Daerah

Mekanisme Waliyul Halli wal Aqdi ala NU Jatim

Selasa, 5 Februari 2013 | 16:23 WIB

Surabaya, NU Online
PWNU Jawa Timur telah merampungkan formula dari implementasi kosep Waliyul Halli wal Aqdi (Ahwal).  Konsep ini sebagai perimbangan antara hak veto ulama dalam menentukan Rais Syuriyah dan Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim mendatang dengan sistem demokrasi yang sudah ada.
<>
Wakil Ketua PWNU Jatim, H Abdul Wahid Asa menandaskan bahwa ada lima tahapan dalam penentuan rais dan ketua. “Tahap pertama adalah para Pengurus Harian Cabang NU menjaring tiga nama calon rais dan ketua PWNU Jatim,” katanya pada NU Online sore tadi (5/2). 

Tahapan pertama ini harus sudah selesai dilakukan sekurang-kurangnya tujuh hari sebelum pelaksanaan konferensi. “Nama calon adalah berdasarkan rapat harian gabungan syuriyah dan tanfidziyah dengan dilampiri berita acara rapat,” katanya.

Karena di NU Jawa Timur terdapat 45 pengurus cabang, maka pada tahap kedua akan terkumpul 135 nama calon rais dan ketua PWNU Jatim. “Pentabulasian nama dilakukan panitia pada saat konferensi wilayah dan diambil sembilan teratas dari nama yang diusulkan PCNU. Ini berlaku untuk jabatan calon rais dan ketua,” terangnya.

Tahapan ketiga adalah dari sembilan nama calon rais dan ketua, dengan dipimpin PBNU akan melakukan musyawarah untuk menentukan Ahwal. “Saat sidang ini, PBNU hanya sebagai fasilitator dan tidak memiliki hak suara,” terangnya.

“Sembilan anggota Ahwal melakukan penjaringan calon rais dan ketua yang diambil dari 135 nama yang masuk,” kata mantan anggota DPRD Jatim ini. “Sembilan nama yang ada, dapat saja dipilih untuk itu,” katanya. 

“Tahapan terakhir, tim Ahwal dengan dipimpin PBNU akhirnya dapat melakukan pemilihan dan penetapan rais dan ketua,” ujar Pemimpin Umum Majalah AULA PWNU Jatim ini.

Namun yang harus diingat bahwa antara pemilihan ketua dan rais dilakukan dalam kesempatan berbeda yakni yang pertama adalah pemilihan Ahwal untuk rais hingga rais terpilih. Setelah itu baru dilanjutkan dengan pemilihan Ahwal ketua dan ketua terpilih.

Ikhtiar yang dilakukan PWNU Jatim ini sebenarnya telah ada pijakannya yakni sesuai ART NU Pasal 42 tentang permusyawaratan dan pemilihan. “Hanya saja yang kerap dilakukan adalah model pemilihan, bukan permusyawaratan,” kata Pak Wahid. “Padahal model Waliyul Halli wal Aqdi itu dibenarkan karena proses pemilihannya dengan permusyawaratan,” lanjutnya.

Munculnya gagasan ini karena dengan kasat mata telah terkuak maraknya praktik riswah atau suap pada perhelatan konferensi di semua tingkatan. “Dengan model pemilihan langsung, ada kemungkinan hanya orang yang memiliki modal uang besar akhirnya bisa menjadi pimpinan NU,” sergahnya. 

Di samping tidak melanggar aturan yang sudah ada, sistem Ahwal dalam kehidupan berdemokrasi di kalangan Nahdliyin bukanlah sesuatu yang baru. “Coba buka sejarah. Seleksi kepemimpinan pada masa KH Abdul Wahab Chasbullah dan ketika KH R As’ad Syamsul Arifin pernah melakukan model ini,” pungkasnya.

 

Redaktur     : Hamzah Sahal
Kontributor : Syaifullah

ADVERTISEMENT BY OPTAD

 


Terkait