Kisah Khairum Muslimin, Guru Pesantren yang Ringankan Biaya Santri dengan Beternak Lele
Senin, 25 November 2024 | 19:00 WIB
Jombang, NU Online
Khairum Muslimin adalah satu guru pesantren yang sejak kecil terbiasa hidup dalam kerja keras dan tanah dalam menjalani hidup. Pengalaman ini membentuk kepribadiannya yang gigih dan tanpa pamrih dalam menjadi guru. Ia pun tidak mudah mengeluh ketika harus mengajar di mana pun.
Karakter itu juga tertanam dalam dirinya dan menjadi bekal berharga dalam menghadapi berbagai tantangan sebagai guru, terutama ketika sekarang ia mengajar di Pesantren Al-Ahsan Desa Karangan, Kecamatan Bareng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur.
Lokasi pesantren yang cukup jauh dari pusat pemerintahan Jombang dan berada di wilayah perbukitan tidak menjadikan Muslimin kabur dan pergi dari tugas mengajarnya.
"Sejak 2016 aktif mengajar dan bantu di pesantren. Karena orang tua petani, sejak kecil diajarkan kerja keras dan ikhlas. Sementara belum ada gaji, saya juga tidak berharap. Biar ini jadi amal akhirat," jelas Khairum Muslimin kepada NU Online, Senin (25/11/2024).
Beternak puluhan ribu lele
Pria yang lahir pada 26 September 1992 ini punya cara tersendiri untuk meringankan beban pembayaran santri. Ikhtiar tersebut dengan mengajari para santri berternak puluhan ribu ikan lele di sekitar lingkungan pesantren.
Dengan adanya usaha ternak lele ini, maka bisa menutup pembayaran bagi santri yang gratis dan telat membayar. Sehingga urusan dapur pesantren tetap berjalan tanpa gangguan.
"Ini coba ternak lele lagi mas, dulu sudah pernah tapi istirahat cukup lama dan mulai lagi. Total ada 15 kolam lebih, per kolam diisi 10 ribu bibit lele," imbuhnya.
Menurutnya, hingga kini lembaganya menaungi sekitar 60-an santri menengah ke bawah. Rata-rata para santri tidak membayar selama di pondok. Karena konsep yang dipakai Al-Ahsan yaitu pesantren hadir meringankan beban masyarakat, bukan malah memberatkan.
"Di pesantren ini saya bagian mengurusi pembangunan, organisasi, GM program dan pendamping usaha pesantren. Saya berpikir, kalau mau memperbaiki Indonesia, dimulai dari pendidikannya, saya memilih di Al-Ahsan ini," ujarnya.
Ustadz Muslimin, lahir dan besar di Rangel, Tuban, Jawa Timur. Ia menjalani pendidikan di Madrasah Tsanawiyah-Aliyah Syiar IsIam dan melanjutkan pendidikan tinggi di Kabupaten Jombang.
Setelah lulus, ia memilih tetap di Jombang dan menikah dengan pujaan hatinya tak jauh dari Pesantren Al-Ahsan Bareng. Alasannya cukup sederhana, agar bisa terus melanjutkan khidmah di pesantren dan mendampingi santri.
"Saya punya jam ngajar di sekolah yaitu 4 hari, pada Selasa, Rabu, Kamis, dan Sabtu. Kelas Madrasah Diniyah di malam Selasa dan malam Rabu," katanya.
Guna menutupi kebutuhan keluarga, guru yang memiliki dua putri ini memiliki pekerjaan serabutan dan budidaya ikan. Ia bersyukur, karena istrinya juga seorang guru, sehingga bisa memahami khidmahnya di Pesantren Al-Ahsan.
"Guru, menjadi khodimul 'ilmi adalah pekerjaan para nabi, sehingga saya mencintai nabi lewat cara meneruskan perjuangannya di dunia ilmu," tegasnya.
Guru dan Generasi Terkini
Menjadi guru bagi generasi yang lahir di 2010 ke atas memiliki tantangan tersendiri, hal ini diungkapkan oleh Ustadz Rizki Mubarok, salah satu guru di Pesantren Tebuireng.
"Jadi guru di pesantren yang peserta didiknya lahir tahun 2010-2013 memiliki tantangan tersendiri. Mereka lebih peka hatinya, mudah tersentuh hatinya, perhatian pada bab mental dan daya juang kurang," jelasnya.
Oleh karena itu, terkadang wali santri sedikit protektif kepada keadaan anaknya. Sehingga sering menghubungi asatidz untuk menanyakan anaknya. Bahkan terkadang tidak jarang, sedikit mengatur asatidz agar begini dan begitu dengan dalih kebaikan bagi anaknya.
Tak jarang juga, beberapa wali santri memberikan jajan dan uang kepada asatidz supaya anaknya diperhatikan. Hal ini tentu berbahaya jika niat tidak ditata sejak awal. Sehingga tujuannya adalah uang dan materi.
"Saya pegang nasihat KH Hasyim Asy'ari. Guru hendaknya memaksudkan aktivitas mengajarnya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah swt, menyebarkan ilmu, menghidupkan agama IsIam, menyampaikan hukum-hukum Allah SWT.
Ia menegaskan, generasi terkini memiliki jiwa yang berbeda dengan era 1980-an dan 1990-an baik dari segi mental dan daya juang. Sehingga terkadang harus pandai memilih kata dalam berucap dan menghukum santri. Jika salah, maka timbul dendam dan selanjutnya terjadi konflik orang tua dan asatidz.
Sehingga, tak kalah penting, katanya, guru harus memiliki pemahaman bahwa mengajar itu berarti ia diamanahi untuk mengerjakannya dan diperintahkan untuk menjelaskannya, menambah ilmu dengan menampakkan kebenaran dan kembali kepada yang harus dan sebagai sarana berzikir kepada Allah swt.
"KH M. Hasyim Asy'ari, dalam kitab Adabul 'Alim wal Muta'allim berpesan pendidik hendaknya bersikap kasih sayang kepada orang asing yang menghadiri majelisnya, menyenangkan orang itu agar hatinya lega, karena sesungguhnya pendatang baru itu masih gugup," tandasnya.