Kesaksian Sesepuh Buleleng tentang Popularitas Shalawat Badar di Bali
Sabtu, 11 September 2021 | 22:30 WIB
Buleleng, NU Online
Muhammad Zaidi (76), dengan terbata melantunkan Shalawat Badar. Ia teringat shalawat ini kali pertama ia dengar saat remaja ketika pengajian dihadiri KH Ali Mansur.
Seingatnya, Kiai Ali Mansur cukup sering datang ke kampungnya, Desa Pengastulan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Belakangan, ia baru sadar, bahwa shalawat ini diciptakan langsung oleh Kiai Ali Mansur.
Di medium 1950-an, sosok Kiai Ali Mansur sangat populer di kalangan masyarakat muslim Kabupaten Buleleng. Selain bertugas sebagai Kepala Kantor Urusan Agama (KUA), Kiai Ali juga dipilih sebagai Ketua Konsul NU Provinsi Sunda Kecil yang berkedudukan di Kota Singaraja.
Baca juga: Gus Dur, Kiai Ali Manshur, dan Shalawat Badar
Sebelum pindah ke bali pada tahun 1954, pada 1952 ia bertugas di Kabupaten Sumba dengan jabatan kedinasan yang sama. Kiai Ali Mansur sangat aktif menemui tokoh tokoh agama, sekaligus melakukan konsolidasi organisasi NU hingga ke desa-desa.
NU di bawah kepemimpinannya dinilai sangat berhasil. Salah satunya bisa dibuktikan dengan terpilihnya Kiai Ali Mansur sebagai anggota Konstituante Dapil XV dari NU yang saat itu meliputi wilayah Bali dan Nusa Tenggara.
Hidupnya organisasi NU di Bali Utara ini juga diceritakan H Muhammad Anis (71). Ia menuturkan, saat masih kanak-kanak sering diajak orang tuanya untuk ikut menghadiri rapat-rapat NU di pusat Kabupaten Buleleng, Singaraja.
“Saya masih ingat betul ketika Kiai Ali Mansur sering mengisi acara pengajian di Desa Pengastulan. Semua orang dulu senang mengikuti pengajian Kiai Ali, pada masanya NU hidup sekali,” kenang H Anis.
Pindah ke Banyuwangi
Menariknya, pada tahun 1963, ketika Kiai Ali Mansur sudah pindah tugas ke Banyuwangi, Jawa Timur, H Anis oleh orang tuanya dititipkan dan tinggal di rumah Kiai Ali Mansur. Ini menunjukkan kedekatan orang tua H Anis dengan Kiai Ali Mansur karena selama di Bali sama-sama menjadi pengurus NU.
H Anis tinggal bersama Kiai Ali Mansur dan keluarganya selama enam bulan. Pagi ia berangkat sekolah tsanawiyah, setelah maghrib ia belajar ngaji langsung ke Kiai Ali Mansur.
“Rumah beliau sederhana, dindingnya gedheg (bambu), dekat stasiun. Saya jalan kaki kalau sekolah,” ceritanya bersemangat.
Setelah lama tidak berjumpa, H Anis akhirnya ketemu Kiai Ali Mansur lagi saat ada acara di Jember pada tahun 1970. Karena lupa, Kiai Ali pun bertanya, “Sampeyan (Anda) dari mana?”
Baca juga: Shalawat Badar Produk Ulama Nusantara
“Saya dari Bali, Kiai. Anaknya Pak Rohim,” jawab H Anis. “Ya Allah, kamu sudah besar sekarang,” timpal Kiai Ali Mansur sambil memeluk H Anis.
Kesaksian dua sesepuh Desa Pengastulan ini menandakan, Shalawat Badar sudah populer di kalangan Nahdliyin Bali. Karena keberadaan Kiai Ali Mansur selama menjadi Ketua NU di Bali jauh sebelum kejadian 1965, tahun-tahun di mana shalawat ini populer di Jawa.
Ini menjadi fakta baru sekaligus menjadi pertanyaan apakah syair tersebut sudah ada dan pernah dilantunkan? Namun, baru populer ketika Kiai Ali Mansur berdinas di Banyuwangi? Wallahu a'lam.
Kontributor: Abraham Iboy
Editor: Musthofa Asrori
Koreksi Redaksi:
Berita ini telah mengalami revisi judul pada Senin, 27 September 2021 pukul 19.40 WIB. Sebab, terjadi kekurangsesuaian antara judul dengan isi tulisan. Mohon maaf atas ketidaknyamanan para pembaca.