Yazid Busthomi bersama Khilma Anis, penulis novel best seller berjudul Jadilah Purnamaku Ning, Wigati, dan Hati Suhita.
Malang, NU Online
Khilma Anis, penulis novel best seller berjudul Jadilah Purnamaku Ning, Wigati, dan Hati Suhita, mengapresiasi kehadiran Banser dalam acara bedah novel Hati Suhita di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangploso, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Baginya, sesuatu yang langka saat ada kader Nahdlatul Ulama (NU) yang aktif di Banser bisa hadir mengikuti acara bedah novelnya. Tentunya ini menjadi sesuatu yang luar biasa, kader Banser belajar menulis novel.
"Baru acara kali ini ada Banser yang ikut," katanya, Senin (12/11).
Umumnya, Banser lebih banyak terlibat pada proses menjaga keamanan dan melindungi tokoh NU terutama kiai. Kerepotan itu membuat jarang ada waktu lebih untuk mereka menulis atau belajar menulis.
Salah satu peserta dari unsur Banser Malang, Yazid Busthomi, mengaku banyak mengambil pelajaran dari acara bedah novel ini. Menurutnya NU harus memiliki kader-kader penulis yang handal dan baik. Sebab kedepan, literasi akan semakin maju. Diharapkan pesantren dan NU dapat mencetak para penulis hebat yang dapat menembus kancah dunia. Setidaknya dapat dinikmati oleh para pembaca di Indonesia.
"Penulis novel berpendapat, bahwa seorang penulis haruslah siap dan kuat tantangan, sebab dari hal tersebut pastilah melahirkan karya-karya yang jauh lebih baik," ujar Yazid.
Selain itu, seorang penulis haruslah memiliki bacaan yang luas karena makna sejati literasi bukan lah membaca melainkan bagaimana menuangkan kembali bacaan tersebut dengan kemasan baru yang lebih indah.
Yazid mencontohkan, novel Hati Suhita mengandung sebuah pesan tua Jawa yaitu mikul duwur mendem jero (menampakkan segala bentuk kebaikan dengan menutupi kekurangan). Dalam kata lain, seseorang harus pandai-pandai menutupi keburukan orang lain atau menutupi keadaan buruk yang dialami.
Ilmu Jawa atau budaya Jawa tidak mengenal yang namanya orang jahat, hanya saja keadaan atau situasi yang belum tepat untuk bekerjasama dengan dirinya. Banser sebagai garda terdepan NU berusaha mengamalkan ajaran ini, terkhusus di tanah Jawa.
"Pesan penulis, seorang penulis yang memiliki kreatifitas sastra yang baik adalah penulis yang lembut hati, karena eksistensi sastra adalah kelembutan perasaan," tambah Yazid.
Bedah novel kali ini adalah kegiatan yang sangat berkesan bagi Yazid. Betapa tidak, datang dengan jaket kebesaran Banser, kopiah hitam, sarungan, diajak foto bersama penulis novel menjadi hal baru baginya.
Dari novel Hati Suhita, Yazid juga belajar ikhlas dan tabah menjalani hidup. Dulu, beberapa bab awal dari novel ini diplagiat oleh seorang penulis. Lebih parahnya, ada seorang pelaku yang tega membuat karya tulisan lain kemudian di sematkan nama Khilma Anis.
Tak lepas pula komentar-komentar pedas para warganet tentang alur dan penokohan dalam novel, sebelum novel tersebut paripurna.
"Ini pengalaman luar biasa, saya kira Banser saja yang sering dihujat di media sosial. Ternyata penulis novel juga mengalami hal yang sama. Intinya lakukan yang terbaik, hasil serahkan ke Allah untuk menilai," ungkapnya.
Proses Penulisan Novel Hati Suhita
Dalam paparannya kepada anggota Banser dan semua peserta bedah novel, Khilma Anis menuturkan bahwa untuk dapat menulis sebuah karya haruslah memiliki kerangka berpikir yang sistematis dan jelas. Meski terkadang seringkali dalam proses penulisan berubah alur dari kerangka berpikir yang telah dibuat sejak awal.
"Setidaknya kita tidak terlampau jauh keluar dari skema yang hendak kita tulis," tambah alumni Pesantren Bahrul Ulum ini.
Khilma mencontohkan, saat ia menulis Novel Hati Suhita yang awalnya hanya ingin sampai pada batasan 20 bab saja. Namun ketika telah berlangsung penulisannya, malah menjadi 34 bab. Hal ini dikarenakan penambahan cerita tokoh yang ada dalam novel tersebut.
Asal mula terbentuknya novel berlatar belakang pesantren ini berawal dari keaktifannya menjadi anggota di salah satu grup Facebook yang merupakan kumpulan para penulis. Niat awal menulis hanya meramu sebuah cerita pendek dan kemudian dibagi di grup. Tidak langsung berniat menjadikan novel.
Alur novel ini mengangkat Gus Biru sebagai pemeran utama lelaki. Biru merupakan seorang pria trah kiai pemangku pesantren yang dijodohkan dengan Alina seorang ning yang belajar di pesantren milik keluarga Gus Biru. Biru merupakan gambaran tokoh yang 'cuek' namun sangat taat kepada titah ibunya.
Alina Suhita istri Gus Biru telah dijodohkan dengannya sejak Alina masih duduk di madrasah tsanawiyah. Ia merupakan sosok wanita yang tergambar kecantikannya luar dalam serta ketabahannya dalam menghadapi segala permasalahan yang dialami.
"Nama Gus Biru, saya ambil dari sebuah tokoh besar dalam Islam, seorang filsuf, sejarawan dan ahli matematika yakni Abu Raihan Al-Biruni. Sedang nama Alina Suhita diambil dari seorang wanita trah raja yang berkuasa di zaman Kerajaan Majapahit," jelasnya.
Kontributor: Syarif Abdurrahman
Editor: Muhammad Faizin