Surabaya, NU Online
Tradisi mempelajari Kitab Kuning (Kutub al-Turats) di pesantren hingga kini masih selalu menarik untuk diperbincangkan. Meski demikian, “kitab putih” juga perlu dibaca untuk memperluas cakrawala keilmuan para santri.
<>
Katib Syuriyah PBNU KH Afifuddin Muhajir menegaskan hal tersebut dihadapan para kiai dan para peneliti di lingkungan Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan pada forum Temu Tokoh Agama (Halaqah Ulama) di hotel Singgasana Jl Gunungsari Surabaya, (2/12).
Jika dirunut ke belakang, lanjutnya, cabang keilmuan yang dapat dijadikan untuk mengasah kecerdasan sisi intelektual adalah Ushul Fiqih. Oleh karenanya, Ushul Fiqh bukan hanya dibaca, tapi juga didiskusikan, lalu diamalkan. Sementara untuk mengasah kecerdasan spiritual adalah ilmu tasawuf. Ada satu kitab yang memadukan antara kedua kecerdasan ini, yaitu kitab Jam’u al-Jawami’ karya Ibnu Subhi.
“Sebenarnya bagaimana sih pesantren melihat ilmu pengetahuan? Dalam hal ini saya tidak sependapat dengan Kiai Hasyim yang menawarkan integrasi keilmuan. Sebab, ilmu-ilmu sains sudah sangat islami. Banyak ahli astronomi dan fisika yang iman kepada Tuhan setelah belajar ilmu-ilmu tersebut,” ujarnya.
Menurut Kiai Afif, pada masa kini tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren masih diminati masyarakat. Sayangnya, ada pergeseran visi masyarakat dalam memondokkan anaknya. Santri baru di pesantren Sukorejo menembus angka lebih dari 3200 santri yang kini memiliki lebih dari 10000 santri justru lebih banyak yang putri.
“Walaupun tidak rajin, yang penting betah di pondok. Ini artinya bahwa masyarakat hendak menyelamatkan putra-putrinya yang jika di rumah akan sulit dikontrol karena tantangannya sangat besar. Artinya, visi penyelamatan lebih dominan daripada visi keilmuan,” pungkasnya. (Ali Musthofa Asrori/Mukafi Niam)