Kiai Maddah, Si Pendekar dan Mustasyar PCNU Kencong Jember, Tutup Usia
Kamis, 16 Juli 2020 | 03:16 WIB
Jember, NU Online
Mendung duka berarak menyelimuti Jember, Jawa Timur. Pasalnya, salah seorang putra terbaik NU Cabang Kencong, Kabupaten Jember, KH Achmad Maddah Zawawi berpulang ke pangkuan Allah di usia 85 tahun, Kamis (16/7). Pria yang akrab disapa Kiai Maddah tersebut wafat di kediamannya, kompleks Pondok Pesantren Assunniyah, Kencong ketika jam menunjuk angka 1.30 WIB.
Selain mengasuh santri, almarhum juga menjadi Mustasyar PCNU Kencong, Jember. Kiai Maddah adalah adik kandung KH Jauhari Zawawi sekaligus paman KH Syadid Jauhari. Ia merupakan saudara ‘sambung’ KH Sahal Mahfudz karena istrinya adalah adik kandung mantan Rais ‘Aam PBNU itu. Salah seorang putra Kiai Maddah, KH Abdullah Khoiruzzad Maddah saat ini menjadi Wakil Rais Syuriyah PCNU Kencong. Sebelumnya ia menjabat Rais Syuriyah PCNU Kencong tiga periode.
Kiai Maddah dikenal sebagai sosok yang sangat sederhana dan sabar. Kesederhanan beliau bisa dilihat dari rumahnya yang sama sekali tidak ada kemewahan apapun. Begitu juga penampilannya, sangat sederhana, sama sekali tak tergoda untuk hidup mewah.
“Beliau sabar dan zuhud. Juga istikamah dalam shalat berjamaah dan mengasuh (mengaji) kitab,” tutur Ketua PCNU Kencong, Kiai Zainil Ghulam di rumah duka, Kamis (16/7).
Saat masih muda, Kiai Maddah dikenal sebagai pendekar yang sakti mandraguna. Meskipun perawkannya tidak kekar, tapi ia cukup disegani oleh pesilat dan pendekar lain. Kelebihannya tidak hanya di bidang kanuragan, tapi juga dalam seni hadrah.
Selama hidupnya, Kiai Maddah aktif dalam ISHARI (Ikatan Seni Hadrah Republik Indonesia) Cabang Kencong. Konon, kalau beliau lagi menabuh rebana, suaranya cukup nyaring, bahkan mampu menghipnotis hadirin.
“Cerita soal kelebihan beliau, termasuk adalam menabuh rebana itu sudah masyhur sejak lama,” tambah Gus Ghulam, sapaan akrabnya.
Kesabaran dan kelembutan sikap Kiai Maddah juga diakui oleh mantan Wakil Ketua PCNU Kencong, H Marsuki Abd. Gofur. Menurutnya, kelembutan pribadi beliau tidak hanya tampak lewat ucapan yang mengalir dari lisannya, tapi terbaca dari prilaku kesehariannya, termasuk dalam menerima tamu.
“Masyaallah, beliau adalah orang yang sangat lembut kepada tamu dan siapapun,” jelasnya.
H Marsuki, sapaan akrabnya, mengaku sangat merasa kehilangan terhadap sosok almarhum Kiai Maddah. Dikatakannya, jika dunia kehilangan orang alim, maka ada ‘barang’ lain yang juga ikut lenyap, yaitu ilmunya. Sehingga ketika Kiai Maddah pergi, maka otomatis aliran ilmu yang berasal dari dirinya juga terputus.
“Makanya terus terang kita merasa sangat kehilangan beliau,” pungkasnya.
Kiai Maddah telah pergi untuk selamanya. Namun ‘peninggalannya’ tak akan pernah lenyap ditelan zaman. Dalam jiwa ribuan santri dan alumni Pondok Pesantren Assunniyah, Kencong, dan para kader NU, tentu telah mengalir darah keilmuan dari sang kiai. Ilmu tersebut akan terus berkembang biak menjadi ‘virus’ yang membentuk karakter tangguh bagi generasi muda Nahdlatul Ulama.
Oh, selamat jalan Kiai Maddah. Selamat jalan wahai jiwa yang tenang.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Ibnu Nawawi