Daerah

Menengok Eksistensi Pegayaman, Desa Muslim di Pulau Dewata

Ahad, 10 Juli 2016 | 16:11 WIB

Menengok Eksistensi Pegayaman, Desa Muslim di Pulau Dewata

ilustrasi dewatanews

Singaraja, NU Online
Hanya beberapa ratus meter dari pintu gerbang, terdapat tulisan besar-besar "Selamat Datang di Desa Pegayaman", yang diletakkan di jalan raya menghubungkan Singaraja dan Bedugul, Kabupaten Buleleng, Bali. Sepintas desa itu serupa saja dengan desa-desa lain di Bali. 

Namun ada pembeda yang langsung terasa saat memasuki Desa Pegayaman, Kabupaten Buleleng, sekitar 80 kilometer, di utara ibu kota Denpasar, Rabu (6/7). Hari itu adalah hari pertama Idul Fitri 1437 Hijriah, hari kemenangan bagi muslimin dan muslimat setelah sebulan penuh berpuasa pada bulan Ramadhan sebelumnya. 

Desa Pegayaman, dengan penduduk sekitar 100 kepala keluarga itu, memang lain dari yang lain di Bali, karena hampir 100 persen warganya asli etnis Bali namun memeluk agama Islam. Selama ini agama yang dianut secara dominan di Pulau Bali adalah Hindu Bali.  

Agama Hindu Bali penuh dengan upacara dan upakara keagamaan yang khas, dan ini dilaksanakan sepanjang tahun di banjar-banjar (dusun) hingga tingkat provinsi. 

Hal pertama yang dijumpai saat memasuki Desa Pegayaman adalah segerombolan anak-anak muda di pinggir jalan seusai shalat Idul Fitri di mesjid dan mushala yang tersebar di desa itu.

Kaum pria menggunakan baju koko dan peci serba putih, sementara yang perempuan masih menggunakan mukena yang umumnya juga berwarna putih.

Sekitar 10 bocah laki-laki dan perempuan langsung mendekat saat kendaraan diparkir  di halaman komplek Pesantren Al Iman, di Desa Pegayamanan yang ada di ketinggian dan berhawa sejak itu. 

Meski baru pertama kali bertemu, tanpa dikomando mereka langsung mengantri bersalaman memberikan ucapan selamat hari Lebaran. Sebagian dari mereka juga masih menggunakan busana tertutup usai menjalankan shalat Idul Fitri di mushala yang ada di komplek pesantren itu.

Sementara beberapa orang perempuan dan laki-laki dewasa, secara ramah juga kemudian mengulurkan tangan sebagai tanda selamat datang dan mengucapkan salam, tanpa menanyakan maksud kedatangan tamu asing yang entah dari mana.

Tidak berapa berselang, muncul seorang pria berusia sekitar 70 tahun berperawakan sedang berpakaian rapi, yang kemudian ditetahui ternyata dia Kepala Pondok Pesantren Al Iman, bernama Nengah Surudin. 

Benar, di Desa Pegayaman, nama-nama dan aturan penamanan orang khas Bali, semisal Putu, Nengah, Gede, Wayan, Ketut, dan lain-lain sangat lumrah "berpadan" dengan nama-nama bernuansa islami sebagai nama warganya. 

Jadilah di antara nama-nama itu Nengah Surudin, atau umpamanya (perempuan) Ni Wayan Fatimah. Mereka tetap berbahasa Bali dialek Buleleng yang terkenal lugas, laiknya dialek suroboyo-an bagi bahasa Jawa. 

Surudin yang juga belum mengetahui identitas dan maksud kedatangan tampu itu juga secara ramah mengundang Antara untuk masuk ke rumahnya yang berada di dalam komplek pondok pesantren itu. 

Di dalam rumah itu ternyata sudah ada sekitar lima orang tamu yang khusus datang untuk berlebaran dengan dia. 

Surudin dan para tamunya tampak kaget dan bercampur gembira ketika diberitahu bahwa kedatangan Antara khusus untuk merasakan suasana hari Lebaran di di desa itu.

Sambil menikmati hidangan tape dan uli khas Pegayaman, Surudin kemudian menceritakan harmoni kehidupan beragama di desanya yang sebagian warganya menggantungkan hidup dari hasil pertanian.

Sebagai keturunan asli Bali, tapi menganut Islam, nama masyarakat pun dikombinasikan antara nama Bali yang notabene identik dengan Hindu dan nama Islam, seperti halnya Nengah Surudin. 

Dia mengurai lebih rinci contoh lain penggunaan nama untuk menggambarkan akulturasi itu. Dia memakai ilustrasi pada keluarga Ketut Samaudin (69 tahun) yang memiliki delapan anak, dan diberi nama Wayan Wahyudi, Nengah Cahyadi, Nyoman Rosida, Ketut Rahmadi, Ketut Mutoharoh, Ketut Muarifah, Ketut Ma'ida, dan Ketut Abdur Rochman.

Yang menarik, untuk menjaga identitas sebagai Muslim, warga Pegayaman ternyata hanya menggunakan empat nama sesuai urutan, yaitu Wayan, Nengah, Nyoman dan Ketut. Dalam adat Bali, ini disebut catur warga, yang bisa juga menjadi Putu (Wayan dan khusus untuk laki-laki adalah Gde), Made (Nengah), Nyoman, dan Ketut. 

Jika ada keluarga yang memiliki anak lebih dari empat anak seperti hanya Samaudin, maka nama anak-anak berikutnya tetap Ketut, tidak kembali pada nama anak pertama seperti pada umumnya. Penyandang nama Ketut setelah anak keempat lazim disebut sebagai ketut cenik (ketut kecil).

"Bagaimana pun kami adalah orang Bali dan harus tetap menjaga tradisi nama berdasarkan urutan nama itu," katanya.

Hal lain yang cukup unik dan sampai sekarang masih tetap diberlakukan di Desa Pegayaman adalah waktu shalat Tarawih yang mulai pukul 23.00 WITA, sementara shalat Idul Fitri baru dimulai pukul 10.00 WITA.

"Untuk shalat tarawih dan Idul Fitri, kami mempunyai waktu tersendiri dan berbeda dengan daerah lain umumnya, yaitu berdasarkan 'zona waktu Desa Pegayaman'," kata Surudin berseloroh.

Perbedaan waktu shalat itu ternyata berdasarkan pada sejarah dan kondisi topografis setempat. Warga desa itu tinggal berpencar di daerah berbukit sehingga memerlukan waktu cukup lama mencapai mesjid.

Ketut Jamal, warga lain Desa Pegayaman yang juga salah satu pendiri Pondok Pesantren Al Iman, menuturkan, keberadaan desanya telah memberikan warna tersendiri dalam kehidupan masyarakat Kabupaten Buleleng dan juga Bali pada umumnya.

Selain Idul Fitri dan Idul Adha, hari besar Islam yang dirayakan secara meriah adalah peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. 

Bahkan Mauid Nabi lebih meriah karena warga Desa Pegayaman yang merantau akan berusaha sebisanya untuk pulang berkumpul dengan keluarga, membuat suasana desa itu lebih hidup.

Menurut sejarah, seperti dituturkan Surudin, perbedaan agama pada warga Desa Pegayaman tidak terlepas dari perjalanan sejarah Kerajaan Buleleng yang mengutus prajurit ke Banyuwangi dan kemudian ternyata tertarik dengan ajaran Islam di ujung timur Pulau Jawa itu.

"Kami tetap menjaga tradisi dan adat-istiadat Bali, sepanjang tradisi itu tidak berbentangan dengan ajaran Islam," kata Jamal.

Salah satu tradisi setempat yang dihindari komunitas Pegayaman tentu saja hal-hal yang berhubungan dengan sajian berbasis daging babi. 

Desa itu bahkan bersih dari anjing peliharaan, meski pada masyarakat Islam di daerah lain, hal itu adalah hal yang lumrah. Misalnya memelihara anjing pemburu untuk berburu babi hutan yang menjadi hama di Bengkulu atau Sumatera Barat. (Antara/Mukafi Niam)


Terkait