Suasana anak-anak mengaji di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Ahmad Syauqi/Buntet)
Cirebon, NU Online
Bukan perkara mudah mengajar anak-anak. Pasalnya, usia mereka masih dalam tahap bermain sehingga butuh pendekatan khusus dalam memberikan pendidikan dan pengajaran agar mudah dipahami. Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menstimulasinya dengan lagu.
H Imaduddin Zaeni sudah lebih puluhan tahun mengajar ngaji anak-anak. Di beranda rumahnya, di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat, beberapa anak kecil yang baru dan masih duduk di Sekolah Dasar melingkar di hadapannya guna mengaji kitab-kitab kecil, mulai dari Safinatun Naja, Tijan Darari, Qatrul Ghaits, Riyadul Badi’ah, hingga Sullamut Taufiq.
Pengajian yang diampunya diikuti oleh anak-anak tersebut dengan sangat antusias. Mereka akan saling bersahut-sahutan, berupaya membaca kata demi kata, lengkap dengan maknanya, dengan suara paling keras.
Hal tersebut dilakukan oleh mereka bukan tanpa alasan. Sebab, meskipun kitab berupa natsar, tetapi Kang Imad, sapaan akrab H Imaduddin Zaeni, membacanya dengan lagu. Kalimat tertentu akan dibaca melenggok, nada turun, nada naik, dihentak, datar, dan sebagainya.
“Supaya mudah dihafal. Dengan mudah dihafal akan lebih mempercepat pengertian. Anak-anak kan suka dengan lagu-lagu,” katanya kepada NU Online pada Kamis (23/7).
Anak-anak di usia tersebut tentu tidak tiba-tiba bisa membaca kitab bermakna tersebut. Karenanya, selain membaca secara bersama-sama, mereka juga membaca satu-persatu di hadapannya.
Suasana anak-anak mengaji di Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, Jawa Barat. (Foto: Ahmad Syauqi/Buntet)
Dengan begitu, ia dapat membetulkan kesalahan baca setiap individunya. Saat membaca bersamaan, ia juga turut serta membarengi mereka, tidak berdiam. Hal demikian supaya jika terjadi kesalahan baca, anak-anak langsung terkoreksi dengan sendirinya.
Bacaan tersebut diulang berkali-kali, baik itu sebelum pengajian berlangsung, maupun setelah Kang Imad membacanya. Dengan begitu, kalimat demi kalimat beserta makna-maknanya dapat dengan sendirinya dihafal oleh anak-anak tersebut, tanpa harus meminta mereka menghafalnya.
Meskipun membacanya secara berulang-ulang, anak-anak tersebut tidak merasa bosan karena seperti bernyanyi, terkadang dilakukan sembari bercanda dengan kawan-kawannya.
Pengajian yang dilakukannya bukan seperti sistem sorogan di mana santri fokus membaca kitab secara berulang-ulang saja, tetapi mereka juga diberi pemahaman atas teks yang dibacanya. Menurutnya, cara memberikan pemahaman agar lebih mudah diterima anak-anak adalah dengan menggunakan peraga atau praktik secara langsung.
Dalam menjelaskan shalat mayit, misalnya, ia meminta seluruh anak-anak tersebut berbaris. Salah satunya ditunjuk menjadi imam. Posisinya pun diatur sesuai mayit yang dishalatinya. Sebagai peraga mayit, ia mengambil bantal guling. Dengan begitu, anak-anak dapat melaksanakan shalat mayit.
Hal demikian juga dilakukannya berulang pada pertemuan berikutnya sebagai bentuk mengingat. Sementara bacaan shalat mayit itu juga dilakukan berkali-kali saban mengaji selama beberapa pertemuan.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Fathoni Ahmad