Keunikan Saronen, Musik Khas Madura yang Dulu Dibuat Media Dakwah
Jumat, 25 Agustus 2023 | 07:00 WIB
Karnaval HUT RI di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura menampilkan musik Saronen. (Foto: NU Online/Firdausi)
Sumenep, NU Online
Di momen Hari Ulang Tahun (HUT) ke-78 Republik Indonesia, karnaval yang digelar di Madura, tidak hanya menampilkan pakaian adat, can macanan, dan tari. Yang menyita perhatian masyarakat pedesaan adalah penampilan musik tradisional Saronen yang konon diciptakan oleh Kiai Khotib Sendang bin Pangeran Katandur Bangkal bin Pangeran Pakaos bin Panembahan Palembang bin Sunan Kudus yang maqbarahnya ada di Desa Sendang, Kecamatan Pragaan, Sumenep, Jawa Timur.
Berdasarkan cerita yang menggurita di tengah-tengah masyarakat, instrumentnya yang berjumlah Sembilan memiliki arti dari jumlah Walisongo. Konon, Saronen dan tembang yang dilanggengkan di masa lalu, dijadikan media dakwah oleh Kiai Khotib Sendang untuk mengajak umat Islam kepada kebaikan dan sesuai dengan syariat agama.
Dinamakan Saronen, karena instrumen utamanya adalah seruling khas Madura. Alat tiup itu berbentuk kerucut yang memiliki enam lubang berderet ke belakang. Iramanya melengkung, meliuk-liuk dan menghentak. Namun setelah diiringi dengan pukulan musik atau alat pengiring, perpaduannya sangat estetik kendati tidak diiringi seorang vokalis.
Baca Juga
Hukum Dengar Lagu dan Musik
Bunawi salah satu warga Pragaan, Sumenep mengatakan, Saronen bisa menghibur masyarakat hanya momen-momen tertentu, antara lain: Rokat Desa (selamatan desa), Rokat Tase’ (petik laut), Kerapan Sapi, Sape Sonok (pertandingan kecantikan sapi betina), karnaval 17 Agustusan, perkawinan, khitanan, dan lainnya.
“Di masa lalu, musik Saronen keramat, karena diawali tawasul dan doa. Bahkan gongnya tidak boleh dilewati kaki. Tembang yang dilanggengkan menceritakan kisah Walisongo dan ulama pendahulu. Tujuannya agar warga dapat memetik hikmah di balik kisah itu. Artinya, kejhung (tembang) yang ditampilkan memiliki nilai edukatif atau sebuah ajakan kepada warga agar berhati-hati dalam bertindak,” ucapnya kepada NU Online, Kamis (24/08/2023).
Baca Juga
Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik
Sayangnya, lanjutnya, di masa kini Saronen tidak seperti dulu lagi. Jika dulu dihibur dengan saling balas pantun serta lawakan yang diperankan oleh pemain. Sekarang diiringi tarian wanita yang bergoyang ke kanan ke kiri. Tak heran, pengunjung sering menyawer penari itu dengan uang.
Bila seseorang mendengarkan musik Saronen, pasti aransemennya lambat saat mengawali tabuhan. Namun lama kelamaan, aransemennya semakin cepat. Bunawi menyatakan, semua penabuh mayoritas laki-laki yang mengenakan baju berwarna mencolok dan dihiasi manik-manik. Kepalanya diikat dengan aksesoris yang mirip mahkota, lengannya pun diikat aksesoris layaknya seorang patih kerajaan.
“Peniup seruling Saronen pasti memakai kacamata hitam. Kadang pula penabuh gendangnya pun demikian,” tandasnya.
Alat-alat Saronen yang terdiri dari gong besar dan gong berukuran sedang yang digantung di sebuah penopang kayu ukiran dan dipikul oleh penabuh saat berjalan; kennong kecil (gong) yang terbuat dari kuningan; gendang besar dan gendang kecil yang diberi selaput kulit sapi di setiap ujung (berbentuk kerucut terpotong); seruling Saronen yang berbahan kayu jati; kerca-kerca sejenis simbal kecil.