Asep Eka Penggerak Petani Kalteng Ajak Buruh Bangun Pertanian
Jumat, 30 April 2021 | 21:00 WIB
Palangkaraya, NU Online
Asep Eka Dwi Sunandar, 35 tahun, petani asal Palangkaraya, Kalimantan Tengah pernah memimpin SBSI sebagai Sekretaris Wilayah sekitar 2013. Jelang Hari Buruh atau May Day tahun ini, Asep berharap buruh perlu lebih meningkatkan kapasitas diri dan jangan hanya bergantung pada perusahaan.
"Ke depan, khususnya di Kalteng, kita juga perlu memikirkan dan menggerakkan sektor lain. Misalnya, pertanian di Palangkaraya sehingga mampu swasembada sayur mayur dan kebutuhan pangan lainnya. Tidak cukup menuntut ini dan itu, tapi perlu meningkatkan kualitas dan kapasitas para petani di sini. Peluang pengembangan pertanian terbuka lebar," kata Asep, Jumat (30/4).
Asep Eka bukan sarjana pertanian. Dia lulus di Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, IAIN Palangkaraya. Mulanya atas keinginan orang tua dan tekadnya, Asep bercita-cita sebagai mubaligh (pendakwah). Ghirah dan khidmahnya di bidang organisasi membuatnya dipercaya sebagai Ketua PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Cabang Palangkaraya. Tapi tidak ada yang tahu nasib manusia, belakangan dia berminat di dunia politik. Baginya politik mampu menciptakan kesejahteraan bagi warga melalui kebijakan.
Selepas lulus, selama empat tahun Asep bekerja sebagai Tenaga Ahli anggota DPRD Provinsi Kalimantan Tengah. Dia merasa perlu lebih mengoptimalkan perannya di masyarakat dengan tetap aktif berorganisasi. Lama kelamaan merasa jenuh, Asep memutuskan meninggalkan politik praktis dan hidup sebagai petani. Baginya, kalau belum benar-benar siap menghadapi situasi terburuk karena politik sebaiknya dihindari. "Kita lakukan sesuatu yang nilai maslahatnya lebih besar," ujarnya.
Asep seorang anak petani. Orang tuanya yang merupakan petani merantau dari Banyuwangi ke Palangkaraya di tahun 1980-an. Ketika orang tuanya harus meninggalkan lahan yang dikembangkan di Palangkaraya untuk kembali ke Jawa, dia terpanggil meneruskan komitmen keluarganya yang bergerak di bidang pertanian. Meski bukan dunia yang baru, soal tanam-menanam Asep harus banyak belajar. Bersamaan dengan itu, sekitar 2016 ramai pemberitaan minimnya usia produktif berminat aktif di bidang pertanian. Dia sangat prihatin atas kondisi tersebut.
"Di dunia politik kita banyak belajar tentang pengkaderan. Ketika memulai di pertanian, tidak ada kader muda tani yang benar-benar bekerja apalagi mampu melakukan terobosan. Semua berlangsung natural begitu saja, tidak ada peningkatan produktivitas sehingga kebutuhan sayur mayur saja masih sangat bergantung dari luar Palangkaraya. Dengan kita memulai, sekarang sudah mulai banyak teman-teman muda berminat di bidang pertanian," kata Asep.
Tantangan yang dihadapi
Orang tua Asep adalah petani dan mereka kembali ke Banyuwangi. Lahan di Kalimantan Tengah memang kurang cocok sebagai lahan pertanian. Tanahnya bukan berpasir, tapi tanah pasir. Tidak ada unsur hara yang dikandungnya. "Kita bisa bayangkan betapa beratnya hidup sebagai petani di sini," ungkap Asep.
Alhasil, pendekatan mengembangkan pupuk kandang dilakukan. Bekerjasama dengan mereka yang punya kepedulian, dibentuklah kelompok tani. Dari rencana yang dibuat kelompok tani berhasil menanam cabai, kembang kol, kacang panjang, brokoli dan sebagainya. Setidaknya mereka bisa mengoptimalkan lahan dalam kondisi tanah yang tidak mendukung. Dengan hasil yang melimpah, mereka bisa menjual dengan harga kompetitif. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan Palangkaraya saja masih sangat kurang. Mulai dari 2016, setiap tahun omset usaha bisa mencapai ratusan juta. Ini adalah pencapaian buat pemula.
"Tantangan terberat adalah mengubah paradigma. Kita mengajak orang bergabung menghasilkan sesuatu dengan bercocok tanam, kita harus yakinkan dulu diri kita sehingga bisa menjadi contoh bagi mereka. Kalau sudah kelihatan, orang lain akan melihat," tandas bapak tiga anak ini.
Baginya, hal yang paling membanggakan adalah produk yang dibuat bisa laku dijual karena kualitas. Dari sana kita mendapat perhatian kepala daerah. Beberapa waktu lalu, Kelompok Tani yang mereka bentuk melakukan audiensi dengan Walikota dengan menyampaikan sejumlah hal yang perlu diperhatikan. Yaitu, 1) Manfaatkan penyuluh agar lebih optimal; 2) Membangun sekolah pertanian; 3) Intervensi pasar sehingga harga tidak merugikan petani.
Bermula dari sana mereka mengembangkan diri. Melalui enam orang dengan lahan 2 hektar, perlahan-lahan mereka mendapat kepercayaan untuk bekerjasama dengan sejumlah pihak. Mereka meyakini, kader muda tani mulai sekarang harus dididik tidak bergantung pada bantuan dan program pemerintah. Peningkatan kapasitas usaha terus dilakukan bekerjasama dengan Yayasan Tambuhak Sinta dalam pelatihan tata kelola keuangan dan usaha hasil pertanian.
Kontributor: Dimas Putro
Editor: Kendi Setiawan