Meuleumak, Tradisi Lokal Aceh Setiap Lebaran Idul Fitri sebagai Media Silaturahim Warga
Ahad, 14 April 2024 | 09:45 WIB
Pidie, NU Online
Dalam upaya mencegah gerakan radikalisme agar tidak berkembang di tengah-tengah masyarakat Aceh, khususnya Pidie yang dikenal pernah menjadi daerah basis GAM (Gerakan Aceh Merdeka), harus ada keberanian melakukan revitalisasi tradisi-tradisi lokal yang sudah terbukti mampu membentengi masyarakat dari berbagai pengaruh negatif, salah satunya tradisi Meuleumak.
Ketua PCNU Pidie Tgk Isafuddin mengatakan, masyarakat Pidie, Aceh, memiliki tradisi Meuleumak setiap Lebaran Idul Fitri sebagai media ukhuwah (persaudaraan) dan silaturahim.
Ia menjelaskan, tradisi ini selalu dilestarikan oleh generasi milenial sebagaimana dilakukan pemuda Gampong Lamkawe, Kecamatan Kembang Tanjung.
"Tradisi Meuleumak merupakan salah satu warisan endatu (nenek moyang) untuk memperkuat ukhuwah dan silaturahim masyarakat yang dipelopori pemuda sebagai kaum milenial. Tradisi ini menjadi agenda rutin setiap lebaran Idul Fitri," ungkapnya kepada NU Online, Sabtu (13/4/2024).
Alumni Dayah MUDI Samalanga itu menyebutkan, tradisi kenduri Meuleumak yang dipelopori pemuda merupakan acara makan bersama dengan membuat menu makan khas nasi leumak, serta ada uang yang berasal dari pemuda di perantauan.
Kasie Bimas Islam Kemenag Pidie itu menambahkan, biasanya masyarakat juga menggelar doa bersama yang memiliki banyak nilai kebersamaan, sehingga dapat mendukung kaum muda untuk mencegah hal negatif, termasuk radikalisme.
Sementara itu, Pengurus Lakpesdam PWNU Aceh Tgk Muhajir Al-Fairusi mengatakan, tradisi dan kearifan lokal yang ada di tengah-tengah masyarakat Aceh merupakan modal sosial yang sangat tinggi nilainya, dan harus terjamin kelestariannya.
Sebab tergerusnya potensi itu akan menjadi ancaman serius. Daya tahan masyarakat dalam menghadapi gempuran nilai-nilai baru yang negatif juga akan semakin melemah.
"Gerakan radikal teror itu, termasuk nilai baru yang mengandung sisi negatif dan sebelumnya tidak dikenal, mengingat selama ini warga Aceh dikenal penuh toleran, silaturahim, suka gotong royong, dan menonjol sikap rendah hatinya," ujar Tgk Muhajir.
Menurutnya, sikap-sikap seperti itu melekat pada diri setiap warga, sehingga kehidupan mereka nyaman, tenteram, dan tenang. Bahkan, nyaris tidak ada kegaduhan meski ada berbagai perbedaan agama, adat, tradisi, dan strata sosial.
Di antara mereka, lanjut Tgk Muhajir, ada kesepakatan meski tidak tertulis untuk tidak memaksakan kehendak, misalnya yang berbeda dipaksakan untuk sama.
"Sebaliknya, yang sudah ada kesamaan nilai dan spirit tidak akan dicari-cari perbedaannya untuk dibentur-benturkan. Semuanya memahami bahwa perbedaan itu sebuah keniscayaan," jelas Dosen Antropologi STAIN Teungku Dirundeng Meulaboh itu.
Ia menjelaskan, belakangan ini seiring dengan bergulirnya modernisasi yang diikuti dengan perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan digitalisasi menjadikan berbagai nilai baru membanjir di tengah-tengah masyarakat lokal, termasuk radikal teror yang menjadi penumpang gelap gerakan demokratisasi dan reformasi.
Tgk Muhajir menambahkan, tradisi lokal di Aceh tumbuh berkembang sejak dahulu dan mendapat respons positif dari masyarakat, termasuk tradisi Meuleumak. Ia menyebut, para pegiat antiradikal teror mendapat respons dan apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat.
"Para pelaku aksi teror yang mencoba untuk menjadikan masyarakat sebagai bunker atau tempat bersembunyi dan menyusun strategi aksi teror mendapat penolakan keras dari masyarakat," ungkapnya.