Jepara, NU Online
Papan nama yang berdiri di tepi pertigaan jalan raya itu terlihat kusam dimakan usia. Tulisan 'Pondok Pesantren Darul Musyawaroh' tidak dapat terbaca dengan baik. Di balik nama itu, tersimpan beragam kisah seputar kemasyhuran pesantren yang berada di perdesaan di pinggiran Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.
Adalah KH Muhammad Afif Zubaidi, perintis sekaligus pengasuh pesantren Darul Musyawaroh. Ia merupakan putra tunggal dari pasangan H Zubaidi dan Hj Rodhiyah. Mbah Afif, begitu ia dikenal, terlahir pada hari Rabu, 6 Juni 1939 di Dukuh Klumosari Desa Banjaragung, Bangsri, Jepara. Tidak banyak orang mengira jika anak desa tersebut akan mengharumkan nama desanya. Ibaratnya, menyebutkan Dukuh Klumo tidak dapat dipisahkan dari nama Mbah Afif.
Masa kanak-kanaknya dihabiskan bersama keluarga dan teman-teman sebaya di lingkungannya. Tidak ada yang istimewa pada masa kecilnya. Mengawali pendidikannya, Afif muda belajar di bawah asuhan KH Kholil Bangsri. Pada sekitar usia 11 tahun–tahun 1950–ia melanjutkan belajarnya di Sarang, Rembang. Di kota paling ujung timur Jawa Tengah ini, Kiai Afif belajar di bawah asuhan KH Ahmad Syuaib, KH Zubair Dachlan, ayah KH Maimun Zubair, dan para guru yang lain di sana.
Selama kurang lebih sembilan tahun di Sarang, sekitar tahun 1959 mbah Afif melanjutkan perjalanan intelektual ke 'Kota Apel', Malang, Jawa Timur. Ia belajar di Pesantren Darul Hadis di bawah asuhan Habib Abdul Qadir bin Ahmad dan putranya Habib Abdullah bin Abdul Qadir. Keduanya merupakan ulama pakar hadits pada masanya. Berbekal dari pendidikan di Sarang dan Malang, mengantarkannya ke Kuningan, Cirebon, Jawa Barat. Di sana ia belajar di bawah asuhan KH Muhyiddin.
Menikah
Selesai menuntut ilmu di Cirebon, Jawa Barat, Mbah Afif dinikahkan dengan seorang wanita asal Bangsri, Ny Ni'matun binti Ja'far. Tidak lama setelah menikah, Kiai Afif mengajak istrinya untuk tabarrukan di Rembang, di pesantren asuhan KH Ma'sum Ahmad Lasem. Tabbarukan adalah tradisi yang lazim bagi komunitas pesantren untuk mendapatkan keberkahan dari seorang ulama atau suatu tempat. Dari pernikahannya terlahir beberapa putra putri.
Pada awal 1970-an, Mbah Afif melanjutkan belajarnya di Makkah al-Mukarramah. Kebutuhan sehari-hari anak dan istri diserahkan kepada keluarga di rumah. Pada waktu itu haji Zubaidi, ayahnya tergolong orang mampu. Di samping lahan yang luas, juga memiliki hewan ternak yang banyak. Tidak jarang ketika mengirimkan uang via wesel hasil penjualan sapi atau hasil pertanian untuk membeli kitab untuk putra semata wayangnya.
Perjalanannya ke Makkah, ditemani oleh KH Hasyim Nawawi, salah seorang sahabatnya. Di Kota Makkah, Mbah Afif belajar kepada guru-guru yang masyhur, antara lain Sayid Alwi bin Abbas al-Maliki, Syekh Muhammad Yasin al-Fadani, Syekh Ismail al-Yamani, dan beberapa guru yang masyhur pada waktu itu.
Selama kurang lebih tujuh tahun di Makkah, Mbah Afif menimba banyak ilmu dan banyak bergaul dengan para ulama di sana. Hampir-hampir ia berkeinginan tinggal selamanya di Makkah. Akan tetapi, kedua orangtuanya tidak mengizinkan hal itu. Mereka berkeinginan agar ia mengabdikan dirinya di tanah kelahirannya, Dukuh Klumosari. Mbah Afif memberikan syarat kembali ke Indonesia asalkan dijemput oleh kedua orangtuanya.
Keinginan untuk dijemput tersebut bukan murni sebagai syarat, melainkan juga sebagai ajakan agar kedua orangtuanya dapat menunaikan ibadah haji. Di tahun berikutnya–sekitar tahun 1978, kedua orangtuanya menunaikan rukun Islam yang kelima dan mengajak pulang.
Sepulang dari Makkah bersama kedua orangtuanya, ia menetap di Dukuh Klumo dan mulai berdakwah. Kegiatannya mengajar dan menyebarkan ilmu agama di mushala yang sudah disiapkan oleh kedua orangtuanya. Mushala tersebut tersebut didirikan di atas tanah wakaf dari ayahnya dan saudaranya, yang tidak lain adalah ipar Mbah Afif.
Di mushala tersebut, sebelum Mbah Afif pulang ke rumah, sudah ada belasan pemuda yang belajar agama, jika tidak disebut sebagai santri, kepada anak pamannya, Mbah Ali. Kedatangan Mbah Afif tentu membawa 'angin segar' karena kedalaman ilmu yang diperolehnya dari beberapa pesantren di Jawa dan Makkah.
Seiring berjalannya waktu, sekitar akhir 1970-an, muncul dorongan dari para guru dan sesepuh desa agar mbah Afif mengasuh dan menampung para santri secara permanen. Mengingat, mbah Ali tidak menyediakan penginapan permanen sebagaimana lazimnya pondok pesantren. Hanya ada sebuah kamar sederhana tidak permanen yang disediakan untuk para pemuda yang belajar.
Atas berbagai saran dan pertimbangan, akhirnya Mbah Afif membuka tempat belajar atau pondok bagi para santri. Lambat laun jumlah santri yang belajar di tempat Mbah Afif bertambah banyak. Kegiatan di musala semakin ramai dengan kajian keagamaan. Mbah Ali dan Mbah Afif sebagai ujung tombak dari kegiatan di musala, baik dalam salat berjamaah maupun kajian. Mbah Ali mengisi di bidang Al-Qur'an, sedangkan Mbah Afif bidang kajian kitab.
Setelah beberapa tahun banyak santri yang menetap di pondok yang disediakan Mbah Afif. Hingga suatu ketika mulai terpikirkan untuk memberi nama lembaga pendidikan yang mulai ramai tersebut. Mbah Afif mengajak bermusyawarah dengan Mbah Ali dan para sesepuh pada waktu itu. Akan tetapi, semua mengembalikan kepada Mbah Afif tentang nama pesantren. Singkat cerita, hasil mujahadah dan beristikharah didapatkanlah nama Darul Musyawarah.
Berkembang
Perlahan-lahan pesantren yang diasuh Mbah Afif berkembang pesat. Keberadaan pesantren sangat dirasakan oleh masyarakat sekitar. Nuansa religi sebagai kawasan santri menyelimuti Dukuh Klumo secara umum. Banyak orang dari luar daerah tidak dapat memisahkan nama Klumosari dari Mbah Afif.
Sampai pertengahan 1990-an jumlah santri di pesantren tersebut mencapai ratusan, jumlah yang besar untuk masa itu. Para santri tidak hanya berasal dari penduduk sekitar, tetapi dari luar daerah seperti Mlonggo, Jepara, Tahunan, Welahan, dan daerah sekitarnya. Bahkan ada pula dari Sumatera.
Mushala yang dijadikan tempat shalat, mengaji, sekaligus menginap tidak mampu menampung jumlah santri yang ada. Sebuah bangunan didirikan di kompleks mushala untuk menampung para santri. Bangunan berlantai dua itu sering dijadikan tempat bermain anak-anak sekitar pesantren. Sebuah arena bermain lorodan, disediakan di lantai dua. Pada malam harinya anak-anak dapat melihat perahu nelayan yang berlayar dari atap di lantai dua.
Pada bulan Ramadhan para santri melaksanakan Shalat Tarawih bersama dengan warga sekitar di mushala kompleks pesantren. Kondisinya ramai, hampir sesak. Sebuah kasidah tauhid atau aqidah berbahasa Jawa dilantunkan bersama selesai menunaikan Shalat Tarawir dan Witir tiga rakaat. Snack dari warga yang dibawa secara bergilir dibagikan kepada 'Kang Pondok', panggilan akrab bagi santri.
Bersamaan dengan pembangunan pesantren, mushala dengan arsitek kuno direnovasi menjadi lebih modern dan relatif besar. Gotong royong dilakukan bersama-sama antara masyarakat setempat dengan para santri. Tidak relatif lama, tempat ibadah dijadikan sebagai pusat kegiatan Pesantren Darul Musyawaroh.
Di mushala, pesantren Mbah Afif juga memperkenalkan masyarakat sekitar dengan para habib atau ulama dari luar daerah. Beberapa kali ulama dihadirkan untuk memberikan ilmu kepada masyarakat maupun santri. Beberapa kali juga mengajak masyarakat turut serta dalam kegiatan ziarah ke Walisongo. Hal semacam itulah yang menjadikan para santri dapat membaur dengan masyarakat sekitar.
Mbah Afif bukanlah ulama yang sering memberikan ceramah di podium atau di pengajian umum. Sebagian besar ilmu-ilmu yang dimiliki diajarkan kepada para santrinya, bukan melalui ceramah di luar. Ia dikenal sebagai ulama yang lebih banyak tirakat. Kebesaran nama mbah Afif tidak dapat dipisahkan dari tirakat yang dilakukan. Ia bukanlah publik figur yang sering tampil di muka umum, tetapi sebaliknya. Sikapnya yang lebih banyak diam menjadikannya memiliki daya tarik tersendiri.
Daya tariknya bagai magnet yang menarik besi di sekitarnya. Setiap apa yang difatwakannya menjadi perhatian masyarakat. Misalnya ketika Mbah Afif memberikan fatwa tentang amalan untuk menolak bala (musibah) atau penentuan awal Ramadhan. Masyarakat sekitar mengikutinya tanpa keraguan.
Wafat
Usia kehidupan manusia tidak ada yang tahu. Di tengah sakit yang relatif lama, Mbah Afif masih sempat mengajar para santri. Ketika sakit yang dialami semakin parah, kegiatan pesantren diserahkan kepada anak-anaknya. Kederisasi sudah dilakukan sebelumnya. Sampai pada akhirnya, Mbah Afif wafat pada 20 Maret 2009 menjelang Maghrib.
Masyarakat berduka. Para pejabat, tokoh agama, santri dan alumni datang silih berganti untuk mendoakan Mbah Afif, seorang kiai yang kharismatik. Namanya banyak dikenal luas oleh masyarakat berkat kealiman dan tirakatnya. Mbah Afif meninggalkan delapan putra-putri dan sebuah jariyah pesantren.
Setelah kepergiannya, pengelolaan pesantren diserahkan kepada putra-putrinya. Belakangan, di pesantren juga berkembang dengan didirikan SMP dan SMK Darul Musyawaroh. Hal tersebut merupakan upaya yang dilakukan untuk terus menjadikan lembaga pendidikan peninggalan dari KH Muhammad Afif Zubaidi tetap lestari.
Kontributor: M Dalhar
Editor: Kendi Setiawan