Daerah

Kiai Ali Musthofa Ya'qub dalam Kenangan Santri

Selasa, 12 Maret 2019 | 07:30 WIB

Kiai Ali Musthofa Ya'qub dalam Kenangan Santri

Diskusi hadits menurut Profesor Dr KH Ali Mustafa Ya'kub

Jombang, NU Online
Hadits merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an dalam Islam. Hampir jumhur ulama, terutama dari kalangan sunni dan syi'ah mengakui hadits sebagai sumber hukum. 

Bagi kaum Muslim di Indonesia, yang mayoritas beraliran sunni, hadits menjadi sumber penting yang dijadikan sebagai sandaran utama. Bahkan, upaya-upaya mengabaikan hadits di kalangan Muslim Indonesia dianggap sebagai upaya menghancurkan salah satu sendi agama Islam itu sendiri.

Salah satu pakar hadits yang dimiliki oleh Indonesia adalah KH Ali Musthofa Ya'qub. Ia dilahirkan di Batang Jawa Tengah tahun 1952. Alumni Pondok Pesantren Tebuireng ini menjadi rujukan masalah hadits di Indonesia.

"Salah satu pelajaran yang saya pegang saat ini dari abah yai yaitu semangat belajarnya yang luar biasa. Awalnya menuntut ilmu di Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu sama orang tuanya disarankan menuntut ilmu di Pesantren Seblak Jombang dan Pesantren Tebuireng," kata salah satu murid Ali Musthofa Ya'qub bernama Ustadz Muhammad Arinal Haq. 

Hal tersebut disampaikannya dalam diskusi ilmiah paradigma memahami hadits menurut Profesor Dr KH Ali Mustafa Ya'kub, Senin (11/3).

Dikatakannya, Kiai Ali Musthofa mulai ke Jombang pada tahun 1966 dan menetap di Pondok Seblak sampai tingkat Tsanawiyah, 1969. Kemudia Kiai Ali nyantri lagi di Pesantren Tebuireng yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak. 

Di samping itu, di Tebuireng Kiai Ali juga belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy'ari (Unhasy). Di Pesantren Tebuireng ini ia menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para kiai sepuh, antara lain almarhum KH Idris Kamali, almarhum KH Adlan Ali, almarhum KH Shobari dan almusnid KH Syansuri Badawi. 

"Di Pesantren Tebuireng ini ia belajar bahasa Bahasa Arab dan kitab kuning sampai awal 1976," urai Ustaz Arinal.

Menurut Ustaz Arinal, Kiai Ali pada tahun 1976 berangkat mencari ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Saudi Arabia, sampai tamat dengan mendapatkan ijazah license tahun 1980. 

Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan lagi di Universitas King Saud. Kali ini mengambil jurusan Tafsir dan Hadits, sampai tamat dengan memperoleh ijazah master tahun 1985. Tahun itu juga ia pulang ke tanah air dan lanjut mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, dan UIN Syarif  Hidayatullah.

Walaupun dikenal sebagai ahli Hadits dan lama tinggal di Arab Saudi, namun pemahaman keagamaan Kiai Ali Musthofa Ya'qub tetap lentur dengan budaya-budaya lokal yang berkembang di Indonesia. Bahkan Kiai Ali kerap memberi peringatan keras kepada para dai yang mudah membidahkan pemahaman keagamaan orang lain. Namun demikian, Kiai Ali Musthofa juga tidak segan mengkritik pemahaman liberal yang menyimpang dari Al-Qur’an maupun Hadits.

"Ketika Kiai Ali Musthofa mau ikut pengajian Kiai Idris, ia diminta menghafalkan 10 kitab dan dilakukan. Sepuluh kitab itu adalah matan al-Jurumiyah, matan al-Kailany, nadzam al-Maqsud, Nadzam al-Imrithy, al-Amtsilah Tasrifiyyah, Alfiyah, al-Baiquniyyah, dan al-Waraqat," beber Ustadz Arinal.

Salah satu kelebihan Kiai Ali yaitu termasuk ulama yang produktif. Ia memiliki motivasi untuk selalu berkarya. Santrinya pun sangat dianjurkan untuk menulis, maka tak salah wejangan (nasihat) ia yang akrab sekali di telinga para santrinya, yaitu janganlah kalian mati kecuali menjadi penulis.

"Hingga akhir hayatnya Kiai Ali telah menulis 49 buku, namun ada juga buku terakhir yang terbit pascawafat, hasil transkip dari ceramah-ceramahnya. Jadilah jumlah buku itu berjumlah 50 buku," tutup Pengasuh Pondok Pesantren Al-Aqobah 4 Jombang ini. (Syarif Abdurrahman/Ibnu Nawawi)


Terkait