Jombang, NU Online
Menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama (NU), pengurus NU hari ini sejatinya memikul tanggung jawab besar. Pasalnya, di samping organisasi tersebut merupakan besutan para ulama, usianya juga sudah tidak lagi muda. Sejarah juga mencatat banyak kontribusi yang telah dilakukan NU untuk agama, bangsa, dan negara.
Posisi pengurus NU hari ini hanyalah penerus dari estafet para ulama terdahulu yang telah memperjuangkan cita-cita luhur menjaga ajaran-ajaran agama yang diterima oleh banyak kalangan karena sarat dengan nilai-nilai moderatnya.
Dan agar NU terus mempunyai peranan penting dalam berbagai lini kehidupan, dibutuhkan sosok pemimpin dan semua komponen (pengurus) yang mampu menelaah perjalanan sejarah NU secara utuh hingga sekarang. Pengurus juga harus meneladani para muassis (pendiri) NU menjalankan visi-misi organisasi.
Dalam hal ini, Wakil Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang, KH Wazir Ali mengingatkan enam hal yang yang perlu diaktualisasikan pengurus NU, terlebih pimpinannya sebagai pengemban amanah. Enam hal itu juga sekaligus menjadi bekal untuk membawa NU terus maju dan berkembang beriringan dengan situasi zaman yang terus berganti.
"Pertama, pengurus jamiyah, baik di level harian, badan otonom (Banom), maupun lembaga, harus mempunyai jiwa organisatoris dan sekaligus penggerak jamiyah dalam rangka optimalisasi program. Ini yang disebut munadhdhim dan muharrik (منظما و محركا)," katanya saat memberikan closing statement di Muskercab ke-4 PCNU Jombang, Ahad (9/8).
Kemudian yang kedua, pengurus NU sesuai tingkatannya hendaknya membekali diri dengan wawasan jamiyah, keagamaan, dan kemasyarakatan. "Ini yang kita sebut mutsaqqaf. An yakuna mutsaqqafan (ان يكون مثقفا)," ucapnya.
Tiga hal itu menurutnya, sudah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Wawasan jamiyah menjadi bekal dalam memahami dinamika organisasi NU dengan utuh, sementara wawasan keagamaan menjadi napas NU yang harus menyatu dalam diri pengurus untuk menggerakkan jamiyah. Wawasan kemasyarakatan juga penting dimiliki untuk melihat situasi masyarakat dari berbagai aspek kehidupan. Masyarakat sendiri adalah sebagai objek dari internalisasi ideologi NU.
Yang ketiga, pengurus NU berusaha untuk membekali diri dengan ilmu-ilmu agama (ulumu ad-diniyyah), serta mengamalkannya dalam kehidupan nyata. "An yakuna aliman wa amalan bi ilmihi (ان يكون عالما وعاملا بعلمه)," tuturnya.
Pengurs NU dalam hal ini adalah teladan dari dimensi keagamaan untuk khalayak. Bahkan menjadi solusi dari permasalahan-permasalahan keagamaan yang terjadi di tengah masyarakat.
Kendati demikian, memiliki wawasan yang luas dan segudang ilmu agama dalam pandangannya tidak cukup, harus disertai dengan kebijaksanaan dalam bersikap.
"Makanya sejalan dengan poin empat ini, pengurus NU kudu mempunyai kearifan dalam menyikapi problem keumatan, kemasyarakatan sesuai zamannya, sebagaimana kutipan dalam salah satu kitab thurats pesantren an yakuna aliman bizamanihi (ان يكون عالما بزمانه)," ujarnya.
Sebagaimana usia NU yang hampir satu abad, NU tentu memiliki program-program yang cukup komplit dan masif, menyentuh berbagai aspek kebutuhan umat. Karenanya, dibutuhkan skill atau seni dalam menjalankan program-program tersebut agar objek-objek sebagai penerima manfaat bisa merasakannya.
"Untuk itu pengurus perlu mempunyai jiwa panglima, mempunyai skill untuk mengeksekusi program. Atau an yakuna qooidan (ان يكون قائدا)," ungkapnya.
Dan yang terakhir adalah terkait keteladanan secara komprehensif. Tidak sekadar soal dimensi keamanan, tetapi hingga pada aspek kehidupan pribadi sekalipun.
"Nomor enam mempunyai keteladanan dalam kehidupan pribadi, organisasi, maupun masyarakat. Kita sebut sebagai qudwah hasanah (أن يكون قدوة), termasuk di dalamnya akhlakul karimah," pungkasnya.
Pewarta: Syamsul Arifin
Editor: Muhammad Faizin