Komunitas Thek-thek Purbalingga, Pelestari Alat Musik Tradisional Kentongan
Kamis, 14 Januari 2021 | 06:30 WIB
Jakarta, NU Online
Salah seorang seniman yang juga pemimpin grup thek-thek kentongan Kingsan dari Purbalingga, Jawa Tengah, Dwi Cahyo Listiono, menjelaskan, sekitar tahun 80-an musik kentongan dimainkan oleh sekelompok orang yang sedang ronda. Kemudian beralih difestivalkan untuk merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan yang terdiri dari sepuluh orang.
Tahun 2000, kesenian ini berkembang lagi menjadi sebuah festival yang lebih besar, bentuknya kolosal dan terdiri dari 50 orang. Yang sebagian terdiri dari penari-penari untuk memperindah pentas kesenian.
“Musik kentongan pada tahun 80-an hanya dimainkan oleh sekelompok orang yang sedang ronda. Selanjutnya difestivalkan hanya berjumlah sepuluh orang. Sekitar tahun 2000-an dibentuk sebuah kolosal dengan rangkaian pemain musik dan penari yang berjumlah 50 orang,” ujarnya Cahyo saat dihubungi NU Online pada Ahad (10/1.)
Grup thek-thek kentongan Kingsan dari Purbalingga. (Foto: dok. istimewa)
Dalam kolosal tersebut, ada tiga unsur yang menyebabkan pertunjukan kentongan menjadi indah. Pertama, wiraga (penampilan). Para pemeran pertunjukan akan terlihat indah jika memakai pakaian yang menarik, seragam, serta gerakan yang harus kompak.
Kedua, wirama (irama), yakni bagaimana irama musik harus terdengar enak di telinga, sesuai dengan ketukan. Kemudian ketiga adalah wirasa (rasa), yakni aura yang ditimbulkan dari perpaduan antara gerak tarian dan musik yang mengiringi.
Kesenian ini bisa kita jumpai di wilayah Karesidenan Banyumas. Meliputi Kabupaten Banyumas, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Cilacap, dan Kabupaten Banjarnegara.
Dwi Cahyo menceritakan, terbentuknya grup Thek-thek Kentongan Kingsan bermula ketika anak-anak muda di lingkungan sekitar melakukan hal-hal yang negatif. Selain itu kebanyakan anak muda cenderung lebih suka kepada musik-musik modern dan bermain gadget (gawai). Dari situ timbul rasa resah di benak Lilis, kenapa tidak diarahkan ke kegiatan yang positif.
“Makannya saya selalu berusaha supaya mereka mau untuk bermain musik tradisional. Namun setelah sering diajak alhamdulillah sekarang sudah banyak yang tertarik,” ungkapnya.
Grup thek-thek kentongan Kingsan dari Purbalingga. (Foto: dok. istimewa)
Menurut pria yang akrab dipanggil Lilis ini, pertunjukan kesenian kentongan juga digunakan sebagai penyambutan tamu agung dan perayaan hari besar nasional. Seperti halnya yang sudah dilakukan, grup kentongan yang ia pimpin sudah tiga kali diundang ke istana negara dalam acara yang sama yaitu peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tepatnya pada tahun 2004, 2007, dan terakhir tahun 2018.
Cahyo juga mengungkapkan awal mula grup thek-thek kentongannya di undang ke Istana Negara. Hal itu bermula ketika grupnya sering di undang untuk mengisi acara di Semarang. Sementara pada saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia di Istana Negara dibutuhkan lima penampilan kesenian tradisional dari lima daerah. Pada kesempatan itu grupnya ditugaskan untuk mewakili Provinsi Jawa Tengah.
“Kalau diundang ke Istana Negara itu sudah tiga kali, yaitu tahun 2004, 2007, kemudian yang terakhir tahun 2018,” katanya.
“Awalnya itu memang sering diundang ke Semarang. Di Istana Negara itu perwakilannya hanya lima provinsi, grup saya dari Purbalingga itu mewakili Provinsi Jawa Tengah,” tambahnya.
Dalam kondisi pandemi saat ini seniman sangat merasakan dampaknya. Seperti pertunjukan kentongan ini. Biasanya ada orang yang mengundang untuk memeriahkan acara hajatan dan lain-lain sekarang sepi.
Namun hal tersebut tidak mengurangi semangat para pelaku seni kentongan. Mereka memanfaatkan teknologi untuk terus melestarikan kesenian tersebut. Yaitu dengan cara virtual. Masing-masing grup kentongan sekarang bisa mengunggah pertunjukannya melalui Youtube.
“Untuk saat kondisi pandemi seperti ini job sangat sepi. Tapi tidak mengurangi semangat kami untuk melestarikan kesenian kentongan. Caranya yaitu dengan menggunakan virtual, yaitu diunggah ke Channel Youtube Kingsan Community dengan itu kita bisa terus eksis di dunia hiburan,” jelasnya.
Grup thek-thek kentongan Kingsan dari Purbalingga. (Foto: dok. istimewa)
Selain sebagai seniman Dwi Cahyo juga memiliki usaha produksi alat musik kentongan. Alat musik yang diproduksi antara lain kentongan, tripok (drum), angklung, bedug, calung atau gambang, dan aksesoris pertunjukan kentongan yang lain. Namun hal tersebut juga sangat terdampak oleh pandemi.
Pasalnya usaha yang dirintis sejak tahun 2005 ini sangat merasakan dampaknya, dan sekarang bisa dikatakan mati suri. Sebelum pandemi seperangkat alat musik kentongan tersebut didistribusikan hampir ke Luar Jawa seperti Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur, Riau hingga Luar Negeri seperti Malaysia dan Jepang.
“Untuk pengrajin itu sebenarnya tidak mengalami kesulitan kalau nggak ada Covid-19. Saya usaha itu sejak tahun 2005, namun setelah ada Covid-19 hampir sepi atau bisa dikatakan mati suri. Sebelum pandemi saya bisa mendistribusikan ke Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur, hingga ke luar Negeri seperti Malaysia dan Jepang,” tandasnya.
Lilis berpendapat bahwa perkembangan musik tradisional kentongan sendiri sangat bagus. Sekarang sudah banyak grup yang terbentuk dengan sendirinya. Akan tetapi ia tetap memberikan semangat kepada grup-grup yang baru muncul. Ia juga berharap kesenian kentongan ini terus dilestarikan. Selain itu perhatian dari pemerintah juga merupakan hal yang penting.
“Untuk perkembangan musik tradisional kentongan sendiri sangat bagus. Sekarang sudah banyak grup yang terbentuk dengan sendirinya. Akan tetapi saya tetap memberikan semangat kepada grup-grup yang baru muncul. Harapannya jangan pernah lelah nguri-uri budaya tradisional, dan selalu diperhatikan oleh pemerintah,” pungkasnya.
Kentongan merupakan alat musik yang terbuat dari bambu atau kayu. Bambu dan kayu tersebut dikasih lubang, kemudian dipukul hingga menghasilkan bunyi yang menggema. Keras atau tidaknya bunyi yang dihasilkan tergantung bagaimana cara membuat lubang. Biasanya lubang yang sesuai akan menghasilkan bunyi yang bisa terdengar hingga seluruh desa.
Mendengar kata kentongan mungkin sebagian besar masyarakat akan mengarah kepada pos ronda. Karena di tempat itu kerap kali bisa dijumpai kentongan yang tergantung. Kentongan kerap kali digunakan oleh masyarakat pedesaan sebagai media keamanan. Tepatnya digunakan sebagai penanda kegentingan atau bahaya.
Jenis bahaya akan mempengaruhi jumlah ketukan. Misalnya satu ketukan untuk menandai ada kematian, dua ketukan untuk menandai ada pencuri, tiga ketukan untuk menandai ada kebakaran, dan empat ketukan ada banjir bandang.
Kentongan juga berfungsi sebagai penanda waktu shalat. Kita bisa menjumpai di sebuah masjid, mushala, surau yang ada di desa-desa. Biasanya alat ini terletak tidak jauh dari bedug, ada yang digantung dengan ukuran kecil, ada pula yang dipasang menggunakan stan kalau ukurannya besar.
Kontributor: Suwitno
Editor: Fathoni Ahmad