakan pengingat akan akar budaya kita. Ada nilai-nilai lokal, ada sejarah, ada kebersamaan. Ini bukan sekadar makanan, ini simbol identitas kita sebagai masyarakat Aceh,” ujarnya.


Saat malam Ramadhan tiba, dan gema azan Isya berkumandang dari surau-surau desa, kelezatan kue adee masih terasa di lidah. Setiap gigitan membawa pulang kenangan, seolah mengajak siapa pun yang mencicipinya untuk kembali ke kampung halaman, walau hanya lewat rasa.