Gampong Peunayong Banda Aceh, Surga Toleransi di Tengah Syariat Islam
Senin, 4 November 2024 | 21:45 WIB
Gedung tua arsitek ala Belanda itu tampak kokoh dan megah. Dibalut dengan warna kuning kecoklatan, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus itu terlihat menjulang di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Peunayong (Gampong Peunayong), Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh. Berdiri di antara keriuhan lalu lalang kendaraan.
Tiga Pastor yang bertugas di Gereja ini melayani sekira 772 umat. Gereja ini didirikan pada 1926 ini menjadi simbol keberagaman di Banda Aceh Aceh. Menggunakan gaya arsitektur Neo Klasik Modern dan memiliki luas bangunan ukuran 12x14 meter dengan ketinggian 12 meter. Gereja Hati Kudus ini juga dilengkapi dengan menara yang memiliki ketinggian 22 meter.
Gedung yang mulai tua ini dibangun oleh Belanda pada saat masa penjajahan memasuki Aceh, salah satu jejak keberadaan umat Katolik di Aceh merupakan catatan tentang dua orang Biarawan pada tahun 1638 yaitu Beato Dionius dan Rademptus yang saat ini dikenang sebagai martir Indonesia.
Gereja ini turut diurus oleh Wakil Ketua Badan Pengurus Harian (DPP BPH) Gereja Katolik Paroki Hati Kudus, Baron Pandiangan.
Baron, yang juga bertugas sebagai pembimbing masyarakat Katolik di Kementerian Agama, telah menghabiskan 14 tahun di Banda Aceh. Pengalamannya yang unik ini menyajikan sebuah potret keberagaman yang jauh berbeda dari stereotip yang seringkali melekat pada provinsi yang menerapkan syariat Islam ini.
"Jika mendengar kabar dari luar, mungkin banyak yang merasa ciut nyali untuk datang ke Aceh. Namun selama bertahun-tahun tinggal di sini, saya justru merasa sangat nyaman dan aman," kata Baron kepada NU Online di sebuah Warung Kopi berdekatan dengan Gereja, Ahad (3/11/2024).
Meskipun awalnya keluarga Baron sempat khawatir, namun pria 54 tahun itu tetap mantap dengan pilihannya untuk bertugas di Aceh. "Saya menjelaskan kepada keluarga bahwa saya seorang PNS, jadi siap ditempatkan di mana saja," tegasnya.
Akibatnya, Baron sempat menjalin hubungan jarak jauh dengan keluarganya Medan-Banda Aceh selama delapan tahun. "Kami hanya bertemu di hari weekend saja atau di hari cuti kerja. Setelah delapan tahun keluarga baru ikut saya dan sekarang keluarga merasa nyaman tinggal di Banda Aceh," jelas Baron
Selama 14 tahun, Baron telah menyaksikan langsung bagaimana keberagaman umat beragama hidup berdampingan secara harmonis di Banda Aceh. Terdapat sekitar 19 gereja Katolik yang tersebar di tiga paroki, dan umat beragama dapat menjalankan ibadah dengan bebas hari besar dan hari Minggu, gereja-gereja selalu ramai dikunjungi umat.
"Bahkan, saya dan keluarga bisa beraktivitas sehari-hari tanpa merasa terganggu atau dibedakan. Istri saya saja tidak memakai jilbab, dan itu tidak menjadi masalah," terang Baron.
Hal ini menunjukkan toleransi dan kerukunan yang sangat luar biasa. Meski hidup di dalam lingkaran Syariat Islam. Kata Baron, jika keluarganya dianggap melanggar ketentuan pasti akan ditangkap.
"Tapi ini tidak ada, karena keluarga kami juga memakai pakaian yang sopan dan juga menutup aurat namun hanya tidak memakai jilbab saja," terangnya.
Namun, Baron juga mengakui bahwa tantangan dalam menjaga keberagaman tetap ada. "Peristiwa di Aceh Singkil beberapa waktu lalu, misalnya, lebih disebabkan oleh nuansa politik dan ekonomi daripada agama," jelasnya.
Juga kata dia, salah satu tantangan lain adalah persepsi negatif dari masyarakat luar terhadap Aceh. "Banyak yang masih beranggapan bahwa Aceh sangat ketat dalam menerapkan syariat Islam, padahal kenyataannya tidak seperti itu," ujar Baron.
Baron melihat potensi besar dalam pengembangan keberagaman di Aceh, ia menyebutkan Dengan adanya berbagai komunitas dan organisasi masyarakat, kita bisa mengadakan kegiatan-kegiatan yang bersifat lintas agama. "Misalnya, diskusi bersama, gotong royong, atau olahraga bersama," ujarnya.
Selain itu, Baron mengungkapkan jika penerapan Syariah diberlakukan semakin kaffah maka masyarakat akan lebih nyaman apalagi dirinya sebagian masyarakat Katolik dan banyak melihat kesamaan.
Hal yang sama juga dirasakan salah seorang umat Kristiani, Stephanie Tiara Kristina, seorang paralegal di YLBHI Banda Aceh yang juga merupakan warga asli kota ini, memberikan kesaksian nyata tentang harmoni dan toleransi antarumat beragama di Banda Aceh. Menurut Stephanie, keberagaman di Banda Aceh, khususnya di kawasan Pecinan Peunayong, sudah sangat membudaya.
"Di Peunayong, kita bisa melihat bagaimana suku Aceh, India, dan berbagai etnis lainnya hidup berdampingan secara damai," ujar Stephanie.
Bahkan, kawasan ini menjadi pusat aktivitas ekonomi yang ramai, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang berinteraksi dan bertransaksi.
Stephanie yang merupakan seorang Kristen aktif juga merasakan langsung toleransi beragama di kota ini. "Saya rutin beribadah di Gereja Metodis setiap akhir pekan, dan tidak pernah mengalami gangguan atau diskriminasi, bahkan saat perayaan hari besar seperti Paskah dan Natal, kami selalu merayakannya bersama jemaat lainnya dengan penuh suka cita," tambahnya
Lebih lanjut, Stephanie menceritakan bahwa masyarakat sekitar juga sangat toleran terhadap kegiatan keagamaan yang dilakukannya. "Ketika kami mengadakan syukuran atau perayaan kecil-kecilan di rumah, kami selalu mengundang pendeta dan beberapa jemaat lainnya. Tetangga-tetangga pun tidak pernah keberatan," ungkapnya.
Selain itu, Stephanie mengungkapkan terkait toleransi yang ada di Banda Aceh hingga saat ini sudah terpenuhi dengan baik. Sebab, untuk tempat beribadah sudah tersedia bagi seluruh umat mulai dari Muslim, Hindu, Buddha, Kristen, Katolik, dan Konghucu.
"Dan itu kebanyakan sudah ada di kawasan Peunayong semua, menurut saya toleransi antarumat di sana juga sudah sangat baik," tutupnya.
*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI